Ibnu Khuzaimah adalah salah satu tokoh hadits abad ke-4 hijriah. Ia mencurahkan sebagian besar hidupnya untuk mengkaji hadits. Oleh karena perannya yang begitu besar, para ulama menyebutnya sebagai imamnya para imam (imaamul-a’immah). Salah satu karyanya yang memperoleh apresiasi di kalangan ulama, adalah al-Shahih. Sebuah karya yang memuat hadits-hadits shahih yang tidak disebutkan dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim.
Ibnu Khuzaimah hidup pada masa dinasti Abbasiyah angkatan pertama dan kedua, yang sedang mengalami kemunduran (833-945M). Abad ke-3 hingga awal abad ke-4 hijriyah. Keadaan politik dan militer sedang merosot. Uniknya, justru ilmu pengetahuan semakin mengalami kemajuan. Bahkan pada saat itulah ilmu pengetahuan mencapai zaman keemasan dalam sejarah Daulah Islamiyah, termasuk dalam bidang hadis.
Dalam konteks sejarah perkembangan hadis, Ibnu Khuzaimah hidup pada periode kelima dan keenam. Periode kelima yang berkisar selama abad ke-3 hijriyah merupakan masa pemurnian, penyehatan, dan penyempurnaan hadis. Periode keenam, yang dimulai sejak abad ke-4 hingga abad ke-7 hijriah, merupakan masa pemeliharaan, penertiban, dan penghimpunan hadis.
Ibnu Khuzaimah lahir pada masa pemerintahan khalifah al-Mu’tasim (218-227 H/833-842 M). Selama berkuasa, kebijakan al-Mu’tashim terhadap ahli hadis tidak berbeda dengan khalifah terdahulu: menekan, bahkan menyiksa para ahli hadis. Bahkan penggantinya pun, al-Watsiq (227-232 H/842-874 M) juga menerapkan kebijakan yang sama.
Pada masa al-Mutawakkil (232-246 H/847-861 M), perkembangan hadis mulai pesat. Berbeda dengan tiga khalifah sebelumnya, pemahaman al-Mutawakkil lebih sejalan dengan para ulama hadis. Ia sangat menaruh minat terhadap bidang hadis. Ia pun sangat menghormati para ulama hadis. Ia sering mengundang mereka ke istana. Selama pemerintahan inilah, penyebaran, pencarian, dan kajian hadis mengalami perkembangan yang sangat pesat. Saat itu, Ibnu Khuzaimah berusia antara 10-24 tahun.
Di sisi lain, pembuatan dan penyebaran hadis-hadis palsu serta kisah-kisah yang menyesatkan umat semakin merajalela. Ini termotivasi oleh konflik sosial politik sejak masa-masa sebelum al-Mutawakkil. Dalam situasi demikian, para ulama dan peminat hadis bangkit, termasuk Ibnu Khuzaimah, untuk aktif menekuni hadis. Karenanya ia giat melawat mencari hadis ke berbagai daerah hingga beliau menyusun kitab koleksi hadisnya: Shahih Ibnu Khuzaimah.
Ibnu Khuzaimah lahir pada bulan Safar 223 H/ 838 M, di Naisabur, sebuah kota di Khurasan, yang sekarang terletak di bagian timur laut negara Iran. Nama lengkapnya Abu Bakar Muhammad ibn Ishaq ibn Khuzaimah al-Naisaburi. Namanya dinisbatkan kepada kakeknya, Khuzaimah. Ia pun kemudian dikenal dengan nama Ibnu Khuzaimah.
Ibnu Khuzaimah memulai pendidikannya dengan belajar Al-Quran. Sejak kecil ia telah mempelajari Al-Qur’an. Konon, ia sangat ingin menemui Ibnu Qutaibah untuk mencari dan mempelajari hadis. Ketika meminta izin ayahnya, ayahnya menyarankan agar mempelajari Al-Qur’an hingga benar-benar memahami isinya terlebih dahulu. Setelah dianggap mampu memahami Al-Qur’an, ayahnya baru mengizinkannya pergi mencari dan mempelajari hadis dengan melawat ke Marwa dan menemui Muhammad ibn Hisyam serta Ibnu Qutaibah.
Setelah usianya genap 17 tahun, dia melakukan pelayatan intelektual ke berbagai negeri Islam: seperti ke Marwa, Rayy, Syiria, Mesir, Washith, Baghdad, Bashrah, Kufah, dan lain-lain. Selama pelayatannya, dia beguru kepada banyak ulama besar di masanya. Di antara guru-gurunya adalah Ali ibn Muhammad, Musa ibn Sahl al-Ramli, Muhammad ibn Harb, Abu Kuraib, Muhammad ibn Maran, Yunus ibn Abdul A’la, Abdul Jabbar ibn al-A’la, Ishaq ibn Rahawaih, Mahmud ibn Ghailan, Ali ibn Hajar, dan lain-lain. Selain belajar di banyak tempat, Ibnu Khuzaimah juga banyak meriwayatkan hadis. Dalam periwayatan hadis, ia tidak mau menyampaikan hadis yang diterima dari guru-gurunya sebelum benar-benar memahaminya.
