Idul Adha 1436 Hijriyah yang baru berlalu memberi pelajaran penting bagi Muhammadiyah. Sebagian warga Persyarikatan ada yang galau karena Muhammadiyah menetapkan Idul Adha pada 23 September 2015, sedangkan pemerintah Indonesia dan Arab Saudi tanggal 24 September 2015. Menurut informasi sebagian kecil malah ada yang melaksanakan Idul Adha ikut Arab Saudi, meski PP Muhammadiyah telah mengeluarkan Maklumat. Menurut mereka, jamaah haji di Arab Saudi saja baru wukuf kok Muhammadiyah malah beridul adha. Ada juga yang mengaitkan dengan persatuan atau ukhuwah Islamiyah.
Alhamdulilah sebagian besar warga Muhammadiyah masih tetap berpedoman pada Maklumat PP Muhammadiyah dan istiqamah melaksanakan shalat idul adha pada 23 September 2015. Sejauh yang menyangkut adanya pemikiran baru untuk didiskusikan menyangkut penajaman atau akurasi metode hisab hakiki wujudul hilal yang selama ini menjadi patokan dalam menentukan awal Ramadlan, idul fitri, dan idul adha maka hal itu tentu Muhammadiyah bersikap terbuka. Pimpinan Pusat Muhammadiyah tidak akan menutup ruang diskusi atau mudzkarah soal tersebut.
Namun mengenai kegalauan dan ketergesaan untulk mengambil sikap berbeda dengan keputusan PP Muhammadiyah padahal itu menyangkut urusan diniyah atau keagamaaan yang selama ini dipedomani Muhammadiyay berdasarkan tarjih tentu perlu untuk menjadi bahan perenungan yang serius. Rupanya keyakinan akan pemahamanan keislaman dalam Muhammadiyah khususnya mengenai hisab yang dijadikan pedomman oleh Majelis Tarjih masih belum sepenuhnya kokoh untuk dijadikan pedoman oleh sebagian anggota Persyarikatan.
Ada yang mempertanyakan soal penerapan metode hisab hakiki wujudul hilal, tetapi tidak sampai menyebal dalam melaksanakan Idul Adha dan mereka tetap mengikuti keputusan Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Tetapi bagi yang akhirnya mengambil sikap berbeda dari keputusan Tarjih maka perlu dipertanyakan seberapa jauh kadar komitmen dan pemahamannya secara mendalam mengenai manhaj Tarjih khususnys metode hisab hakiki wujudul hilal yang selama ini dipedomani Muhammadiyah.
Memahami Manhaj Tarjih
Khusus yang berkaitan dengan kenapa Muhammadiyah berbeda dengan Arab Saudi dalam hal pelaksanaan idul adha tahun 1436 H sebenarnya secara mendalam dan luas telah dijelaskan dalam Maklumat PP Muhammadiyah. Demikian pula tentang metode hisab hakiki wujudul hilal dalam berbagai aspeknya telah banyak dijelaskan oleh Majelis Tarjih melalui buku, tanya jawab agama, dan berbagai penjelasan lainnya bertahun-tahun selama ini. Bagaimana pula Tarjih menjelaskan kelemahan-kelemahan rukyat yang selama ini masih banyak dipedoman oleh mayoritas umat Islam.
Akan halnya soal perbedaan dengan Arab Saudi juga telah dijelaskan duduk perkara dan argumentasinya. Bahwa Muhammadiyah baik idul fitri maupun idul adha selama ini selain sering sama juga sering berbeda dengan Saudi maupun pemerintah Indonesia. Letak perbedaan utama yang paling kontras karena Muhammadiyah konsisten memakai hisab, Saudi dan pemerintah Indonesia memakai rukyat. Kalaupun pemerintah mengklaim memakai imkanur rukyat dua derajat, dalam pelaksanaannya sering tidak konsisten. Selama rukyat masih dipakai maka sampai kapan pun akan berbeda dan menimbulkan ketidakpastian dalam menentukan awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha. Tentu antar metode hisab pun memiliki perbedaan, tetapi lebih terbuka untuk dialog dan dicari titik temu.
