Demokratisasi adalah pilihan baik, dan adalah tidak baik membalik arah jarum jam sejarah ke masa otoritarianisme. Namun, jika demokratisasi dibiarkan berjalan bebas dan liar tanpa kendali norma dan etika, maka akan muncul “otoritarianisme” baru dalam bentuk “kebebasan tak bertanggung jawab”.
Inilah yang menggejala pada kehidupan politik nasional saat ini. Adalah benar bahwa demokrasi telah membawa hal positip bagi kehidupan bangsa seperti terbukanya ruang kebebasan berekspresi, terbukanya kesempatan bagi rakyat untuk menentukan pilihan politik, terjadinya desentralisasi kekuasaan dari Pusat ke Daerah.
Namun, pengamalan ajaran-ajaran demokrasi dari madzhab paling liberal bukan tanpa dampak negatif. Pemilihan langsung telah ikut mengganggu kohesi dan soliditas sosial masyarakat. Perbedaan kepentingan dalam Pemilu telah merusak ukuwah, bukan hanya hizbiyah tapi juga jam’iyyah dan pada giliran berikutnya merusak ukhuwah Islamiyah.
Inilah yang telah terjadi pada Pemilu Legislatif, kala para kader dan tokoh dari suatu organisasi harus berhadapan (head to head) pada satu Daerah Pemilihan, baik dari partai-partai berbeda atau pun partai yang sama. Mereka tidak hanya mengail ikan di kolam yang sama, tapi saling melemparkan ikan ke muka kawan dan atau lawannya.
Kerusakan semakin diperparah oleh keadaan bahwa persaingan di arena demokrasi membawa serta politik uang (money politics). The power of money (keuangan yang maha kuasa) ikut menentukan posisi dan kuasa politik.
Sebagai akibatnya, kaum pemilik modal dapat mengendalikan dan mendiktekan arah kehidupan politik yang mendorong terjadinya politik transaksional. Kecenderungan ini potensial melahirkan “boneka-boneka politik” ataupun “kuda-kuda tunggangan politik”.
Mereka tampil atas sponsoship dan akan membalas budi kepada para sponsor. Inilah yang mendorong terciptanya lingkaran setan kolusi dan korupsi di negeri ini. Para politisi dengan kedua corak ini sulit diharapkan dapat melakukan perubahan ke arah perbaikan. Yang tercipta adalah justru lingkaran setan kerusakan.
Perubahan struktural yang menjadi tugas dan tanggung jawab partai-partai politik kurang membawa kebaikan terhadap perubahan kultural, bahkan perubahan struktural itu potensial membawa keburukan pada kehidupan kultural. Organisasi-organisasi masyarakat, seperti Muhammadiyah, yang memiliki tugas dan tanggung jawab pada perubahan kultural menghadapi tantangan berat, yaitu harus menyanggah kerusakan tersebut.
Organisasi-organisasi masyarakat yang harus memokuskan perhatian pada penguatan landasan landasan budaya masyarakat, kemudian kehilangan waktu karena terpaksa menanggulangi kerusakan-kerusakan dari limbah perubahan pada tataran struktural. Ini tantangan berat bagi organisasi kemasyarakatan.
Dalam kaitan ini, Persyarikatan Muhammadiyah menghadapi tantangan dari dinamika politik nasional yang menampilkan persaingan antara partai-partai politik yang memiliki jalur resmi dalam proses pengambilan keputusan strategis di lembaga legislatif dan eksekutif. Muhammadiyah juga menghadapi dilemma antara peran utamanya sebagai gerakan kebudayaan pada satu sisi dan tuntutan untuk ikut berperan dalam politik kebangsaan pada sisi lain.
Tantangan dan dilemma itu bersumber dari realitas kehidupan kebangsaan yang telah berubah sejak era reformasi yang mendorong arus deras liberalisasi politik, ekonomi, dan budaya. Sebagai akibatnya, tatanan kehidupan bangsa dan negara berubah, baik dalam kehidupan ekonomi, politik maupun dalam kehidupan budaya.
Inilah tantangan yang harus dihadapi dan dilemma harus diatasi. Maka diperlukan dua hal: Mekanisme pertahanan diri (self defense mechanism) untuk menghadapi masalah dan tantangan yang berjangka pendek dan strategi kebudayaan (strategy of culture) untuk menghadapi masalah dan tantangan yang berjangka panjang. (*e).