Umat Islam adalah penduduk mayoritas Indonesia, akan tetapi mereka dalam kondisi yang tidak kualitatif. Sebaliknya umat non Islam adalah penduduk minoritas dalam negeri ini, namun mereka dalam kondisi yang kualitatif bahkan bisa dikatakan sangat kualitatif dalam berbagai bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Kenapa demikian? Tidak lain karena tokoh-tokoh umat Islam baik tokoh politik, tokoh ekonomi maupun tokoh yang lain, tidak mampu melakukan strategi pembinaan umat yang baik.akibatnya jumlah umat yang mayoritas ini tidak mampu berbuat banyak dan tidak mampu bersaing dengan umat lain khusunya dalam politik dan ekonomi.
Ketidak mampuan tokoh Islam dalam membina umat karena masing-masing tokoh hanya mementingkan kepentingan kelompoknya tanpa mampu melakukan sinergi dengan kelompok umat Islam lain dan tidak mampu berdialog dengan baik untuk menyatukan pikiran.
Menurut pendapat salah satu ulama’ maju tidaknya umat Islam Indonesia itu tergantung dari tiga hal. Pertama, as-Shiratu ala ar-Ruh, yaitu bahwa kekuatan umat Islam dalam kondisi apapun itu harus memiliki esensi ruh yang sama. Artinya segala perbedaan yang ada pada umat Islam itu akan terpadamkan dengan adanya ruh yang sama, spirit yang sama. Apa ruh yang sama itu? Adalah Allah ghayatuna, tujuan akhir manusia hidup adalah untuk mencari ridla Allah.
Kemudiaan yang kedua, as-Shiratu ala al-Fikrah, adalah cara berfikir yang sama. Tidak sebatas itu, pemikiran yang sama ini harus diimplikasikan dalam bentuk pembinaan tokoh dan umat sebagai laku kebijakan yang disepakati. Sehingga tidak berlaku lagi saling menyalahkan dan saling menyudutkan serta menjadikan kelompok Islam lain sebagai bagian dari keluarga bukan diperlakukan sebagaimana musuh.
Terakhir as-Shiratu ala al-Kaidah, yaitu menyatukan tatanan dan aturan untuk kepentingan bersama. Sampai hari ini sepertinya ketiga hal tersebut masih sulit direalisasikan. Misal saja antara NU dan Muhammadiyah. Masing-masing ormas besar ini dan bahkan keduanya adalah kunci majunya umat Islam Indonesia, masih belum bisa menjadikan perbedaan bagian dari kekuatan dan belum bisa bersatu dalam banyak hal.
Untuk itu harus ada kesadaran bersama utamnya adalah ormas-ormas Islam yang ada khususnya NU dan Muhammadiyah baik simpatisanya maupun tokohnya menjadikan tiga hal di atas bagian dari dasar pergerakanya. Tanpa itu, peran ormas tidak akan mampu meningkatkan daya saing umat.
Selain ketiga hal tersebut di atas, kondisi tokoh umat Islam dewasa ini juga sangat memprihatinkan. Di satu sisi tokoh umat Islam berwawasan bebas bahkan cenderung sekuler dan liberal, pada sisi lain banyak juga tokoh umat Islam yang menonjolkan pribadi yang konservatif dan cenderung radikal. Akibatnya para tokoh tersebut tidak mampu untuk bersatu dan bersinergi dengan baik, bahkan cenderung antara tokoh satu dengan tokoh umat Islam lain saling bermusuhan.
Parahnya persaingan antar tokoh dan ormas tersebut hanya sebatas persaingan luar, yaitu persaingan yang cenderung kepada hal yang bersifat formal dan seremonial, bukan persaingan dalam rangka untuk meningkatkan kualitas umat. Mungkin jika persaingan itu masih berkutat pada bagaimana memperdayakan umat agar lebih maju dan mandiri, mungkin persaingan dan perbedaan ini akan cenderung banyak positifnya. Namun jika terkungkung pada hal yang formal dan seremonial belaka tentu itu adalah bagian dari penghambat umat untuk memperoleh kemajuan. (gsh)