Muhammadiyah sudah lama menawarkan jalan unifikasi kalender hijriyah global yang dapat dipedomani umat Islam sedunia melalui sistem kalender berbasis hisab, sehingga tidak lagi berdasarkan rukyat, sebagaimana berlaku dalam kalender Masehi yang pasti dan tidak dipertengkarkan lagi. Karenanya sambil terus memperjuangkan penyatuan kalender Islam sedunia, warga Muhammadiyah harus tetap konsisten dengan metode hisab yang sejalan dengan ajaran Islam sekaligus ilmu pengetahuan yang dipedomani Muhammadiyah.
Umat Islam seluruh dunia harus dapat memastikan adanya tanggal baru seperti berlaku di dunia kalender Masehi. Tidak bisa lagi mempertahankan metode rukyat yang sarat ketidakpastian. Maka setiap warga Muhammadiyah dituntut memahami seluk-beluk soal Hisab yang dipedomani Tarjih dari A sampai Z. Jika masih belum paham maka mintalah penjelasan kepada Majelis Tarjih setempat atau di atasnya. Manakala ada yang menemukan kelemahan dalam hal hisab maka ajukan pemikiran dan minta forum mudzakarah dengan Tarjih tingkat Pusat. Insya Allah akan dipenuhi. Jangan memilih berbeda karena kurang pemahaman.
Marilah sedikit berpikir realistik. Jika karena ingin sama dalam hal idul adha dengan Arab Saudi. Cobalah simak Arab Saudi sendiri kalau berpedoman dengan hisab dalam kalender Umur Qura seperti dijelaskan Maklumat, tentu dan pasti sama dengan Muhammadiyah yakni 23 September 2015. Namun karena menggunakan rukyat maka jadilah istikmal sehingga tambah satu hari, yang tentu pasti jadi berbeda bukan hanya dengan Muhammadiyah tetapi bahkan dengan kalender Saudi sendiri. Jadi tanggal Wukuf dan Idul Adha di Arab Saudi sendiri berbeda dengan Kalender resminya.
Coba lagi simak dengan seksama. Jika kita ikuti patokan wukuf Arafah tanggal 23 September. Untuk negara yang jarak waktunya di bawah lima jam tentu relatif mudah untuk menyamakannya. Tapi bagaimana dengan Sorong yang bedanya enam jam dan negara lain yang bedanya sampai sepuluh hingga duabelas jam dengan Saudi, kapan mereka harus puasa Arafah dan Idul Adha? Ketika wukuf di Arafah terjadi jam 12.00 waktu Saudi, di Sorong sudah jam 18.00 dan di wilayah yang bedanya sepuluh jam dengan Saudi sudah jam 22.00, mereka harus puasa Arafah kapan?Pasti jawabannya, puasa Arafah dan Idul Adha di wilayah yang enam sampai 10 jam itu akhirnya akan berbeda pula dengan Saudi. Hal yang sama berlaku untuk wilayah yang saat itu ketinggian hilal sudah mencapai antara 7 sampai 8 derajat seperti di Pago-Pago sebagaimana dicontohkan dalam Maklumat Tarjih. Apakah harus tetap dipaksakan sama dengan Wukuf di Arafah?
Persoalan Ukhuwah Islam
Mengenai ukhuwah Islam sesama umat sungguh menjadi komitmen Muhammadiyah selama ini, selain ukhuwah dengan seluruh komponen bangsa. Muhammadiyah sering mengalah ketika diperlakukan kurang baik oleh yang lain justru karena tidak ingin pecah dan bermasalah dengan sesama golongan Islam. Muhammadiyah banyak memprakarsai ukhuwah Islam.Muhammadiyah, serta mengembangkan sikap positif pada setiap ikhtiar meningkatkan ukhuwah Islam di berbagai bidang kehidupan.
Muhammadiyah juga mengusahakan ukhuwah untuk penentuan awal Ramadlan, Idul Fitri, dan Idul Adha, tetapi diakui masih banyak kendala untuk titik temu. Dengan mengajukan penyatuan kalender Islam global justru Muhammadiyah ingin mencari titik temu sekaligus membangun ukhuwah yang lebih meluas bukan hanya dengan sesama umat Islam di Indonsia tetapi seluruh dunia Islam. Ketika Muhammadiyah menawarkan titik temu semua aliran hisab, tetapi mari tinggalkan rukyat, penganut rukyat justru yang betkeberatan.
