SDM Kita Sekelas Pekerja

SDM Kita Sekelas Pekerja

Muktamar Muhammadiyah di Makassar, menilai daya saing umat Islam di Indonesia perlu ditingkatkan. Tidak hanya di satu lini saja peningkatan tersebut, tetapi di semua lini. Sehingga umat Islam tetap dapat berperan di nusantara dan bahkan di dunia.

Untuk membahas hal ini, Lutfi Effendi dari Suara Muhammadiyah menghubungi Dr H Anwar Abas, Sekretaris Jendral Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang juga salah satu Ketua PP Muhammadiyah. Berikut ini, pemikirannya tentang peningkatan daya saing umat:

Di dalam keputusan Muktamar Muhammadiyah di Makassar lalu terdapat poin meningkatkan daya saing umat. Sebetulnya apa yang harus ditingkatkan agar daya saing meningkat?

Yang harus ditingkatkan tentu sumber daya manusia (SDM) umat.

Kenapa demikian?

Era sekarang ini, penentu maju tidaknya suatu bangsa, maju tidaknya suatu negara tergantung sumber daya manusia yang dimilikinya. Berbeda masa lalu, sumber daya alam (SDA) merupakan faktor dominan majunya suatu bangsa. Masa sekarang, SDM lah penentunya.

Coba lihat Singapura yang sangat minim SDA, mereka tercatat sebagai negara maju. Karena mereka mempunyai SDM yang kreatif, yang inovatif. Tidak banyak memang, hanya 7 persen dari penduduk Singapura. Tetapi investasi mereka ke Indonesia cukup mewarnai.

Negara-negara maju lainnya, seperti Jepang mempunyai SDM mumpuni sebesar 10 persen dari jumlah penduduk. Amerika Serikat mempunyai SDM yang kreatif dan inovatif sekitar 12 persen dari penduduknya. Sedangkan Indonesia, masih kurang dari 2 persen SDMnya yang mumpuni. SDM Indonesia umumnya sekelas pekerja, kebanyakan sekelas buruh.

Banyak prediksi (ramalan) Indonesia akan masuk negara yang maju di masa-masa mendatang. Bagaimana dengan prediksi ini?

Prediksi demikian sebetulnya sudah ada sejak tahun 1992, saat itu ada pertemuan di Rio de Janiro Brasil. Wakil Indonesia Prof Emil Salim. Pada pertemuan tersebut, Indonesia diprediksi menjadi negara maju 200 tahun kemudian atau pada tahun 2192.

Ini tentu sangat memprihatinkan. Lalu saat itu Prof Dr BJ Habibie berhitung dan bisa dipercepat menjadi 50 tahun atau pada tahun2042, ramalan tersebut bisa dicapai. Dengan catatan, mutu SDM ditingkatkan.

Prediksi itu sesuai dengan yang berkembang saat ini, bahwa 20, 30 atau 40 tahun mendatang Indonesia akan menjadi 4 negara termaju di dunia. Empat negara tersebut, Amerika Serikat, China, India dan Indonesia. Tentu saja dengan catatan, mutu SDMnya harus ditingkatkan. Dua persen SDM yang kreatif dan inovatif saja cukup, syukur bisa lebih untuk mengejar tantangan ini.

Amerika Serikat saja yang SDMnya sudah tinggi berusaha untuk “membajak” SDM lain, terutama SDM dari Asia. Ini karena, Amerika Serikat sudah merasa kewalahan dengan kemajuan yang terjadi di China. Mereka merayu SDM yang berkualitas tersebut untuk menjadi warga negara Amerika. Jika tidak mau, mereka diminta untuk bekerja di Amerika Serikat. Langkah ini hanya untuk mempertahankan kedudukannya sebagai negara maju, karena keterbatasan SDM dari internal Amerika sendiri.

Apakah jika SDM telah meningkat otomatis kemajuan akan tercapai?

Belum tentu. Peningkatan SDM hanyalah prasyarat utama. Prasyarat lain, pemerintah harus mempunyai kebijakan yang menunjang untuk itu. Jika pemerintah menunjang, maka kemajuan betel-betul akan tercapai.

Kebijakan pemerintah dalam hal ini sangat diperlukan, terutama dalam hal menyediakan raw material atau bahan baku industri dalam negeri dan pengaplikasian penelitian yang menunjang pertumbuhan industri. Paling tidak ini yang harus dilakukan pemerintah.

Kebijakan ini juga ditempuh oleh pemerintah di luar negeri. Misalnya pemerintah Taiwan, mereka membantu masalah bahan baku industri untuk home industri. Sebab harga bahan baku cukup mahal jika dibeli sendiri-sendiri, tetapi harganya akan murah jika dibeli dalam jumlah yang banyak. Dalam hal ini pemerintah Taiwan mempunyai kebijakan untuk membeli bahan tersebut dalam jumlah banyak dan dibagikan kepada pelaku-pelaku home industri sesuai kebutuhan.

