Salman Al-Farisi orang Persia. Dia mengembara untuk mencari figur utama bernama Muhammad, yang telah tersebar namanya sebagai Nabi akhir zaman yang memba risalah Islam di jazirah Arab. Dia berasal dari kalangan bawah, hingga menjadi hamba sahaya. Setelah bertemu Nabi dia masuk Islam dalam keadaan belum merdeka.
Salman sosok yang cerdas cendekia. Nabi tidak membiarkannya anak muda dari Persia ini tetap menjadi sahaya. Didorongnya dia untuk membebaskan diri dari ikatan majikannya. Sang majikan membolehkan dengan syarat, Salman harus menanam tigaratus pohon kurma dan menebus empat puluh Uqiyah. Anak muda berparas hitam ini bekerja keras demi pembebasan dirinya.
Nabi tidak membiarkan Salman berjuang sendiri, meski anak muda ini sosok yang gigih. Diminta sebagian sahabat untuk membantu Salman. Akhirnya tanaman kurma itu selesai digarap dan membuahkan hasil. Salman boleh bebas, namun minus uang tebusan. Nabi kemudian membantu membebaskan Salam dengan memberikan uang tebusan kepada sang majikan. Salman akhirnya menjadi Muslim yang merdeka.
Kisah pembebasan Salman Al-Farisi memberi pelajaran berharga kepada umat Islam saat ini. Di satu pihak, anak muda dari Persia yang semula budak sahaya tetapi cerdas itu berjuang gigih untuk menemukan kebenaran Islam hingga berjalan beribu mil dari Persia ke Madinah, sekaligus demi Islam dan kemerdekaan dirinya dia mau bekerja keras. Salman tidak menunggu uluran tangan pihak lain, dia tunjukkan sikap gigih untuk menjadi manusia merdeka.
Salman menghayati betul sabda Nabi, yang artinya “Tidak ada orang yang makan makanan yang lebih baik daripada hasil pekerjaan tangannya sendiri, dan sesungguhnya Nabi Allah Daud alaihissalam makan dari hasil pekerjaannya sendiri”. Dalam hadis lain disabdakan, “Inna athyaba ma akala ar-rajulu min kasbihi”, sesungguhnya sebaik-baik yang dimakan seseorang ialah hasil pekerjaannya sendiri.
Di pihak lain, Nabi selaku pemimpin juga tidak membiarkan sahabat dan umanya yang dhu’afa harus menanggung beban sendirian. Beliau libatkan para sahabat untuk membantu Salman, termasuk menyediakan uang tebusan sebagai penyerta pembebasan. Selaku pemimpin Nabi tidak berdiri di menara gading, apalagi beretorika. Beliau turun ke lapangan dan berbuat untuk membebaskan umatnya dari jeratan penindasan.
Antara umat dan pemimpin terjalin jiwa persaudaraan dan ikhitiar bersama. Nabi membantu memberi ikan, juga memberi kail kepada Salman. Selaku pemimpin, Nabi tidak membiarkan umatnya tetap berada dalam kedhu’afaan, beliau hadir untuk membebaskan dan memberdayakan. Itulah Nabi akhir zaman yang mengajarkan kepada para pemimpin umat agar peduli pada nasib umatnya terutama yang dhu’afa-mustadh’afin untuk dimerdekakan dan dimajukan kehidupannya.
Maka alangkah jauh dari uswah Nabi dan kegigihan Salman manakala kini masih ada sebahagian umat yang tidak mau bekerja keras, mandiri, dan berjuang untuk memberdayakan dan memajukan kehidupannya. Selaku Muslim yang baik, siapapun harus menjadi insan yang gigih berjuang sehingga menjadi orang yang berkemajuan. Islam sangat menganjurkan umatnya untuk menjadi insan yang berdaya, cerdas, bermartabat, maju, dan unggul. Sebaliknya tidak menghendaki menjadi umat yang lemah, membebek, malas, tertinggal, dan tak berdaya saing.
Para pemimpin umat saat ini tidak boleh membiarkan umatnya hidup lemah, tertinggal, dan tertindas. Umat harus diberdayakan dan jangan diperdaya. Umat harus dicerdaskan dan jangan dibodohi. Umat harus dibawa ke arah kemajuan dan jangan dibiarkan dalam ketertinggalan. Umat jangan dininabobokan dengan kebiasaan-kebiasaan yang membuat dirinya tetap tertinggal, sementara para pemimpinnya serba digdaya ,dan gemar beretorika. Umat malah banyak dihibur dengan kegiatan-kegiatan yang menyenangkan secara sesaat plus menjadi komoditi para pemimpinnya yang berbangga-bangga diri, tetapi nasibnya tak beranjak dari ketertinggalan. Umat yang jumlahnya besar dan sering dibangga-banggakan para pemimpinnya itu, akhirnya terbuai dalam bayangan indah fatamorgana! *** A. Nuha