Bagaimana gambaran keterpurukan umat?

umat

Sulit untuk membantah bahwa umat Islam baik secara nasional maupun mondial berada dalam posisi kalah dan terkalahkan alias terpuruk. Kalah secara politik dan militer, kalah ekonomi, dan kalah juga dalam pembangunan peradaban. Bahkan mayoritas umat Islam masih terbelenggu dalam keterbelakangan, kemiskinan.

Di negeri ini umat Islam hanya mayoritas secara angka (numerical majority) saja. Secara ekonomi Islam tidak mayoritas, bahkan minoritas. Lihat saja siapa yang menguasai perekonomian kita? Akibat kelemahan di bidang ekonomi ini maka umat Islam melemah juga di berbagai bidang kehidupan, baik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Secara politik kedudukan umat Islam juga sangat lah lemah. Cala terus dalam pemilihan umum. Apalagi golongan yang sering disebut sebagai kaum modernis Islam: secara politik mereka lemah sekali. Kaum tradisionalis padahal justru menunjukkan kemampuannya yang tinggi utk bertahan secara politik. Tapi kepolitikan kaum modernis mangalami kemerosotan yang sangat akut.

Apakah juga kalah dalam pembangunan peradaban?

Iya, juga dalam pembangunan peradaban. Lihat saja siapa yang mengembangkan peradaban buku di negeri ini sekarang ini? Siapa pemilik Penerbitan buku, jurnal, majalah, bahkan surat kabar, dengan segala jaringannya di seluruh nusantara? Apakah Amat Islam? Demikian juga dengan penguasa-penguasa media, bank, asuransi, dan sebagaimanya itu. Ya, kita harus verja keras. Itupun kalau sadar bahwa kita sedang cala dalam banyak bidang. Sudah kalah dalam berbagai bidang tetapi secara internal semakin sektarian lagi. Lihat saja konflik-konflik atau setidaknya ketegangan antar golongan dalam tubuh umat sendiri akhir-akhir ini semakin sering terjadi.

Muhammadiyah harus benar-benar bisa jadi tenda besar untuk merajut ukhuwah. Jangan malah warga Muhammadiyah sendiri suka bersikap sektarian dengan mengkafirkan sesama umat Islam yang berbeda aliran.

Kalau secara nasional bagaimana?

Saya tidak tahu pasti sejak kapan bangsa ini mulai menjadi merasa lemah, terancam, dan kalah seperti itu. Yang pasti di banyak forum saya selalu mendengar keprihatinan dan penyesalan akan kelemahan diri sebagai bangsa: kita menjadi bangsa konsumen (semua serba impor: dari hasil pertanian sampai teknologi tinggi), kekayaan alam kita yang melimpah dijadikan jarahan bangsa lain, perusahaan-perusahaan besar yang menyangkut hajad hidup orang banyak dan bank-bank mayoritas dimiliki asing. De jure bangsa Indonesia memiliki wilayah darat, laut, dan udara yang kaya raya, de facto dikuasai asing.

Apakah itu semua sudah diperhitungkan sebelumnya?

Ya tidak. Cuma Nabi Muhammad SAW sendiri pernah mengsyaratkannya. Riwayat berikut ini sungguh sangat inspiratif. Syahdan, pernah terjadi sebuah dialog antara Nabi Muhammad SAW dan para sahabat kinasihnya. Rasulullah mengawali dialog itu dengan membuat sebuah statemen: “Akan datang suatu masa, di mana segerombolan orang akan berdatangan mengelilingi dan memperebutkan kalian persis seperti segerombolan orang-orang rakus berkerumun berebut di sekitar hidangan”.

Mendengar itu para sahabat bertanya: “Apakah pada masa itu kita berjumlah kecil atau minoritas, wahai Rasulullah?”. Rasulullah SAW menjawab: “Tidak! Jumlahmu justru besar, akan tetapi kualitasmu adalah seperti buih yang terapung-apung di atas air bah”. (Buih yang terapung-apung di atas air bah sangatlah enteng dan hanya bergerak lantaran menumpang gerakan angin dan atau arus air. Buih bisa hanyut dibawa arus air dan angin, bisa pula terdampar atau didamparkan ke pinggir, atau terserah kemana saja hendak dibawa arus).

Kenapa bangsa terbesar nomor empat di dunia (setelah China, India, dan Amerika Serikat) ini merasa begitu enteng dan lemah? Rasulullah SAW melanjutkan sabdanya: “Semuanya itu lantaran telah tercabut rasa takut dari hati lawan-lawanmu dan telah tertanam kelemahan jiwa dalam hatimu”. Para sahabat bertanya: “Apakah kelemahan jiwa yang Anda maksud, ya Rasulallah?”. Rasulullah menjawab singkat dan padat: “Rakus dunia dan takut mati”. Rakus dunia adalah pangkal korupsi, takut mati adalah cermin pragmatisme.

