Paradoks Dana Aspirasi DPR

Paradoks Dana Aspirasi DPR

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam sidang paripurna akhirnya meloloskan rancangan peraturan Usulan Program Pembangunan Daerah (UP2DP) atau yang populer disebut “dana aspirasi”. Dengan keputusan itu setiap anggota DPR pertahun akan menerima uang 20 miliar rupiah untuk dimanfaatkan guna kepentingan “pembangunan” di daerah pemilihannya. Jika ditotal negara harus mengeluarkan 11,2 triliun pertahun untuk dana para wakil rakyat itu. Manakala dikalikan selama lima tahun negara harus menganggarkan uang 56 triliun rupiah dengan rincian setiap anggota DPR akan menerima 100 miliar rupiah untuk dana aspirasi.

Sungguh fantastis angka itu. Memang dana itu digunakan untuk pembangunan di daerah pemilihan masing-masing. Tetapi, menurut banyak kalangan dengan dana sebesar itu sangat terbuka kemungkinan untuk terjadinya korupsi atau penyimpangan, yang akan menguntungkan dan mengawetkan kekuasaan para wakil rakyat itu di daerah pemilihannya. Dalam logika orang awam, semestinya untuk menguatkan posisi dan peran setiap wakil rakyat di hadapan konstituennya menjadi tanggungjawab pribadi, karena diri mereka melekat tanggungjawab membina warganya dan untuk itu setiap mereka memperoleh gaji dan penghasilan tetap yang diberikan negara.

Dengan dana UP2DP maka setiap anggota DPR telah membebankan kewajiban dan kepentingan politiknya untuk ditanggung negara. Negara memperoleh beban baru mengeluarkan 11,2 triliun pertahun atau 56 triliun perlima tahun, namun yang memperoleh nama harum dan panen politiknya para anggota DPR yang terhormat itu. Padahal jika anggaran sebesar itu digunakan langsung oleh pemerintah bersama lembaga-lembaga kemasyarakatan setempat yang terpercaya untuk pemberdayaan kaum miskin maka betapa besar dan bemanfaatnya uang yang sangat besar itu.

Sebelum ini kuat penolakan masyarakat dan berbagai pihak atas rencana UP2DP atau dana aspirasi itu. Ada pula partai politik yang menolak dan dalam rapat paripurna tetap berkeberatan, meskipun tidak tampak telalu ngotot. Tetapi selebihnya menyetujuji termasuk dari partai-partai Islam dan partai politik selama ini mengusung reformasi. Jika diletakkan dalam konteks otoritas, sungguh tidak ada yang akan bisa mencegah DPR menetapkan anggaran karena memang itu kewenangannya. Namun di balik otoritas atau kekuasaan itu sesungguhnya terletak moral kepatutan, yang tentu harus menjadi pertimbangan bagi seluruh pejabat dan institusi negara, lebih-lebih anggota DPR selaku wakil rakyat.

Beragam informasi di ruang publik selama ini beredar cukup kuat, kalau pada umumnya para wakil rakyat di Senayan itu sulit sekali menerima masukan jika menyangkut urusan kepentingannya, meskipun merugikan dan menciderai hati rakyat. Argumentasinya selalu dibikin logis dan seakan demi kepentingan rakyat. Dari kasus dana aspirasi itu tampak sekali sikap elitis para anggota DPR, yang menyandang wakil rakyat sebagai atribut yang sangat terhormat. Mata batin, rasa, dan moralitasnya untuk benar-benar membela dan memperjuangkan nasib rakyat sangat lemah dan cenderung verbal. Boleh jadi masih terdapat para wakil rakyat yang masih dapat dipercaya, tetapi ruang dan budaya politik yang dominan lebih pada politik elitis dan mengabdi pada kepentingan dirinya.

Dalam budaya politik elitis, para elite dan pejabat publik tidak sungguh-sungguh mau memperjuangkan rakyat secara autentik. Mereka hanya peduli pada ambisi-ambisi dirinya untuk meraih materi, kursi, dan kepentingan apapun yang memperbesar kekuasaannya. Orientasi pada uang, jabatan, mobilitas diri, dan kesenangan dunia sudah melebihi takaran sehingga tidak pernah merasa puas dan cukup. Itulah yang disebut Muhammadiyah sebagai perilaku erosi dan degradasi nilai-nilai keindonesiaan diukur dari jiwa, pikiran, dan cita-cita kemerdekaan yang ditegakkan para pendiri bangsa. Para elite politik itu telah kehilangan ruh dan moral kebangsaannya yang luhur dan mulia dalam berpolitik, sehingga menjadi rakus dan ananiyah. Inilah paradoks politik elite di era demokrasi saat ini!

Exit mobile version