UMAT Islam dewasa ini secara numerikal berjumlah kurang lebih 1,6 milyar orang (23% dari total populasi dunia). Dan pada tahun 2050 nanti, menurut Lembaga Pew Research Center, Amerika Serikat, jumlah tersebut akan mencapai 2,8 milyar. Apabila tren peningkatan numerikal terutama karena faktor fertilitas ini tidak berubah, dan juga tidak ada kejadian yang istimewa tentunya, maka pada tahun 2070 untuk pertama kalinya dalam sejarah jumlah umat Islam akan melampaui jumlah penganut agama Nasrani (Katolik dan Kristen Protestan). Apalagi jika ditambah dengan tren konversi ke dalam Islam terus berlangsung secepat beberapa decade terakhir ini!
Meskipun Islam sebenarnya bukan agama yang terlalu mementingkan jumlah, melainkan lebih mengutamakan kualitas, tetapi perubahan demografi agama semacam itu tak ayal lagi menimbulkan perasaan harap-harap cemas juga. Pasalnya, umat Islam dewasa ini masih menghadapai permasalahan yang sangat kompleks dan multidimensional: bukan hanya kemiskinan dan keterbelakangan, melainkan juga konflik keagamaan atau sektarianisme, pelanggaran ham, dan deprivasi sosial politik yang akut. Sulit untuk mengatakan hubungan antaragama dan sekte internal umat Islam sudah baik dan harmonis. Konflik-konflik antarumat beragama dan sektarian, latent atau manifest, masih berlangsung di seantero Dunia Islam.
Arab Spring yang semula diharapkan melahirkan negara-negara muslim dengan sistem politik dan rezim baru yang lebih demokratis, terbuka, dan menjunjung tinggi HAM, ternyata justru melahirkan petaka yang tak terperikan. Konflik-konflik sosial politik yang beraroma sektarianisme di berbagai negara muslim berlangsung semakin keras, bahkan mengambil bentuk tindak kekerasan atau peperangan yang bukan hanya mengakibatkan korban jiwa yang sangat besar, melainkan juga gelombang eksodus warganya ke negeri lain, terutama ke negara-negara Barat (Eropa), untuk mencari suaka politik akhir-akhir ini.
Perjalanan gelombang pengungsi dalam jumlah yang sangat besar dan berskala masif itu sedemikian memilukan dan menghentak nurani kita sehingga tidak perlu lagi dikemukakan ulang dalam tulisan ini. Beruntung negara-negara Eropa sedikit mengubah kebijakan mereka terhadap pengungsi. Padahal di negara-negara tersebut sikap Islamo-phobia masih cukup keras dengan segala resonansi, reperkusi, dan implikasi sosial politik yang kadang eksesif. Belum lagi kecurigaan negara-negara Barat akan keterkaitan Islam dengan gerakan terorisme internasional juga masih menjadi momok yang kenyataannya sering diikuti dengan kebijakan-kebijakan sosial politik yang intinya membatasi ruang gerak kegiatan keagamaan di sana.
Pertanyaannya adalah bagaimana masa depan Dunia Islam ketika geografi dan demografi agama untuk pertama kalinya berubah pada tahun 2050 dan semakin dramatis pada tahun 2070 nanti? Sebagai bangsa yang sekarang ini memiliki jumlah pemeluk Islam terbesar di dunia, Indonesia perlu melihat dan meletakkan fenomena ini dalam konteks dan perspektif ke depan. Meski jumlah umat Islam Indonesia tetap mayoritas, tetapi pada tahun 2050-2070 nanti jumlahnya akan terlampaui oleh penganut Islam di India. Tetapi tetap saja umat Islam Indonesia memiliki tanggung jawab yang besar kalau bukannya yang terbesar.
Apa yang disebut dengan Dunia Islam pada saat itu pastilah akan sangat berbeda dengan apa yang disebut dengan Dunia Islam dewasa ini. Jika saat ini definisi Dunia Islam adalah kawasan Timar Tengah, Asia Kecil, dan Asia tenggara, maka pada tahun 2050-2070 nanti Dunia Islam akan meliputi Eropa, Asia Selatan, dan Amerika Utara. Pasalnya, Islam akan menjadi agama mayoritas di benua Eropa, Amerika, dan Asia. Bahkan India akan menjadi negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia. Meski Hindu tetap menjadi agama mayoritas di sana, tetapi jumlah umat Islam India melampaui jumlah umat Islam Indonesia secara signifikan.
Satu hal yang pasti adalah bahwa Islam yang mayoritas haruslah berhasil mewujudkan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Perdamaian hanya bisa diwujudkan jika ada persamaan, dan persamaan hanya mungkin terwujud jika ada keadilan. Pasalnya, seperti kata Mohamad Hatta, salah seorang dari dua Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia, Wakil Presiden pertama kita, ”tanpa persamaan tidak akan ada persaudaraan dan perdamaian yang sejati”. Walhasil, untuk mewujudkan persaudaraan dunia internasional harus didahului dengan mewujudkan persamaan dan keadilan.
Tantangan tersebut sangat lah berat dan oleh karena itu harus menjadi perhatian para pemimpin atau zu’ama’ Islam di seluruh dunia. Umat Islam yang menjadi bagian terbesar populasi dunia Pasca-2050 harus tetap menjadi ragi bagi kemanusiaan universal yang merubah dunia yang dewasa ini timpang dan tidak adil secara ekonomi dan politik ini menjadi dunia yang penuh rahmat (baca: kasih sayang) sesuai dengan doktrin wa ma arsalnaka illa rahmatan li ’l-’alamien yang bersemangat ukhuwah Islamiyah. Semoga!
—————————
Oleh Hajriyanto Y. Thohari
Wakil Ketua MPR RI 2009-2014, kini Ketua PP Muhammadiyah.