Kelemahan jiwa itulah yang menjadi pangkal mengapa orang-orang di luar sana menjadi tidak lagi segan kepada kita. Begitu mudah mereka mencemooh, mengolok-olok, atau melecehkan kita, bahkan tragisnya banyak di antara kita sendiri mengolok bangsanya sendiri. Katanya kita hanya besar jumlahnya (numerical majority), tetapi minoritas teknis (technical minority). Maksudnya, kita dicemooh dan mencemooh diri sebagai tidak berkualitas.

Inilah yang terjadi kalau umat yang mayoritas itu mengidap penyakit minoritas (majority with minority complex). Biasanya kemudian sukanya berkelahi antar sesame, senangnya menyelenggarakan acara-acara seremonial (untuk menghibur diri), dan kerjanya tidak terorganisasi dengan baik.

Jadi harus kuat?

Tentu umat Islam itu harus menjadi umat yang kuat. Sebab, Rasulullah menyatakan bahwa “Orang beriman yang kuat itu lebih baik dan lebih dicintai Allah dari pada orang beriman yang lemah” (al-hadist). Kuat disini tentu saja secara lahir (fisik) dan batin (nonfisik): indeks pembangunan manusia yang tinggi. Bangsa yang kuat iman, punya daulat dalam politik, mandiri dalam perekonomian, dan berkepribadian dalam kebudayaan.

Islam yang dianut mayoritas rakyat Indonesia mengajarkan bahwa kualitas itu lebih penting daripada kuantitas. Sebab, fakta menunjukkan bahwa kualitas lah yang lebih menentukan kemenangan dan kejayaan suatu bangsa. Bukan kekayaan alam. Bukan kuantitas. Al-Qur’an menyatakan “kam min fiatin qalilatin gholabat fiatan katsirotan bi idznillah (betapa sering terjadi kelompok yang sedikit mengalahkan kelompok yang banyak, atas ijin Tuhan). Jadilah bangsa yang kuat. Percayalah.

Apa yang harus dilakukan Muhammadiyah?

Muhammadiyah harus tetap bekerja seperti yang dilakukan selama ini. Muhammadiyah tetap harus sedikit bicara banyak kerja. Muhammadiyah tidak boleh berubah menjadi produsen kata-kata seperti ormas-ormas yang lain. Muhammadiyah harus tetap memghasilkan amal-amal nyata, tetap bersemangat memberi, beramal, untuk umat, bangsa, dan negara, bahkan untuk kemanusiaan universal. Muhammadiyah harus tetap bekerja dalam kerja-kerja sunyi, yang jauh dari tepuk tangan yang gegap gempita.

Acara-acara dan upacara-upacara yang seremonial tidak boleh terlalu banyak dilakukan di Muhammadiyah. Mosok Muhammadiyah itu menentang upacara selamatan kematian karena alasan tidak diajarkan Nabi dan juga pemborosan, tetapi mempraktikkan seremonial-seremonial dalam bentuk lain yang nyata-nyata lebih boros lagi! Upacara-upacara ceremonial yang boros dan produktif itu kan hanya memberik kepuasaan simbolik semata. Muhammadiyah sudah biasa melakukan kerja-kerja yang tidak popular kok. Yang penting ikhlas dan lillahi ta’ala. Tidak minta balasan, tidak minta pujian, bahkan tidak minta ucapan tarima kasih dari negara.

Harus optimis

 SETIAP bangsa pasti bercita-cita menjadi bangsa yang maju dan berjaya, bahkan kalau perlu memegang supremasi politik, militer, ekonomi, dan peradaban. Keinginan seperti ini dibenarkan bukan hanya secara politis dan kultural, melainkan juga teologis. Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa “Setiap puak berbangga atas arah perjuangan masing-masing (kullu hizbin bi ma ladaihim farichun, QS Rum:32) dan “Masa-masa kejayaan itu Aku pergilirkan di antara bangsa-bangsa” (wa tilka al-ayyamu nudawiluha baina l-nas (Q.S. Ali Imran: 140).

Maka sangatlah beralasan manakala setiap anak bangsa senantiasa risau dan bertanya-tanya kapan giliran bangsa Indonesia maju dan berjaya? Berjaya di antara bangsa-bangsa Asia Tenggara, kemudian di antara bangsa-bangsa Asia, dan akhirnya di antara bangsa-bangsa dunia. Kapan bangsa Indonesia dihargai, dihormati, dan disegani, oleh bangsa-bangsa lain karena kemajuannya di bidang ekonomi, politik, militer, dan peradaban?

Apakah itu yang disebut nasionalisme dan patriotisme seperti yang sering dikutip para pejabat negara dan tokoh politik itu? Kita, atau tepatnya penulis, tidak terlalu berurusan dengan istilah itu: yang penting, ketahuilah, hati kita risau, kapan Indonesia maju dan berjaya? Hati ini sedih, dan tidak jarang menjadi nglokro karena melihat gelagatnya masih sangat jauh dan panjang bagi bangsa ini untuk menjadi bangsa yang maju dan berjaya di tengah-tengah bangsa lain!

