Umat Islam tertinggal dari umat lain di Indonesia? Itu betul. Daya saing umat Islam juga kalah? Juga betul. Sudah lama sekali ini dirasakan, tapi belum kunjung menjadi kesadaran bersama. Saking terpuruknya di banyak hal, sampai tidak tahu lagi secara rinci bidang apa saja yang tertinggal. Miris. Tapi tidak boleh menyerah. Kepingan-kepingan kekuatan yang terserak mesti dikumpulkan lagi. Dijadikan satu kekuatan. Kita tidak sedang memulai, tapi mengembalikan daya saing umat. Mengembalikan kesamaan visi umat Islam yang sudah lama dipecah-pecah.
Kekuatan umat Islam yang terpecah-pecah sangat rentan dipermainkan. Dijadikan bahan mainan dan olokan kekuatan umat lain. Umat Islam pun terpuruk dan makin terpuruk. Keterpurukan umat Islam Indonesia tersebut pun berdampak besar pada daya saing. Dalam banyak aspek, umat Islam tidak lagi berdaya ketika berhadapan dengan kekuatan umat lain. Hal ini, menurut Ketua PP. Muhammadiyah, Drs. Hajriyanto Y. Thohari, MA., , sulit dibantah. Umat Islam sudah lama kalah secara politik, ekonomi, dan dalam pembangunan peradaban. “Bahkan mayoritas umat Islam masih terbelenggu dalam keterbelakangan, kemiskinan,” kata Hajriyanto.
Kita bisa lihat, umat Islam sebagai umat mayoritas, justru menjadi minoritas dalam bidang ekonomi. Bukan kita yang menguasai perekonomian bangsa ini. Akibatnya, umat Islam melemah juga di berbagai bidang kehidupan, baik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Padahal, menurut Dr. M. Nurul Yamin, M.Si., Ketua Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) PP. Muhammadiyah, umat Islam Indonesia, mau tidak mau, berada dalam dinamika-dinamika berbangsa dan bernegara: dinamika sosial, politik, ekonomi, dan lain-lain. Keterpinggiran umat Islam dalam dinamika tersebut, ujungnya “menempatkan umat Islam pada posisi sebagai obyek ketimbang subyek,” tegas Nurul Yamin.
Mengapa ini bisa terjadi? Satu sisi, umat Islam tidak cukup berani berkompetisi. Merasa rendah diri dalam banyak aspek. Sehingga, meskipun sebagai umat mayoritas, mentalnya justru menunjukkan sebagai minoritas. Sisi lain, lemahnya daya saing umat Islam justru karena masing-masing kekuatan umat Islam masih tercecer. Belum ada sinergi. Cenderung bergerak sendiri-sendiri. Umat Islam masih larut dalam kepentingan kelompoknya sendiri, sehingga “Lupa terhadap prioritas kepentingan umat Islam secara menyeluruh,” kata Prof. Dr. H. Romli SA, M.Ag., Ketua PWM Sumatera Selatan.
Dalam kisah keterpurukan ini, H Marmen Siswojo, memberikan perspektif lain. Pengusaha yang juga Ketua PDM Blitar ini berpendapat bahwa kegagalan kita mengenyahkan budaya kaum terjajah lah yang membuat kita semakin terpuruk. Salah satunya budaya kaum terjajah adalah ketika mencari pekerjaan merupakan tujuan sekolah apalagu tujuan hidup seseorang. Belajar hanya untuk menjadi buruh. Mentalitas seperti ini harus diubah dalam diri ummat Islam.
Melihat pentingnya aspek ekonomi dalam mendorong kemajuan berbagai bidang kehidupan umat berbangsa dan bernegara, Ketua Majelis Ekonomi Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Muhammad Nadjikh berpandangan kalau sudah seharusnya Muhammadiyah segera berbuat untuk meningkatkan kualitas ekonomi umat. Caranya hanya satu yanitu dengan bangkit dan mengejar ketertinggalan itu.
Memadukan kerja keras, kerja cerdas, serta tuntas tidak setengah-setengah. Adalah agenda yang harus dilakukan. Muhammadiyah harus lebih banyak melakukan aksi nyata dalam memajukan ekonomi umat dari pada sekedar diskusi dan dialog.
Menurut Muhammad Nadjikh, selama ini riel kegiatan Muhammadiyah yang bersinggungan dengan meningkatkan kualitas ekonomi masih tergolong lemah. Memang, secara terstruktur maupun tidak Muhammadiyah memiliki amal usaha yang banyak dalam berbagai bidang, ada sekolah, rumah sakit, koperasi, dan BTM. Namun semua amal usaha tersebut belum mampu mengeluarkan umat dari keterpurakan ekonomi.
