Sakit pun Tetap Wajib Beribadah
Ibadah merupakan kewajiban makhluk (jin dan manusia) kepada Kholik (QS Adz Dzariyat 56). Karenanya, sebagai seorang Islam (muslim) atau orang beriman (mukmin) tentu mempunyai kewajiban beribadah (mahdlah) kepada Allah dalam kondisi apapun. Bagaimana jika dalam kondisi sakit, apakah kewajiban beribadah masih tetap berlaku?
Sakit adalah manusiawi. Setiap manusia dapat menderita sakit. Bukan hanya manusia awam yang menderita sakit, ulama pun dapat menderita sakit. Bahkan para Nabi dan Rasul juga pernah mengalami sakit.
Nabi Ibrahim sebagai Bapak para Nabi juga pernah menderita sakit (QS.Ash Shaffat 89). Nabi Sulaiman yang terkenal paling kaya dan berkuasa juga mengalami sakit (QS Shad 34). Nabi Yunus juga pernah sakit (QS Ash Shaffat 145). Nabi Ayub salah satu contoh yang melegenda dalam hal sakit. Dan bahkan Rasulullah SAW juga mengalami sakit sebelum meninggal.
Para Nabi dan Rasul sebagai utusan Allah tentu tetap beribadah. Bagaimana kisah Ayub yang sakit menahun dan ditinggalkan keluarga, ia tetap melakukan kewajiban ibadah yang dibebankan pada dirinya. Demikian pula Rasulullah Muhammad SAW juga tetap menjalankan shalat dengan duduk disamping Abu Bakar RA.
Nabi dan Rasul sebagai seorang manusia tetap saja sakit, tetapi tetap melaksanakan ibadahnya. Bagaimana dengan manusia yang lain yang mengaku muslim, mengaku beriman? Tentu mempunyai kewajiban yang sama untuk melakukan ibadah ketika sakit sebagaimana para Nabi dan Rasul yang juga mengalami sakit.
Di dalam Al Qur’an tak kurang kata sakit disebut dalam13 ayat, dan yang berhubungan dengan ibadah ada 7 ayat. Ibadah-ibadah mahdah yang disebut dalam ayat-ayat tersebut terkait dengan ibadah badan, yaitu: sholat, puasa serta haji dan umroh.
Untuk sholat, dalam Al Qur’an hanya menyebutkan bagaimana wudlu orang sakit yang dapat diganti dengan tayamum. Ayat-ayat Al Qur’an tidak memerinci bagaimana cara shalat ketika sakit. Mungkin dalam hal ini Nabi Muhammad SAW sakit menjelang ajalnya, sehingga Nabi dapat memberi contoh umatnya shalat tatkala sakit.
Salah satu ayat yang menyebutkan bagaimana wudlu orang yang sakit adalah:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur. (Al Maidah 6)
Sedangkan untuk ibadah puasa bagi si sakit. Si Sakit dipersilahkan untuk tidak berpuasa tetapi harus mengganti pada kesempatan yang lain. Namun ketika sakit itu menahun, maka puasa yang ditinggalkannya dapat diganti dengan fidyah. Hal ini dapat dilihat dalam QS Al Baqarah 184:
(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barang siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (QS Al Baqarah 184)
Mengenai ibadah haji dan umrah jika terhalang (termasuk karena sakit) harus menyembelih qurban atau hadyu. Hal ini dapat dilihat dalam QS Al Baqarah 196:
Dan sempurnakanlah ibadah haji dan `umrah karena Allah. Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) korban yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum korban sampai di tempat penyembelihannya. Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu: berpuasa atau bersedekah atau berkorban. Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan `umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) korban yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidilharam (orang-orang yang bukan penduduk kota Mekah). Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya. (QS Al Baqarah 196)
——————-
Waalahu a’lam bishowab. (Lutfi Effendi).