Lihat saja infrastruktur fisik dan budaya yang akan menopang kemajuan bangsa yang masih serba kurang dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain. Angka korupsi masih menggila. Terbongkarnya mafia hukum, makelar kasus, dan sekarang makelar pajak, dan entah makelar apalagi yang akan muncul ke permukaan. Semua yang selama ini ditampakkan sebagai mulus dan rapi ternyata kamuflase belaka. Begitu karpet indah itu disingkap ternyata borok-borok di bawahnya luar biasa parah.

Kenyataan ini tidak jarang membikin kita frustrasi. Apalagi jika kita melihat indikator-indikator di berbagai bidang kehidupan baik politik, hukum, ekonomi, sosial dan budaya seperti yang tercermin pada index-index pembangunan manusia. Betapa tidak, di kawasan Asia Tenggara saja kita belum berjaya. Alih-alih meraih prestasi kejayaan di antara bangsa-bangsa Asia dan dunia, tampaknya masih memerlukan beberapa generasi lagi. Kita masih termasuk dalam kategori bangsa yang tertinggal di belakang.

Sangat meyakinkan, ketertinggalan ini telah menjadikan kita kadang dihinggapi psikologi kekalahan dan rendah diri. Ada gejala kita mengalami krisis percaya diri (self confident) yang mengakibatkan kita menjadi kurang semangat, lemah etos untuk berjuang, dan kehilangan elan vital. Kalau lah bukannya karena ajaran agama yang mengharamkan berputus asa, kita tidak lagi optimis. Kita putus asa. Hanya karena ayat Al-Quran di atas lah kita tidak putus asa, tetapi tetap yakin bahwa prestasi dan prestise itu, meski masih panjang dan lama, pasti akan datang juga.

Kita yakin dapat menyusul ketertinggalan tersebut. Pasalnya, pada sejatinya syarat untuk mencapai kemajuan ada terdapat dalam bangsa ini. Menurut Prof Kishore Mahbubani (Dekan School of Lee Kwan Yew Public Policy, NUS, 2008), berdasarkan pengalaman Cina, India, dan beberapa negara Macan Asia lainnya, faktor-faktor yang menjadi syarat kemajuan suatu bangsa pada sejatinya ada pada diri bangsa Indonesia. Negara ini bukan hanya indah bagaikan zamrut katulistiwa, melainkan juga alamnya menyediakan hampir semua potensi yang memungkinkannya maju dan berjaya. Walhasil negara ini hanya tinggal membenahi nation and character building saja.

Prof Mahbubani, misalnya, bukan yang pertama menegaskan bahwa bangsa Indonesia akan maju jika berhasil menghapuskan mental feodalisme dalam pemerintahan dan dalam masyarakat. Banyak tokoh dan pakar yang menuding mental feodalisme sebagai biang kerok stagnasi bangsa ini menuju kemajuan. Feodalisme dalam pemerintahan itu sangat negatif dan destruktif. Karena feodalisme kritisisme hilang, berkembang budaya asal bapak senang, alias menjilat. Pejabat birokrasi yang feodal cenderung suka bagi-bagi kekuasaan secara nepotis yang anti meritokrasi, dan uang seperti layanya Robinhood. Mereka minta dilayani, bukan melayani.

Feodalisme dalam masyarakat juga tidak kurang destruktifnya. Masyarakat memandang pejabat negara dan pemerintahan dalam konstruksi feodalisme: menuntut kolega dan kerabatnya yang menjadi pejabat negara harus memberikan ”sesuatu” kepada mereka dalam bentuk jabatan dan materi. Masyarakat, apalagi sanak famili, bagaikan semut merubung gula, berduyun-duyun mengepungnya dengan sejumlah proposal dana, memo, dan koneksi sebagai bukti dapat ikut merasakan kekuasaan.

Jika sang pejabat tidak mau memberikan itu semua maka dianggapnya sebagai egois, pelit, dan tidak bermanfaat bagi keluarga. Maka untuk memenuhi tuntutan tersebut sang pejabat harus mempraktekkan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Ini benar-benar merupakan dampak dari budaya feodalisme dalam pemerintahan dan dalam masyarakat yang sangat destruktif. Akibat dari feodalisme maka tidak berlaku prinsip noblesse oblige bagi para pemimpin negara, melainkan prinsip ada gula ada semut!

Maka kita harus memulai dari diri kita masing-masing. Hilangkan feodalisme dari diri masing-masing. Gerakan memperbaiki diri masing-masing sebagai gerakan sentripetal ini niscaya akan memiliki dampak sentrifugal yang pada akhirnya negara kita menjadi benar-benar semakin baik. Ayo, kita mulai dari diri sendiri. Ibda’ bi nafsik!

Exit mobile version