Kalau kita mulai, bahwa potensi umat islam itu untuk menjadi sebuah kekuatan ekonomi itu ada. kalau sekarang belum tercapai itu banyak hal, saya melihat dari sisi, umat islam belum meneladani rasulullah, rasulullah itu seorang entrepreneur, tetapi pendidikan kita kalau kembali ke pendidikan dasar itu tidak ada yang menanamkan jiwa entrepreneur, tetapi baru sekarang mulai marak seperti market days di banyak TK dan latihan berjualan, dimulai tetapi masih parsial. Karena tidak mungkin bangsa yang besar ini, menguasai bidang-bidang tertentu tanpa proses. Saya prihatin dengan kondisi ketertinggalan ini, kalau dari sisi pusat-pusat perbelanjaan yang disinggung tadi antara umat islam, non muslim, atau etnis tertentu memang umat islam sedikit seperti di tanah abang, glodok atau kota besar, itu di kuasai oleh non pribumi. Tetapi di kota metropolitan batasan-batasan semacam itu menjadi tidak tajam karena persaingan sudah mengglobal.
Bagaimana kita menjadi kuat ? tidak hanya bersaing tetapi kita bersanding dengan bangsa lain untuk bidang ekonomi. Memang harus ada lompatan-lompatan yang sifatnya structural dari unsur pemerintah dan negara yang bisa merubah budaya bangsa Indonesia dan umat islam yang sebagai mayoritas supaya bisa bersanding dengan bangsa yang lain. Jadi menurut saya, ada momentum MEA yang harus kita sikapi.
Menurut saya aspek pendidikan itu penting dan harus ditanamkan sejak kecil, mereka belajar dari bangsa-bangsa lain yang maju, itu kan dari pendidikan seperti jepang yang terpuruk bisa bangkit karena dulunya mau belajar. Kalau di Indonesia saya lihat harus mulai dari pendidikannya di bidang entrepreneuer untuk kemajuan ekonomi supaya kuat harus melalui pendidikan. Karena pendidikan itu akan merubah semuanya, bayangkan kalau pendidikan ini gagal artinya semua rusak. Peran-peran siapa yang bisa, itu kembali lagi pemerintah menjadi sangat penting dan Muhammadiyah, Aisyiyah sebagai civil society juga harus bisa membangun bersama-sama dan bersinergi untuk menjadikan umat ini menjadi umat yang kuat.
Sekarang keberpihakkan ini harus dibangun, saat ini tidak jelas. Kita tidak bisa memproduksi terigu tetapi pemakan terigu terbesar, karena tidak tau dan pola produksinya salah. Kita makannya kan tahu, tempe tetapi kekurangan kedelai, itu kan salahnya dikebijakan strukturalnya yang melahirkan budaya yang salah.
Saya yakin, kita bisa berubah kalau kita semua bangsa, pemerintah, dan masyarakat melakukan keberpihakkan yang jelas. Saat ini kan tidak berpihak dan tidak jelas, rakyat sudah miskin dan inginnya yang murah dan produk yang murah dari luar sperti Cina, itu tidak dipikir.
Ada anggapan Aisyiyah anti luar dan maunya sendiri. sebenarnya kami sedang mengurusi diri kita sendiri. Apapun yang di katakan orang bagaimana kita bisa survive kalau semua buruh, betul gak? Produksinya tidak ada semua murah dan akhirnya import dan kita terjebak pada import yang luar biasa.
–NISA