Menahan Arus Deras “Tuna Adab”

Menahan Arus Deras “Tuna Adab”

Sila kedua Pancasila adalah Kemanusian yang Beradab. Tetapi dalam kenyataanya, jauh panggang dari api. Indonesia saat ini mengalami ‘Tuna Adab”. Meski tidak semua setuju, tetapi umumnya mengakui jika Indonesia saat ini krisis adab.

Menurut Dekan Fakultas Tarbiyah dan Pendidikan UIN Suaka Yogyakarta Dr Tasman Hamami yang juga Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Daerah Istimewa Yogyakarta, krisis yang dialami Indonesia saat ini nyaris sempurna, baik dari cakupan maupun tingkatannya. Dari berbagai aspek kehidupan, hampir tidak ada satupun aspek yang terbebaskan dari krisis tersebut, dan eskalasinya pun semakin meningkat. “Mungkin belum sampai pada tingkat “tuna adab”, tapi ibarat suatu penyakit krisis keadaban bangsa Indonesia saat ini nampaknya benar-benar sudah kronis,” kata Tasman.

Menurut Wakil Ketua PWM Jawa Timur Prof Dr Zainuddin Maliki, bangsa Indonesia tengah mengalami distorsi keadaban di banyak aspek kehidupan dan dapat dibilang sebagai tuna adab. Ada gejala memudarnya rasa dan ikatan kebangsaan, sehingga perbedaan-perbedaan kecil bisa berubah menjadi persoalan besar.

Konflik, menurut ahli pendidikan ini, tidak dihadapi dengan cara-cara dewasa. Konflik dihadapi dengan kekerasan. Gontok-gontokan tidak hanya terjadi di lapisan masyarakat menengah bawah, tetapi juga dilakukan oleh elite politik.

Politik pun dibuat menjadi gaduh yang berdampak negatif terhadap upaya membangun kepercayaan masyarakat dalam dan luar negeri. Tentu saja kohesi sosial semakin rapuh karena bukan integrasi dan konsolidasi antar elemen masyarakat yang terjadi melainkan saling mengkriminalisasi. “Munculnya perseteruan antara cicak dan buaya hingga berjilid-jilid, sesungguhnya berakar pada pupusnya idealisme dan munculnya tuna adab atau immoralitas elite,” ungkap Prof Zainuddin.

Pragmatisme politik muncul dalam format yang vulgar. Pragmatisme itu dapat dilihat mulai dari pemberian pengakuan terang-terangan dari penguasa tanpa dasar yang jelas terhadap kelompok politik yang bersengketa. “Kita juga bisa saksikan permainan transaksional yang kasat mata yang dengan mudah menyulut kegaduhan berbagai peristiwa politik seperti pemilu, pemilukada, kongres atau muktamar” tambah Zainuddin Maliki.

Perilaku rakus kekuasaan, miskin hati memicu munculnya pertanyaan besar mengenai komitmen elite politik dalam memperbaiki nasib rakyat kecil dan membangan keadaban bangsa. “Rakyat bertanya hendak dibawa kemana masa depan Indonesia,” ungkap Zainuddin.

Tuna adab, menurut Zainuddin Maliki, juga merebak di ranah ekonomi. Kekuatan ekonomi modern muncul diberbagai kawasan. Mereka tumbuh ditopang modal besar. Mereka melakukan persekutuan dengan kekuasaan. Sadar bahwa kekuasaan sepenuhnya berada di bawah pengaruh, mereka terus berekspansi, di tengah-tengah kian terpuruknya masyarakat ekonomi tradisional.

Dengan sekutu kekuasaan, kekuatan ekonomi modern tumbuh arogan, rakus dan sangat tidak ramah lingkungan. Merekalah yang ditengara sebagai pihak yang menyebabkan ketidak seimbangan ekologi, yang memicu perubahan iklim menjadi panas ekstrim di musim kemarau dan banjir di mana-mana di musim hujan. Persekutuan mereka dengan penguasa itu pula yang ditengarai pembakaran lahan dan hutan yang memproduk asap mematikan di Kalimantan dan Sumatra sulit diatasi dan terus saja terjadi berulang kali.

Penyebab utama dari ketidakberadabanya Indonesia sekarang ini, menurut Prof Dr H Tobroni MSi Guru Besar Universitas Muhammadiyah Malang, adalah dikarenakan badai politik kekuasaan, yang menjadikan pemimpin rakus akan kekuasaan dan menarik masyarakat agar dekat dengan penguasa. Khususnya penguasa pemerintahan, penguasa modal, dan penguasa media.

Mulai dari lembaga pendidikan, ekonomi, sosial, hukum, dan budaya semuanya sudah dikuasai oleh tiga penguasa itu. Bahkan lembaga yang belum dikuasai oleh penguasa yang rakus, justru berbondong-bondong untuk mendekatkan diri kepada penguasa jabatan, penguasa modal, dan penguasa media. Akibatnya ya seperti sekarang ini, nilai yang dijadikan pedoman adalah nilai-nilai yang pro terhadap penguasa tanpa lagi melihat nilai benar dan salah, nilai baik dan buruk, nilai indah dan kasar, dan nilai halal dan haram.

Kekuatan untuk melawan arus tuna adab yang deras ini hanyalah lewat pendidikan. Tetapi dunia pendidikan kita, menurut Ketua PP Muhammadiyah Prof Dr Dadang Kahmad, mengalami kompleksitas persoalan, dari kuantitas rata rata lama sekolah di Indonesia baru 7 tahun setingkat SMP kelas 1. Apalagi kualitas dari mulai sarana prasarana, guru yang direkruit secara sembarangan dan gampangan produk sekolah guru kW2 (kwalitas nomer dua). Kurikulum yang tidak fleksibel serta pembiayaan yang terbatas.

