PEMENANG di dunia global memiliki ciri yang sama. Mereka juga menerapkan langkah-langkah yang mirip sama. Dengan demikian, umat Islam dapat belajar dari para pemenang di dunia global ini. Kemudian membandingkan dengan apa yang dimiliki. Membandingkan untuk mengukur kelebihan dan kelemahan diri dibandingkan dengan kelemahan dan kelebihan orang lain. Memperkaya potensi diri dengan penemuan, kelebihan orang lain itu, Tidak terasa kita akan berubah dan tumbuh menjadi umat pemenang.
Ciri utama mereka adalah, mereka memiliki mental pemenang. Memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Kemduan melengkapi rasa percaya diri ini dengan keahlian dan keberanian. Termasuk keberanian mencoba hal yang baru dan berjuang di tempat yang baru pula. Mereka juga mudah bergaul, luwes dan mudah bekerjasama dengan siapa saja yang memungkinkan. Yang unik, mereka pun mengembangkan kasih saya kepada semua orang, termasuk mengasihi dan menyayangi pesaing yang telah berhasil mereka kalahkan. Dengan demikian kemenangannya menjadi awet.
Empat langkah taktis atau strategis pun biasanya dilakukan oleh para pemenang dunia global. Langkah pertama, mengenal dan mengenali secara detil dan bermakna potensi dirinya sendiri. Langkah kedua mengenal dan mengenali secara detil dan bermakna medan yang mereka masuki. Langkah ketiga, menentukan prioritas kegiatan sehingga terhindar dair kegiatan yang mubadzir. Langkah keempat, senantiasa membangun jaringan, termauk jaringan yang memanfaatkan teknologi informasi dan teknologi komunikasi. ”Untuk menjadi pemenang kehidupan kalian jangan ikut-ikutan pekok. Selalu sertakan kecerdasan otak dan kecerdasan hati dan jiwa,” ungkap Emha Ainun Nadjib dalam banyak pengajian di depan hadirin yang kebanyakan kaum muda.
Dr. Revridson Baswir , Pengamat EKonomi UGM dan Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UGM yang dihubungi SM mengajak umat kembali berpegang kepada nilai-nilai yang ada dalam Islam sendiri. Jangan karena ingin bersaing ataupun ingin memenangkan persaingan malah mengorbankan nilai-nilai. “Kalau menurut hemat saya, ukuran persaingan sendiri tidak harus sama. Karena kita juga berangkat dari hal yang berbeda-bedam” katanya..
Revrisond memberi contioh, Islam mengajarkan bahwa hidupnini tidak hanya berakhir di dunia. Oleh karena itulah keberhasilan dunia itu penting adanya, namun tidak segalanya harus diukur dengan apa yang dicapai di dunia. Jadi jangan sampai karena ingin unggul di dunia, lalu mengorbankan akhirat. Jadi, umat islam itu harus mempunyai ukuran-ukuran tersendiri dalam berkompetisi.
“Bahkan, jangan-jangan nilai-nilai yang diajarkan dalam Islam itu tidak mengajarkan persaingan. Bisa saja yang diajarkan dalam Islam itu adalah yang mendorong kita kepada nilai-nilai kerjasama, tolong menolong. Dan saya kira juga ada ayat dalam kitab suci yang mengatakan untuk saling tolong menolonglah kamu dalam berbuat kebajikan,” tuturnya.
Jadi, kalau benar seperti itu, maka ketika orang lain berlomba-lomba untuk memenangkan persaingan, kita sebagai orang Islam justru harus melakukan hal yang lain yaitu berlomba-lomba untuk menjalin kerjasama. Jadi, kita tidak terseret dan ikut-ikutan dalam paham yang individualism dan kompetisi tadi. “Karena Islam mengajarkan kepada persaudaraan, gotong-royong, silaturahmi, tolong menolong, inilah yang harus dipahami secara betul terlebih dahulu,” tegasnya..
Kalau itu sudah jelas, meneurut Revrisond kita harus membuktikan dengan mengamalkan ajaran Islam dan nilai-nilai Islam itu kita bisa menciptakan sesuatu yang lebih baik. Mungkin bukan pada level individu. Umat Islam bisa menciptakan sebuah keunggulan dengan menciptakan masyarakat yang lebih baik, beradab dan tentunya ukurannya bukan ukuran individu karena kita lebih mendekatkan kepada kekuatan jamaah, ummah. Jadi, yang kita pertandingkan kemudian adalah soal keunggulan kita sebagai komunitas.
Dra Hj Latifah Iskandar, Ketua Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah optimis. Potensi umat islam itu untuk menjadi sebuah kekuatan ekonomi itu ada. Kalau sekarang belum tercapai karena umat Islam belum meneladani Rasulullah. Rsulullah itu seorang entrepreneur, tetapi pendidikan kita tidak ada yang menanamkan jiwa rntrepreneur.Bau sekarang mulai marak upaya itu, berupa merket days di banyak TK dan latihan berjualan. Sayang yang banyak terjadi masih parsial.
Latifah prihatin dengan kondisi ketertinggalan umat Islam ini. Kalau dilihat dari sisi pusat-pusat perbelanjaan maka antara umat Islam dengan non muslim, atau etnis tertentu memang umat Islam sedikit. Misalnya kalau kita lihat di Tanah Abang, Glodok atau kota besar, maka toko-tokonya dikuasai oleh non pribumi. Tetapi di kota metropolitan batasan-batasan semacam itu menjadi tidak tajam karena persaingan sudah mengglobal.