Ibnu Khuzaimah memiliki banyak murid. Para muridnya inilah yang meriwayatkan hadis-hadis koleksinya. Di antara para muridnya adalah Yahya ibn Muhammad ibn Sa’id, Abu ‘Ali al-Naisaburi, dan Khala’iq. Yang paling akhir meriwayatkan hadis darinya di Naisabur adalah cucunya sendiri: Abu Tahir Muhammad ibn al-Fadhl. Selain itu, hadis-hadis dari Ibnu Khuzaimah juga banyak diriwayatkan oleh ulama-ulama terkemuka pada zamannya. Di antara yang meriwayatkan hadisnya yaitu Abu al-Qasim Sulaiman ibn Ahmad ibn Ayyub al-Tabra’i, Abu Hatim, Muhammad ibn Hibban al-Busyti, Abu Ahmad, Abdullah ibn ‘Abd al-Jurjani, dan lain-lain.
Karya yang Terselamatkan
Pena Ibnu Khuzaimah sangat tajam. Ia penulis hadits yang amat produktif pada masanya. Konon, Ibnu Khuzaimah memiliki lebih dari 140 hasil karyanya berupa kitab. Karya-karya ini di luar tentang al-Masail (permasalahan-permasalahan tertentu) yang mencapai lebih dari 100 juz, tentang Fiqh Hadits ada 3 juz, dan permasalahan Haji ada 5 juz. Sayangnya, sebagian besar karyanya tidak sampai ke tangan kita, meskipun sekedar nama atau judul. Karyanya yang masih dapat dijumpai saat ini hanya dua: Kitab al-Tauhid dan Shahih Ibn Khuzaimah yang tersimpan di Maktabah al-Islamiyyah, Istanbul, Turki. Perpustakaan ini menyimpan dalam dua bentuk: manuskrip dan kitab.
Karya monumental Ibnu Khuzaimah adalah Shahih Ibnu Khuzaimah. Nama asli kitab ini adalah Mukhtashar al-Muktashar min al-Musnad al-Shahih ‘an al-Nabi Salallahu ‘alaihi wa Salam. Awalnya, kitab ini berupa manuskrip setebal 311 lembar/halaman. Manuskrip tersebut pertama kali ditemukan sekitar abad ke-6 atau awal abad ke-7 Hijriah di sebuah toko buku Istanbul. Manuskrip yang sama ternyata juga ditemukan di toko-toko buku di Eropa.
Naskah Shahih Ibn Khuzaimah yang sampai kepada kita merupakan hasil suntingan Dr. M.M. Azami, intelektual hadis kontemporer. Naskah tersebut pertama kali diterbitkan oleh al-Maktab al-Islami pada tahun 1390 H/1970 M. Metode yang digunakan dalam kitab ini adalah metode imla’. Yakni, Ibnu Khuzaimah mendiktekan hadis-hadis koleksinya kepada para muridnya. Sedangkan dari segi sistematika penyusunannya, naskah cetakan kitab Shahih Ibnu Khuzaimah seluruhnya terdiri dari 4 juz/jilid.
Keseluruhan jilid tersebut dibagi menjadi 7 kitab: kitab al-wudhu’, kitab al-shalah, kitab al-imamah fi al-shalah, kitab al-jum’ah, kitab al-shiyam, kitab al-zakah, dan kitab al-manasik. Setiap kitab ini diklasifikasikan menjadi beberapa bab dengan jumlah yang berbeda-beda untuk tiap kitabnya, berkisar antara 100-500an bab. Oleh sebagian ulama hadits, Shahih Ibnu Khuzaimah dianggap sebagai kitab yang sangat penting setelah Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim.
Amat disayangkan, warisan karya Ibnu Khuzaimah tidak sampai kepada kita. Padahal, sangat penting mengetahui sejarah perjuangan dan pengabdian Ibnu Khuzaimah. Begitulah, setelah mengisi masa hidupnya dengan berbagai perjuangan dan pengabdian, akhirnya pada bulan Dzul Qa’dah 311 H/924 M, Ibnu Khuzaimah wafat dalam usia kurang lebih 89 tahun. Jenazahnya dimandikan, dikafani, dishalatkan, dan dimakamkan di bekas kamarnya, yang kemudian dijadikan makamnya. [ba; dari berbagai sumber]
Sumber: Majalah SM Edisi 22 Tahun 2015