Assalamu’alaikum wr wb.
Ibu Emmy yth., saya (30 tahun) ibu dari dua orang anak. Yang pertama laki-laki (6 tahun) dan yang kedua perempuan (2,5 tahun). Sekarang ini saya sedang mengajari anak perempuan saya untuk buang air kecil/besar (BAK/BAB) di kamar mandi. Si sulung dulu umur 2 tahun sudah bisa BAK/BAB di kamar mandi dan sudah tidak pernah ngompol. Yang menjadi masalah saya, si bungsu sampai usia sekarang belum bisa dibiasakan, bahkan bila pipis diminta jongkok susah sekali. Kadang, dia lebih memilih menangis dari pada menuruti ibunya.
Mengapa si bungsu lebih susah diajari BAK/BAB dengan benar dari pada kakaknya? Apa karena si bungsu perempuan? Apa yang seharusnya saya lakukan? Mohon jawabannya. Atas jawabannya jazakumullah.
Wassalamu’alaikumsalam wr wb.
Ibu Sri, di Jogja.
Wa’alaikumsalam wr wb.
Ibu Sri yth., anak pada usia batita, punya kecenderungan belajar dengan cara “modelling” (meniru). Ia bisa mencontoh siapapun yang ada di dekatnya, bisa orang tua, saudaranya, yang momong (caregiver) dan sebagainya. Jadi bila ia pipis sambil berdiri itu masih normal. Namun, meski masih wajar hendaknya dia segera diberi tahu bahwa kita apalagi anak perempuan tidak diajarkan untuk pipis berdiri. Tapi, selama anak tidak menanyakan alasan kenapa kalau pipis harus jongkok, sebaiknya tidak usah dijelaskan secara mendetail. Sebetulnya, kenapa anak perempuan harus pipis jongkok, pertama untuk kenyamanan, karena kalau anak perempuan pipis berdiri bisa mengotori kakinya. Logikanya, setiap anak akan merasa tidak nyaman bila pipisnya mengotori kakinya. Yang kedua, untuk mengajari masalah najis. Maka, masalah pipis jongkok juga berlaku bagi anak laki-laki.
Yang juga penting diperhatikan jangan sampai anak lantas merasa nyaman pipis berdiri. Amannya, minta ia pipis atau BAB di toilet atau kamar mandi. Orang tua harus nengajarkan dan mengajak anak melihat orang tuanya pipis di toilet/kamar mandi dan memperlihatkan cara membersihkannya. Di usia batita biasanya sudah bisa mengerti dan mengikuti.
Kemampuan anak dalam hal toilet training, ada yang usia di bawah setahun sudah bisa diajari toilet training. Tapi, masih normal untuk anak usia 2-3 tahun. Karena, tidak ada ukuran normal kapan seorang anak harus cakap bertoilet training. Yang dilihat adalah apakah orang tua cukup sabar dan cukup waktu untuk mengajari si anak. Sementara, pada anak dilihat apakah tanda-tanda ia sudah siap.
Tanda anak sudah siap bertoilet training bermacam-macam. Misalnya, ia mulai tidak nyaman ketika pampersnya basah karena pipis atau pup. Atau, karena ia tidak nyaman, lalu ia menahan pipisnya. Sebagai orang tua, harus memperhatikan perubahan anak, terutama 5 tahun pertama. Baik perubahan tingkah laku maupun emosinya. Jika orang tua dan anak sudah punya kesiapan untuk mengajari dan diajari bertoilet training, maka proses belajarnya bisa lebih cepat. Jika sebaliknya, justru tidak akan efektif dan memperlama prosesnya.
Seorang ahli bernama Freud mengatakan bahwa fase anal stage berlangsung sampai anak berusia 3 tahun. fase ini sangat penting, karena akan melatih control jasmani yang mengarah pada rasa pencapaian atau prestasi dan kemandirian anak. Jika fase ini bisa terlewati dengan baik maka akan berdampak pada kepribadian anak kelak.
Contohnya, anak sudah siap bertoilet training, ia minta BAB, tapi orang dewasa di dekatnya malas mengantar si anak ke kamar mandi. Ini bisa berakibat anak mengembangkan “anal expulsive personality” dimana nanti anak akan menjadi pemboros, berantakan, “destructive” pada diri sendiri dan sebagainya. Sebaliknya, bila orang tua terlalu keras dalam mengajarinya, bisa terjadi “anal retentive personality” dimana anak menjadi seorang yang “rigid” atau kaku, tidak fleksibel, ketat pada diri sendiri, mengembangkan sikap obsesif terhadap sesuatu dan sebagainya. Terlalu keras di sini bisa karena anak belum siap dan orang tua mengajari bertoilet training dengan “punishment and reward”. Padahal, di toilet training sebaiknya dihindari ‘hukuman” seperti, anak dimarahi atau dimaki-maki karena pipis atau pup di celana. Cukup diajak untuk membersihkan bila sudah keluar di celana dan kemudian diberi pengertian. Bila anak sudah bisa pipis atau pup di kamar mandi beri pujian sebagai hadiah/”reward”nya.
Toilet training memang perlu diberikan pada anak, supaya ia terhindar dari rasa malu. Karena bila ia pipis atau pup di celana bisa jadi ia akan diejek oleh temannya karena bau. Maka, ayo Bu, siapkan diri ibu dulu baru ajari anak untuk bertoilet training dengan telaten dan sabar. Dengan begitu ibu membantu anak mendapatkan penilaian social yang positif pada anak dari lingkungannya. Semoga Ibu diberi kesabaran dalam menemani putra-putri Ibu. Amiin.