Bagaimana agar kita menjadi kuat ? Menurut Latifah, kita tidak hanya bersaing tetapi kita bersanding dengan bangsa lain untuk bidang ekonomi. Memang harus ada lompatan-lompatan yang sifatnya strkctural dari unsur pemerintah dan negara yang bisa mer\ngubah budaya bangsa Indonesia dan umat islam yang sebagai mayoritas supaya bisa bersanding dengan bangsa yang lain.
Aspek penting agar kita dapat bersanding adalah pendidikan. Kita bisa belajar dari bangsa-bangsa lain yang maju, Jepang yang terpuruk bisa bangkit karena mau belajar. Lewat pendidikan itu akan mengubah semuanya, Twrmasuk mengubah mental bangsa Indonesia menjadi bermental maandiri, antara lain lebih mencintai produk sendiri ketimbang peroduk impor. Dalam hal ini harus kita tepis kalau ada anggapan Aisyiyah anti luar dan maunya barang sendiri. “Sebenarnya kami sedang mengurusi diri kita sendiri. Apapun yang dikatakan orang bagaimana kita bisa survive kalau semua impor, betul gak?” tanya Latifah..
Prof Dr Lincolin Arsyad Ketua Majelis DIKTI PP Muhammadiyah justru mengjak kita meyakini solusi Muhammadiyah. “Saya kira solusi yang paling tepat telah dilakukan oleh Muhammadiyah sejak lama, yaitu melalui pendidikan dan kesehatan,” katanya.
Melalui pendidikan ini kita akan mampu melakukan pengembangan SDM. Jadi sebenarnya sudah sesuai dnegan amanah yang diberikan oleh Kiai Dahlan, yang mana beliau menjadikan kegiatan utama dari Muhammadiyah yaitu di bidang kesehatan dan pendidikan. Karena, dua hal tersebut adalah pilar yang utama dari pembangunan sumberdaya manusia.
Kiai Dahlan itu walaupun hidup di tahun itu, namun pemikirannya sangat visioner. Karena seperti itulah yang sebenarnya menjadi hakikat permasalahan yang akan dihadapi oleh umat di masa sekarang, khususnya masalah pembangunan di Indonesia. Jadi kalau sekarang kita bertanya bagaimana peran yang harus dilakukan oleh Muhammadiyah, seharusnya memang diintensifkan di dua bidang itu. Dan sebenarnya keduanya tidak terpisah, karena terkait satu sama lain. Bahasanya, orang yang sehat jasmaninya pasti dia bisa berfikir dengan sehat, karena dia bisa bersekolah dan bekerja. Jika orang yang tadi kurang dalam pendidikan, maka produktifitasnya akan rendah juga, lalu ini akan berimbas kepada pendapatan yang rendah juga. Ini seperti lingkaran setan saja.
“ Kita sudah tepat menggunting lingkaran setan ini dari dua hal tadi< kata Linclolin tegas.
Jadi, tantangan kita sekarang adalah bagaimana kita mengembangkan Pendidikan Tinggi di Muhammadiyah ini supaya kita mampu melahirkan kader-kader unggulan yang nanti bukan hanya menguasai AIK namun juga menguasai IPTEK dan SAINS.
Jika Muhammadiyah mampu melakukan hal ini pasti daya saing kita khususnya Muhammadiyah akan mampu menglami peningkatan. Kini perguruan tinggi di Muhammadiyah sendiri jumlahnya kurang lebih 177. Tidak sampai 10 persen dari jumlah keseluruhannya yang memiliki kualitas yang sudah bagus. Tantangannya kali ini adalah bagaiman untuk mendorong PTM kita yang banyak ini sehingga mencapai kualitas yang bagus seperti beberapa di antara PTM tadi.
“Jika itu bisa terjadi, maka saya kira akan semakin mantap dalam menciptakan kader-kader Muhammadiyah yang berkualitas. Selain itu juga dalam masalah kesehatan semakin ke sini Rumah sakit di Muhammadiyah juga sudah semakin berkembang, dan fasilitas-fasilitasnya sudah bagus. Sebagai pilar Muhammadiyah, ini mengembirakan,” katanya.
Untuk masalah pembelajaran atau internal yang ada di Perguruan Tinggi, beberapa PTM besar kita sudah melakukan empowerment-empowerment yang menuju ke sana. Di UMS contohnya sudah ada semacam inkubasi tempat pengembangan entrepreneurship, dan ini memang akan kita giatkan pengembangan entrepreneurship di berbagai PTM, khususnya di fakultas ekonomi, sekolah-sekolah tinggi ilmu ekonomi, akan kita tingkatkan.
Lincolin kemudian menjelaskan, “Selain itu semua, salah satu cara yang harus kita lakukan adalah bagaimana kita mengaitkan mahasiswa kita di PTM dengan pengusaha-pengusaha Muhammadiyah. Kita bisa mencoba untuk mengkonsolidasikan pengusaha-pengusaha Muhammadiyah agar nanti perusahaannya mampu menjadi wadah intensif mahasiswa kita untuk sekaligus praktek mengamalkan apa yang telah didapatkannya. “
Karena memang minat menjadi seorang entrepreneur itu masih rendah. Karena idealnya jumlah wiraswasta di sebuah Negara menurut pak Ciputra yaitu 2,5 persen dari total jumlah penduduknya. Dan jumlah entrepreneur kita sekarang masih di di bawah 1 persen dari total penduduknya, jadi masih sangat minim. Itulah kenyataan yang perlu kita ubah, (Bahan: tar, nis, tof. Tulisan: tof).