            Bahkan Prof. Dr. H. Zainuddin Maliki, M.Si mengibaratkan hasil pendidikan kita saat ini mengibaratkan sebagai “Buah Jatuh Jauh dari Pohon”. Menurutnya, generasi muda tidak lagi melihat orang tua, pendidik dan juga elite di negeri ini sebagai tempat mencari inspirasi dalam memformat masa depan.

Generasi muda mencari inspirasi dengan caranya sendiri. Ironisnyaa, mereka tidak terinspirasi dari pendidikan. Di negeri ini, menurut Zainuddin Maliki, pendidikan belum menjadi tempat pencerahan. Saat ini, pendidikan lebih banyak dijadikan muara dari perebutan kepentingan kekuasaan.

Jumlah guru dan posisinya yang bergantung kepada gaji yang diberi pemerintah menjadi sumber konstituen, terutama oleh para incumbent untuk mempertahankan kekuasaan dengan memenangkan kembali dalam pemilu. Pengadaan sarana prasarana, penyediaan buku, dan juga perubahan kurikulum adalah monopoli pusat kekusaan.

Ujian juga bukan digunakan untuk mengukur prestasi belajar siswa, tetapi dijadikan alat legitimasi penguasa. “Pendek kata, masih banyak hal yang harus kita benahi agar pendidikan bisa dijadikan tempat generasi muda mencari inspirasi dalam memformat masa depan yang berkemajuan dan berkeadaban”tegas Zainuddin Maliki.    

           Adanya tekanan politik di dunia pendidikan ini dibenarkan oleh Ketua Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah Prof Dr H Baedhowi MSi. Menurutnya, tekanan politik amat sangat terlihat manakala terjadi kebijakan otonomi daerah. Melalui otonomi daerah pendidikan formal terkena imbas dari tekanan politik. Misal saja, guru yang jadi tim sukses dari penguasa terpilih, akan terus memperoleh keuntungan dari pemerintah bahkan selalu didorong oleh penguasa agar menduduki jabatan yang sangat strategis demi menjaga kepentingan penguasa.

Begitu juga dengan pendidikan nonformal yaitu pendidikan yang terdapat pada lingkungan masyarakat. Masyarakat cenderung tidak peduli siapa yang hendak memimpin daerahnya yang penting mereka bisa merasakan uang dari calon kepala daerah saat masa kampanye tiba. Bahkan pendidikan informal, yaitu pendidikan yang terdapat pada keluarga juga mendapat tekanan yang sama dari kepentingan politik kekuasaan.

Akibat dari demokratisasi praktis itu, kata Prof Dr H Baedhowi MSi, mengakibatkan pendidikan kita hanya berorientasi pada hasil dan bukan pada proses. Pemerintah, masyarakat, dan keluarga semua memprioritaskan hasil, yang penting bisa berkuasa, yang penting untung, yang penting jadi pejabat tanpa melihat bagaimana proses untuk meraih itu semua. Padahal moral itu lahir dari pendidikan yang berbasis pada proses.

            Melihat itu, menurut Prof Dr H Baedhowi MSi , jauh-jauh hari sebenarnya Muhammadiyah sudah membangun pendidikan lebih kepada learn to be dari pada sekedar learn to know. Yaitu menjadikan pendidikan adalah sebagai tempat anak untuk mempraktekan segala ilmu pengetahuan yang diperoleh dari hanya sekedar tahu atau transfer of knowleg.

Oleh karena itu di dunia pendidikan Muhammadiyah muncul AIKA, yaitu pembelajaran yang mengajarkan siswa tentang ke-Islam-an dan ke-Muhammadiyah-an. Tentunya tidak sekedar learn to know namun lebih kepada learn to be dengan membebaskan siswa berkreasai dalam organisasi pelajar IPM, gerakan kepanduan HW, Tapak Suci dll. Dan peran ini, sudah Muhamadiyah jalankan sejak lama bahkan sejak bangsa ini belum merdeka.

            Hal ini dibenarkan Prof Dadang Kahmad dan bahkan proses demikian sudah dilakukan sejak KHA Dahlan. Apa yang dilakukan KHA Dahlan selama ini, menurut Prof Dadang Kahmad, adalah untuk menjadikan masyarakat beradab, dan misi inilah yang diemban oleh Muhammadiyah hingga saat ini.

Dalam upaya membangun keadaban yang mulia inilah, menurut Wakil Ketua PWM DIY Dr Tasman Hamami, Muhammadiyah dengan misi utama “amar ma’ruf nahi mungkar” dapat memainkan peran yang sangat penting. Muhammadiyah secara konsisten melakukan gerakan-gerakan pencerahan umat dan bangsa diharapkan dapat mengantarkan bangsa Indonesia membangun keadaban yang mulia. Untuk mengentaskan bangsa ini dari krisis keadaban, sangat memerlukan kehadiran dan peran Muhammadiyah.

Meski Muhammadiyah sudah berusaha melakukan pencerahan, tetapi ternyata arus tuna-adab lebih deras daripada upaya menjadikan masyarakat beradab. Budaya beradab tidak bisa bersaing dengan produk budaya negatif yang didukung berbagai media. Namun Muhammadiyah tak boleh lelah dalam mencerahkan bangsa untuk menjadikan bangsa ini bangsa yang beradab. (tulisan Eff, bahan gsh. Nis, thari)

Exit mobile version