Ada suasana berbeda antara zaman Orde Baru dengan zaman sesudahnya. Kalau pada zaman Orde Baru yang terjadi di negeri ini adalah apa-apa serba Pancasila. Sebaliknya, zaman sesudah itu kita menyaksikan apa-apa yang serba tidak Pancasila. Semua ini tentu ada sebabnya.
Kenapa pada Orde baru semuanya serba Pancasila karena pada Orde Lama Panasila dikhianati dan dicoab diganti oleh PKI. Jg ada pemimpin bangsa yang emngekrdilkan Panasila menjadi trisila dan eka sila. Ketika upaya PKI mengganti Pancasila dengan ideologi komunis (komunisme) yang dilakukan dengan cara perebutan kekuasaan yang brutal gagal (mereka sendiri menyebut dengan upaya nonparlemmenter) maka bangsa Infonesia kembali mencintai Pancasila. Banyak yang trauma dengan Orde Lama yang cenderung mengarah ke kiri-kiran itu. Pancasila kemudian dicintai dengan cara berlebihan dijadikan bahan dinoktrinasi dengan tafsir tunggal hanya oleh pemerintah. Kelemahan indoktrinasi tanpa implementasi ini juga menyebabkan Panasila secara politik dan sosial mengalami disfungsi. Ngomongnya selalu tentang Pancasila tetapi tindakannya anti Pancasila. Ini menyebabkan bangsa ini merasa neg dan bosan dengan keadaan.
Puncak kebosanan politik berpacnasila di akhir Orde Baru meledak dengan munculnya gerakan reformasi. Di kemudian hari reformasi setengah hati ini justru memunculkan kondisi dan situasii yang lebih parah. Panxasila seperti dibuang dari dalam kehidupan poltik dan social dan dibuang dari dalam kehdupan sehari-hari, Kehidupan diatur tanpa aturan, hukum dijalankan, terasa, tanpa hukum dan keadilan.. Siapa yang punya uanglah yang memikiki kekuatan mengatur dan memaksakan kepentingannya sendiri.
Ekonomi pun menjadi panglima, materi menjadi berhala, pasar bebas menjadi perangkap yang buas dan uang menjadi senjata untuk melumpuhkan moral, etika dan ideologi Pancasila. Ini sungguh situasi dan kondis bangsa, Negara, rakyat, masyarakat yang sangat berbahaya dan membahayakan masa depannya sendiri. Terjadi anomali dan disorientsi nilai yang nyaris total.
Inilah kondisi, suasana, situasi yang nyaris tanpa visi, tanpa missi tanpa dieologi tanpa peta jalan (road map) berbangsa dfan bernegara. Dalam kondisi seperti ini Muhammadiyah turun angan untuk menhyelamatkan kehidupan ebrbangsa an bernegara Indonesia. Caanya palng awal, adalah dengan memposisikan kembali Panxcasi sesuai dengan possi yang eharusnya. Uhamamdiyah juga mencoba memfungsikan kembali Pncasila (refungsionalisasi) {Pancasila sesuai dengan fungsinya yang sharusnya dan spanatsnya dalam kehodupan ebrbangsa dan bernegara. Muhamamdiyah juga bernai membka pintu dinamisasi bagi tafsir dan praktik berpancasila sesuai dengan keperluan zamannya.
Dalam konteks ini Muhammadiyah memandang bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diprokalamsikan 17 Agustus 1945 aalah Negara Pancasila yang ditegakkan di aats falsafah kebangsaan yang luhur dan sejalan denga ajaran Islam. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaa Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dala permusyawaeratan/perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakayat Indonesia secara esensial selaeras dengan nilai-nilai ajaran Islam dan dapat diisi serta diakualisasikan menuju kehidupan yang dicta-citakan umat Islam yaitu baldatun Thayibatun wa Rabbun Ghofur.
Muhammadiyah juga mengakui bahwa Negara Pancasila merupakan hsil consensus nasional dan tempat pembuktian au kesaksian (darul ahdi wa darusy syahadah) untuk menjadi negeri yang aman dan damai (darussalam) menuju kehidupa yang maju, adil, makmur, bermartabat dan berdaulah dalam naungan rdla Allah swt. Cita-citas kebangsaan ini parallel dengan baldatun thayibatun wa rabbun ghafur itu.
Dalam kaitan ini, sebagai Negara Pancasila yang merupakan hasil konsensus luhur berdimensi nasional maka tidak ada sipa pun yang memiliki hak dan gaya untuk mengklaim bahwa Pancasila digali oleh seseorang, dan Pancasila adalah milik satu kelompok di Indonesia. Pancasila digali bersama-sama, dirumuskan bersama-sama oleh para pemimpin bangsa yang memakili daerah-daerah dan mejadi milik bersama. Bukan milik seseorang atau segolongan orang saja. Dan dalam menuju kepada cita-cita bersama yaitu cita-cita kehiduapn berpancasila imaka upaya itu pun harus dilakukan bersama-sama. Tidak bisa dilakukan sendiri atau sendiri-sendiri.
Prof. Dr. Achmad Jainuri, MA, Ph.D. menyebutkan, apabila Pancasila dikaitkan dengan perorangan maupun kelompok adalah hal yang wajar karena, mungkin, peran yang dilakukannya pada saat awal proses ideologisasi ini dibentuk. Tetapi satu hal yang perlu diakui adalah bahwa ketetapan Pancasila sebagai dasar ideologi negara adalah melalui konsensus nasional, yang melibatkan banyak pihak dan kelompok. Di sini, Pancasila menjadi pusaka nasional dan milik bangsa serta masyarakat Indonesia. Meskipun, masih ada juga yang mengklaim bahwa Pancasila adalah identik dan milik golongan tertentu.