Demikian pula kebijakan pemerintah Thailand juga sangat membantu pelaku industri di sana, terutama industri pertaniannya. Dalam hal ini pemerintah membantu penelitian-penelitian yang terkait dengan industri pertanian. Karenanya, hasil pertanian Thailand dapat satu setengah kali lipat dan bahkan lebih dibanding Negara asal produk pertanian tersebut.

Apakah hal ini belum dilakukan di Indonesia?

Saat ini pemerintah belum melakukan hal ini, pelaku industri, terutama menengah dan kecil masih mengusahakan bahan bakunya sendiri. Akibatnya biaya produksinya menjadi mahal dan kalah bersaing dengan produk Negara lain.

Sebagai contoh produk souvenir impor, harga di Indonesia per bijinya Rp.2.800,- sampai konsumen. Produk yang sama dapat dibuat di Indonesia, tetapi kalah bersaing karena harganya jauh lebih tinggi. Ini karena bahan bakunya di Indonesia nilainya sudah mencapai Rp.3.500,- per biji.

Belum soal penelitian. Penelitian-penelitian terapan banyak dilakukan di Indonesia dan bahkan dibiayai Negara. Tetapi hasilnya, meski inovatif, tetap hanya menumpuk dalam laporan dan tidak pernah diterapkan di lapangan. Banyak hasil penelitian yang bagus tetapi hanya ditumpuk saja hasilnya.

Kebijakan ini harus diubah jika ingin hasil industri kita mampu bersaing dengan produk luar. Terlebih akan memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), produk-produk luar dan bahkan tenaga kerja akan bebas masuk di Indonesia. Ini butuh perhatian khusus, jika kita tidak ingin kalah bersaing di negeri sendiri.

Bagaimana pula persaingan di dalam negeri, apakah umat Islam akan mampu berbuat banyak di Indonesia?

Ketika berbicara kemampuan umat Islam, maka terlebih dahulu harus dilihat kelompok elit yang ada di Indonesia. Kelompok elit itu terdiri pemuka agama, politisi, cendekiawan, professional, pengusaha, budayawan, , pendidik, birokrasi, pekerja sosial dan TNI/POLRI.

Coba dari kesepuluh kelompok elit di atas, mana yang dominan dipegang oleh umat. Mungkin untuk pemuka agama, politisi, cendekiawan, professional, budayawan, pendidik, pekerja sosial dan TNI/POLRI masih dipegang umat Islam atau paling tidak imbang. Tetapi untuk pengusaha, umat Islam kalah jauh dari umat non Islam. Dari sepuluh besar pengusaha yang ada di Indonesia, mungkin hanya satu orang yang masuk di dalamnya.

Perlu diingat, pengusaha-pengusaha ini merupakan pemilik modal. Dengan modal yang dimilikinya ini, pengusaha akan mampu mempengaruhi elit-elit yang lain. Fenomena demikian tidak hanya di Negara kecil, tetapi di Negara besar pun pengaruhnya sangat besar.

Amerika Serikat, misalnya. Negara adikuasa ini dikuasai oleh Lobbi Yahudi. Ini karena mayoritas pemilik modal orang Yahudi. Sebab itu, meski jumlah mereka sedikit tetapi pengaruhnya luar biasa. Di Indonesia pun, hal ini sudah terasakan. Terutama dalam bidang politik yang akan mempengaruhi kebijakan pemerintah.

Beberapa pemerintah daerah yang mayoritas penduduknya muslim, kepala daerahnya dipegang non muslim. Ini semua tidak jauh dari peran para pemilik modal yang mendukungnya. Selain faktor lemahnya persatuan umat.

Karenanya, umat Islam perlu melahirkan pengusaha-pengusaha andal di kemudian hari. Ini harus dilakukan jika tidak ingin umat Islam tersingkir ke pinggiran.

Bagaimana dengan peran Muhammadiyah yang mengangkat panji “Islam yang Berkemajuan”?

Muhammadiyah memang sejak lahirnya mengangkat bendera “Islam yang Berkemajuan. Dan pada periode awal, pendidikan dan gerakan yang dilakukan mampu melahirkan elit-elit bangsa. Tetapi pada saat ini, nampaknya peran-peran yang demikian menjauh. Muhammadiyah yang waktu itu mampu bermain di mainstream (tengah) kini harus main di pinggiran.

Bukan Muhammadiyahnya yang tidak maju, tetapi yang lain berlari lebih kencang. Karena itu, Muhammadiyah harus maju lebih cepat lagi. Jika tidak, akan ketinggalan jauh dari yang lain.

Muhammadiyah yang selama ini sudah terjun di bidang pendidikan dan kesehatan, harus mengubah orientasi beberapa amal usahanya, meski tidak semua. Pendidikan Muhammadiyah yang selama ini hanya mampu menghasilkan pekerja harus juga ada yang bisa menghasilkan pengusaha. Rumah Sakit Muhammadiyah yang selama ini hanya melayani kesehatan yang standar saja, harus ada rumah sakit yang mampu melakukan pelayanan yang luar biasa. Misalnya steam sel. (eff).

Exit mobile version