Sebagian AUM memang sudah bisa bersaing baik dengan kekuatan ekonomi non Islam, namun sebagian besar masih belum bisa berbuat banyak untuk persyarikatan dan umat pada umunya.
“Saat ini kita harus berfikir bahwa kondisi ekonomi umat hari ini sudah masuk pada level darurat. Kita sudah kepepet. Jika sadar kita sudah kepepet maka mau tidak mau kita akan melakukan segala upaya untuk memperjuangkan ekonomi umat. Tentunya segala upaya itu mencakup kerja keras, kerja cerdas, serta tuntas tidak setengah-setengah”. Tandas Muhammad Najikh.
Sementara itu, HM. Syukri Fadholi, SH., Ketua DPW PPP DIY, menyatakan bahwa tokoh-tokoh umat Islam, baik tokoh politik, tokoh ekonomi, maupun tokoh yang lain, belum mampu melakukan strategi pembinaan umat dengan baik. Akibatnya, jumlah umat yang mayoritas ini tidak mampu berbuat banyak apalagi bersaing dengan umat lain, “Khususnya dalam politik dan ekonomi,” tegas Syukri.
Keterpurukan ini tidak boleh berlanjut. Oleh karena itu, umat Islam harus dibangkitkan gairahnya. Bahwa kita harus mengembalikan kekuatan-kekuatan yang selama ini terserak menjadi satu kekuatan. Sudah saatnya melihat kualitas ketimbang kuantitas. Sebab, fakta menunjukkan bahwa kualitaslah yang lebih menentukan kemenangan dan kejayaan suatu bangsa. Bukan kekayaan alam. Bukan kuantitas.
Misalnya, menurut Nurul Yamin, kita perkuat pendidikan untuk mengajak umat berpikir menemukan akar masalah, bukan sekedar aspek luar yang formalistik. Pada sisi ekonomi, perlu diperkuat jejaring ekonomi kerakyatan dalam simpul-simpul komunitas. Suka atau tidak suka, ekonomi adalah bidang yang sangat serius. Bahkan menjadi salah satu kunci. Menurut Prof. Dr. Thohir Luth, MA, Ketua PWM Jawa Timur, kalau kita berbicara tentang pencerahan, pencerdasan, dan pemberdayaan umat, “kuncinya adalah persoalan ekonomi secara riil,” tegasnya.
Nah, pada sisi inilah, Muhammadiyah sangat memiliki potensi sebagai pemersatu kekuatan ekonomi umat. Muhammadiyah bisa menjadi tenda besar untuk merajut ukhuwah dalam rangka menyatukan kekuatan. Dengan pengalaman banyaknya amal nyata, Muhammadiyah memiliki semangat yang kuat dalam hal memberi dan beramal untuk umat, bangsa, dan negara, bahkan untuk kemanusiaan universal. Sebagai tenda besar inilah yang perlu didorong Muhammadiyah. ”Dan tetap istiqamah dalam kerja-kerja sunyi, yang jauh dari gegap gempita tepuk tangan,” tegas Hajriyanto.
Lebih penting lagi, sudah saatnya pula umat Islam, termasuk Muhammadiyah, mengurangi program-program seremonial. Kegiatan yang hanya bersifat seremonial tidak perlu lagi terlalu banyak dilakukan. Selain pemborosan dan hanya bersifat simbolik, kegiatan-kegiatan seperti itu sama sekali tidak produktif. Syi’ar tetap penting, tetapi tidak boleh berhenti di situ. Harus dilanjutkan pada kerja-kerja yang secara substansial memiliki makna bagi masa depan umat Islam. Cara seperti ini adalah bagian dari strategi memperkuat daya saing.
Maka, selain penguatan ideologi, militansi perjuangan, jihad ekonomi dan pendidikan perlu menjadi prioritas gerakan. Prioritas gerakan yang akan berdampak pada penguatan daya saing umat Islam. Kita gerakkan seluruh kekuatan umat Islam, baik sektor ekonomi maupun yang lain, sehingga umat Islam berhasil bangkit dari keterpurukan. Hijrah dari hal-hal seremonial kepada penguatan substansi gerakan.
Kekuatan politik tidak kalah pentingnya. Menyatukan kekuatan politik umat Islam yang berserakan mesti disatukan. Saling bekerjasama menyatukan visi gerakan untuk menaikkan daya saing politik umat Islam. Tidak lagi mudah tergiring pada kepentingan sesaat yang justru melemahkan kepentingan umat Islam ke depan, dalam jangka panjang. Sekali lagi, mari kita kurangi hal-hal seremonial, dan kita kuatkan isi. Substansi gerakan. [bahan: thari, nisa, gsh; tulisan: ba]