“Bersabarlah”, kata ibuku, sewaktu saya sedang sakit. Itulah kata sahabat saya di penghujung bulan Mei tahun ini. Sebuah kata yang menandai kasih sayang ibu yang tanpa batas, di saat hampir semua orang (juga) melafalkan kata yang sama tetapi tak sepadan maknanya. Karena ucapan ibu tak mungkin terungkap hanya sekadar lip-service (pemanis bibir), semua terucap dari lubuk hati yang terdalam.
Sahabatku, yang hingga saat ini masih terbaring di rumah, karena terserang (penyakit) stroke, masih selalu terngiang oleh sebuah kata yang terucap oleh ibunya. Dan kata inilah, yang dalam benak sahabat saya, selalu memberi semangat yang luar biasa untuk mendapatkan kesembuhan dari Allah.
Kata “bersabarlah” dari seorang ibu tak hanya bisa menjadi penyejuk jiwa, tetapi “bisa jadi”, dengan keyakinan yang tumbuh pada diri seorang anak, “kata” itu akan bisa menjelma menjadi kekuatan yang menggerakkan. Inilah yang pernah saya alami ketika diri saya tertimpa musibah. Saat itu ibu saya hanya sempat berkata, “bersabarlah!” Dan ternyata apa yang saya dambakan selama ini benar-benar terwujud. Saya berhasil keluar dari musibah itu, dan bahkan mendapatkan karunia yang jauh lebih besar daripada apa yang pernah saya harapkan. Bahkan saya pun kembali teringat “kalimat yang pernah terucap dari guru saya”, sewaktu saya masih menjadi murid Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta: “man shabara zhafara” (siapa pun yang bersabar, dia akan memeroleh kemenangan).
Kata-kata yang terucap dari seorang ibu memang memiliki kekuatan yang luar biasa, utamanya bagi orang yang mengerti arti bersyukur. Dan bahkan tak hanya bagi siapa pun yang tengah tertimpa musibah. Tetapi, kenyataannya juga bagi siapa pun yang mendambakan rahmat dari Allah. Karena, dalam banyak hal, ibu tak pernah bisa tinggal diam untuk membiarkan anak-anaknya “dilupakan” oleh Allah dalam situasi dan kondisi apa pun.
Berkali-kali saya merenungkan makna sebuah ungkapan: “surga (berada) di bawah telapak kaki ibu”, yang oleh para mubaligh disebut sebagai sebuah Hadits, meskipun ternyata—dalam telaah kritis saya—saya temukan bahwa ungkapan itu hanyalah sepenggal kalimat dari sebuah Hadits dha’if. (Lihat, Muhammad Nashiruddin al-Albani, Al-Jâmi’ush Shaghîr wa Ziyâdatuh, juz I, hal. 642) Tetapi, dalam penelitian saya lebih lanjut saya temukan Hadits penguatnya, sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Imam an-Nasa’i dari Mu’awiyah. Ketika itu Mu’awiyah bertanya kepada Rasulullah saw, Ya Rasulullah, aku ingin pergi jihad, dan sungguh aku datang kepadamu untuk meminta pendapatmu. Beliau pun bersabda, “Apakah engkau masih memunyai ibu?” Ia pun menjawab, Ya, masih. Beliau pun melanjutkan sabdanya, “Hendaklah engkau tetap berbakti kepadanya, karena sesungguhnya surga itu di bawah kedua kakinya.” (Sunan an-Nasâi, VI/ 11), yang oleh Muhammad Nashiruddin al-Albani disebut sebagai Hadits hasan (Shahîh wa Dha’îf Sunan an-Nasâi, VII/176).
Ungkapan “surga itu di bawah kedua kakinya” itu tentu saja bukan bermakna “tekstual”. Oleh karena itu, ketika memberikan penjelasan terhadap Hadits ini, Ath-Thibi, misalnya, mengatakan, bahwa sabda Rasulullah saw itu adalah sebuah “metaphor”, bahwa perolehan surga di bawah telapak kaki ibu itu adalah “buah” dari puncak ketundukan dan kerendahan hati, sebagaimana firman Allah dalam Qs Al-Isrâ [17]: 24, “wahfidh lahumâ janâhadz dzulli minar rahmati ….” (Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan….” (Mirqât al-Mafâtîh Syarh Misykât al-Mashâbih, IV/677).
Sedangkan as-Sindi mengatakan, ”Bagianmu dari surga itu tidak dapat sampai kepadamu kecuali dengan keridhaannya, di mana seakan-akan seorang anak itu milik ibunya, sedangkan ibunya adalah tonggak baginya. Bagian dari surga untuk orang tersebut tidak sampai kepadanya kecuali dari arah ibunya tersebut. Hal itu terjadi, karena sesungguhnya segala sesuatu apabila keadaannya berada di bawah kaki seseorang, maka sungguh ia menguasainya di mana ia tidak dapat sampai kepada yang lain kecuali dari arahnya. (Hâsyiyah Sunan an-Nasâi, VI/11)
Dari penjelasan ini, kita pun bisa berkesimpulan bahwa ternyata “masih ada surga di bawah telapak kaki ibu”, dan kita pun bisa meraihnya dengan “berbakti kepadanya”, dengan konsep birrul wâlidain, dengan cara apa pun—yang proporsional—bagi ibu kita, di mana pun dan kapan pun. Termasuk di dalamnya dengan cara, “mengamalkan salah satu nasihat ibu kita untuk bersabar”.
Ibda’ bi nafsik!
Muhsin Hariyanto, Dosen Tetap FAI-UM Yogyakarta dan Dosen Tidak Tetap STIKES ‘Aisyiyah Yogyakarta
Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 14 Tahun 2015