Agenda Yang Belum Selesai

Agenda Yang Belum Selesai

Bukan baru sekali atau dua kali Muhammadiyah memberi pencerahan untuk Indnesia. Sejak berdirinya, Muhammadiyah berhasil membuka cakrawala bangsa ini. Melek huruf di kalangan masyarakat kelas rendah pada awal tahun 1900-an berhasil membangkitkan semangat nasionalisme. Ujungnya berhasil mengusir penjajah, Belanda. Melek huruf dan agama membentuk kepribadian bangsa untuk mencintai agama dan bangsanya.

Dari sini tumbuh dan selalu bersemi semangat untuk segera menjadi negara yang merdeka. Sekarang, gerakan pencerahan ini berlanjut dengan tantangan lebih berat. Bukan lagi mengajari membaca, menulis,, berhitung dan belajar agama, melainkan meluruskan keadaban bangsa ini yang makin melemah. Pencerahan diarahkan pada melek etika dan moralitas, karena pengetahuan dan kekuasaan sudah berlari terlampau jauh meninggalkan norma agama dan etika bangsa.

Menurut Dr. H. Chairil Anwar, Wakil Ketua Majelis Pendidikan Tinggi (Dikti) PP Muhammadiyah, salah satu sebab kemunduran etika ini adalah mempersempit pengertian akhlaq dengan tata krama. Tata karma tidak salah, tetapi pengertian ini tidak diperluas. Padahal, tata karma dalam konteks sekarang adalah dapat diperluas menjadi taat azas atau taat hukum. Jadi “yang lebih penting yang harus ditekankan oleh Muhammadiyah adalah tata krama dalam kehidupan sosial dan tata krama dalam bernegara,” kata Chairil. Bahwa bagaimana agar bangsa ini taat azas, taat kepada hukum.

Dalam hal ini, yang perlu dilakukan Muhammadiyah adalah memperkukuh perannya sebagai gerakan pencerahan, baik dalam wilayah agama, sosial, dan pendidikan. Sebagaimana disampaikan Dr. H. Masykuri, M.Ed, Ketua Lembaga Pengembangan Pesantren PP Muhammadiyah dan Wakil Ketua Bidang Madrasah dan Pesantren (ex-Officio) Majelis Pendidikan Dasar dan Menegah (Dikdasmen) PP Muhammadiyah. Bahwa Muhammadiyah mesti istiqomah pada visi dan misi gerakannya yang mencakup tiga bidang utama: pendidikan, kesehatan, dan pelayanan sosial. Dalam bidang pendidikan, misalnya, KH. Ahmad Dahlan sejak awal mendirikan organisasi Muhammadiyah memiliki tiga cita-cita, yakni ingin membentuk Muslim yang baik dan alim dalam agama, Muslim yang memiliki pandangan yang luas dan alim dalam ilmu-ilmu dunia (ilmu-ilmu umum), dan Muslim yang bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya. “Tiga hal tersebut masih sangat relevan dengan kondisi bangsa saat ini,” tegas Masykuri.

Cita-cita tersebut sudah sangat luas dikembangkan oleh lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah. Makin kuatnya pondasi visi pendidikan Muhamadiyah tersebut, menurut Chairil Anwar, “Muhammadiyah sangat mampu memperbaiki permasalahan moralitas bangsa ini.” Lanjutnya, Muhammadiyah hanya perlu membuat model. Jika tujuan bermuhammadiyah adalah terbentuknya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, maka model masyarakat Islam seperti apa yang dikehendaki? Dalam konteks mencerahkan keadaban bangsa, maka model masyarakat Islam yang dicitakan Muhammadiyah adalah masyarakat Islam yang taat hukum. Dan model seperti itu, sudah sangat tampak dalam lingkungan lembaga pendidikan Muhammadiyah. Contoh seperti inilah yang perlu didesakkan dalam cakupan yang lebih luas, yakni dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Selain itu, menurut Ir. Eko Muhammad Widodo, Rektor Universitas Muhammadiyah Magelang, “lembaga pendidikan Muhammadiyah sudah terbukti dalam sejarah, telah berhasil mencetak sumberdaya manusia yang unggul dalam berpikir sekaligus berakhlaq karimah.” Lembaga pendidikan Muhammadiyah adalah produsen manusia yang beretika dan berkeadaban.

Nilai-nilai ini berhasil ditanamkan adalah karena lembaga pendidikan Muhammadiyah, dalam praktiknya, mampu menyeimbangkan aspek spiritual, pengetahuan, dan keterampilan. Di mana semua itu didesain dengan menggunakan kurikulum agama Islam yang terintegrasi dengan kurikulum pendidikan umum. “Sebagaimana hal itu telah digagas dan diimplementasikan oleh KH. Ahmad Dahlan sejak awal berdirinya Muhammadiyah,” tegas Masykuri,

Maka tidak heran bila tradisi taat hukum dan taat moral sudah lama terimplementasi dalam kehidupan berorganisasi dan interaksi antarwarga Persyarikatan. Tradisi inilah yang perlu dipertegas dan diperkuat untuk memberi contoh bagaimana seharusnya hidup bersama yang beradab. Apalagi dalam suasana hidup berbangsa yang sedang mengalami krisis keadaban seperti sekarang ini.

Memperkuat dan memberi contoh tersebut membutuhkan usaha besar. Yakni terus meningkatkan kualitas lembaga pendidikan Muhammadiyah. Cara inilah yang relatif besar nilainya untuk memperbaiki keadaban bangsa ke depan. Peningkatan kualitas aspek spiritual dan karakter dalam proses transformasi pengetahuan. “Juga kualitas institusional lembaga pendidikan,” kata Prof. Irwan Effendi, Ketua PWM Riau.

Jika menengok sejenak pada hasil Muktamar Muhammadiyah ke-46 lalu, telah dirumuskan tentang Pendidikan Muhammadiyah. Bahwa Pendidikan Muhammadiyah adalah pendidikan pencerahan kesadaran ketuhanan yang menghidupkan, mencerdaskan, dan membebaskan manusia dari kebodohan dan kemiskinan bagi kesejahteraan dan kemakmuran manusia dalam kerangka kehidupan bangsa dan tata pergaulan dunia yang terus berubah dan berkembang.

Bila mencermati rumusan tersebut, menurut Dr. H. Irwan Akib, M.Pd, Rektor Universitas Muhammadiyah Makassar, “lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah baik sekolah, pesantren maupun PTM, sesungguhnya merupakan wadah memberikan pencerahan untuk melahirkan manusia berkarakter utama.” Lembaga pendidikan yang sangat kuat menanamkan nilai-nilai keadaban.

Muhamadiyah selama ini sudah sangat kuat dalam menanamkan nilai keadaban. Muhammadiyah sudah sedemikian berhasil menunaikan tugasnya mencerahkan keadaban bangsa ini, bahkan sejak sebelum negara ini terbentuk. Oleh karena itu, tugas selanjutnya adalah mempertegas, memperkuat, dan kemudian melahirkan ijtihad pencerahan baru untuk peradaban bangsa dan umat manusia pada umumnya. [bahan: thari, nisa, gsh; tulisan: ba]

Exit mobile version