Namun manakala Muhammdiyah harus mengikuti rukyat demi ukhuwah agar sama dengan pihak lain termasuk dengan Arab Saudi, hal itu merupakan pilihan yang sulit. Ketiga ibadah tersebut bukan sekadar ranah ta’abudi atau semata-mata ibadah murni, tetapi pelaksanaannya berkaitan dengan hukum kauniyah yang pasti, yang tidak dapat dipertukarkan dengan pemahaman dan pendekatan yang tidak pasti seperti halnya rukyat. Peredaran bumi, bulan, dan matahari itu pasti atau eksak sebagai hukum kauniyah dan sunatullah, tidak bersifat relatif. Kalau matahari atau bulan mau terbit maka terbitlah dia sesuai sunatullah, tidak akan mau menunggu fatwa atau isbat apapun dari manusia, sehingga tidak pernah dapat dimajukan atau sebaliknya dimundurkan. Tidak melihat hilal itu bukan berarti dia tidak ada ketika harus wujud, sebagian besar karena keterbatasan penglihatan baik melalui mata telanjang maupun teknologi maupun faktor kondisi alam dan sebagainya. Di situ blundernya.
Maukah orang Muhammadiyah bertarawih 23 rakaat demi ukhuwah mengikuti mayoritas? Hal yang murni ta’abudi saja warga Muhammadiyah sebagaimana umat Islam lain tidak mau saling menyatukan demi ukhuwah seperti dalam jumlah shlahat tarawih dan lain-lain. Lebih-lebih yang menyangkut hukum kauniyah. Dalam menentukan waktu shalat saja sekarang umat Islam sudah memakai jadwal imsakiyah dan patokan jam, tidak ada yang melihat-lihat posisi matahari. Sekarang setelah seratus tahun Muhammadiyah arah kiblat pun sudah memakai cara dan posisi yang dulu dipelopori oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan.
Apakah demi ukhuwah yang sebenarnya juga tidak rusak, Muhammadiyah justru set-back atau mundur ke belakang dengan mengubah manhaj tarjihnya dalam hal hisab? Termasuk mengikuti rukyat demi menyamakan dengan Arab Saudi dalam hal Idul Adha. Padahal ulama beast internasional yang disegani yakni Yusuf Al-Qaradlawi justru menyatakan bahwa hisab itu qothiy dan rukyat itu dhany. Kenapa Muhammadiyah harus mengubah pendiriannya tentang hisab atasnama ukhuwah yang sebenarnya juga tidak terkoyak. Selama ini juga banyak hal sering berbeda dan makin terbiasa.
Umat Islam sebenarnya sudah dewasa dalam perbedaan. Sejauh masih belum ada titik temu yang disepakati umat Islam, maka terimalah perbedaan soal penentuan awal Ramadlan, Idul Fitri, dan Idul Adha itu sebagai ranah yang masih ikhtilaf dan ijtihadi. Tidak perlu dipaksakan, lebih-lebih dengan fatwa dan otoritas kekuasaan. Sebaliknya, kembangkan sikap tasamuh dan tanawu’ sesama umat Islam, yang selama ini juga sudah mulai relatif matang. Pemerintah melalui Kementerian Agama juga diharapkan mengembangkan toleransi dan memberi kebebasan atau keleluasaan bagi yang berbeda sesuai hak konstitusionalnya. Bila perlu ke depan pemerintah tidak ikut menentukan, apalagi jika pemerintah ikut bermazhab, padahal Indonesia itu Negara Pancasila dan bukan negara agama dengan aliran tertentu.
Jika pengikut Muhammadiyah masih sedikit tidak perlu risau. Pengikut An-Nadhir di Sulsel dan Naqsanbandiyah di Sumbar yang sangat minoritas tidak galau. Babi warga, kader, dan pimpinan Muhammadiyah di seluruh tingkatan dan lingkungan hendaknya istiqamah dalam beragama dan bermuhammadiyah. Jangan mudah menyerah dengan alasan umat masih awam, justru pahamkan agar tidak awam terus. Jika belum paham luaskan dan perdalam pemahaman. Jika menemukan pemikiran baru ajukan untuk menjadi bahan mudzakarah di lingkungan Majelis Tarjih. Muhammadiyah masih tetap berpedoman pada manhaj hisab hakiki wujudul hilal sebagaimana dipedomanan Tarjih, maka peganglah dengan keyakinan dan pemahaman yang benar dan mantap, serta ikutilah dengan sikap “sami’na wa atha’na”.