“Mereka inilah yang “mensakralkan” Pancasila meskipun tidak mengamalkannya. Sesungguhnya, apa yang diciptakan oleh manusia itu tidak ada yang sakral dan abadi, meskipun tidak mudah juga untuk menggantikannya, karena harus melalui mekanisme yang tidak mudah,” ungkap Jainuri, “Bagi Muhammadiyah, Pancasila adalah ideologi dasar negara yang telah disepakati oleh para pemimpin bangsa. Yang penting adalah bagaimana memahami serta mengamalkan setiap sila dalam kehidupan nyata sehari-hari.”
Dr Aidul Fitriciada Azhari, S.H., M.Hum., Pakar Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) mencatat, secara yuridis Pancasila merupakan dasar negara sebagaimana tertulis dalam Pembukaan UUD 1945. Kedudukan Pancasila sebagai dasar negara tersebut tidak lepas dari peran Muhammadiyah melalui para pemimpinnya di PPKI untuk menerima konsensus bangsa demi persatuan bangsa dan kemashlahatan bersama. Secara substansial dasar negara Pancasila tidak bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam. ”Bahkan terminologi dalam Pancasila banyak mengacu pada terminologi dalam ajaran Islam, seperti adil, adab, rakyat, hikmah, perwakilan, permusywaratan,” katanya.
Pancasila, menurut Azhari, jelas bukan agama, tetapi merupakan etika bersama yang diperlukan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Keberadaan Pancasila sebagai etika bersama tersebut menjadi sangat penting pada saat ini manakala kehidupan kebangsaan dan kenegaraan di Indonesia mengalami disorientasi nilai disebabkan oleh tidak adanya nilai-nilai etis yang menjadi rujukan bersama. Setiap kelompok dan individu saat ini bertindak atas dasar kepentingan masing-masing tanpa disadari oleh nilai-nilai dan tujuan etis dalam kehidupan bersama.
”Jadi, alih-alih mengacu pada tafsir masing-masing terhadap Pancasila, bangsa kita justru tidak memiliki acuan nilai-nilai etis yang diperlukan dalam kehidupan bersama. Terjadinya korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan, kemiskinan dan ketimpangan sosial bukan semata-mata disebabkan karena lemahnya penegakan hukum, tetapi lebih esensial lagi disebabkan karena kehampaan nilai-nilai etika bersama yang seharusnya menjadi pegangan bagi seluruh bangsa Indonesia. Dalam konteks itulah Pancasila seharusnya hadir sebagai landasan etika dalam kehidupan kebangsaan dan kenegaraan bagi seluruh bangsa Indonesia,” tambahanya.
Rahmat Muhajir Nugroho, S.H., M.H, Dekan Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta menegaskan, ”Menurut saya klaim yang mengatakan Pancasila merupakan produk atau kelompok tertentu, itu keliru. Karena itu hasil konsensus dan itu sudah disepakati bersama oleh para pendiri negara dan itu berlaku sejak kita merdeka sampai saat ini, tidak ada perubahan.”
Pancasila itu sebagai kaedah penuntun kalau dalam hukum itu disebutnya sumber dari segala sumber hukum. Jadi diletakkan posisinya paling tinggi dari yang lain,. Dalam konteks bernegara. Pancasila lebih tinggi dari UUD 1945. UUD 1945 sebagai hukum tertinggi tapi kalau pancasila sebagai sumber dari sumber dari segala sumber hukum. Lima sila itu ibaratnya sinar. Ada lima sinar yang seharunya masuk keseluruh relung masyarakat Indonesia, baik itu di elite politik, partai, ormas,. Seluruh rakyat Indonesia secara individu dan kolektif harus memahami bahwa Pancasila itu merupakan sinar yang menyinari seluruh sinar yang menghidupi seluruh kehidupan negara. Artinya, seluruh praktek kenegaraan maupun sikap individu masyarakat mestinya dikaitkan sila-sila Pancasila.
Drs. Zamahsari, M.Ag Dosen dan Wakil Rektor IV UHAMKA menyebutkan, rebutan tafsir Pancasila oleh berbagai elemen anak bangsa adalah implikasi dari kesepakatan kita bahwa Pancasila adalah ideologi yang terbuka,.Hal ini sudah menjadi keniscayaan dalam sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia sejak awal kemerdekaaan, bahkan sejak awal proses penyusunan Pancasila itu sendiri. Sebagai ajang kontestasi, maka hal itu merupakan sebuah kelumrahan. ”Persoalannya muncul ketika dalam ajang kontestasi tersebut, terjadi pemaksaan penafsiran tunggal melalui cara-cara yang tidak demokratis, menjadikan tafisran Pancasila sebagai tameng untuk kepentingan kelompok tertentu (bukan kemaslahatan negara dan bangsa), apalagi sekedar untuk menafikan dan melecehkan peran anak bangsa lainnya dalam memperjuangkan nilai-nilai Pancasila,” ungkapnya.
Persoalan semakin rumit jika Pancasila hanya menjadi lip service dan jargon minus implementasi. Bangsa ini akan mengalami penegroposan dari dalam. Hipokritas akan mendapatkan panggung utama dalam pentas kenegaraan dan kebangsaan yang dimainkan oleh para pemimpin,. Rakyat tinggal mengikuti permainan tersebut dengan lebih cantik. Negara kita akan berubah menjadi “negara seolah-olah”, bangsa kita akan berubah menjadi “bangsa seolah-olah”, sebuah negara bangsa yang mengalami distosi, diviasi dan moral illiteracy. Pancasila sendiri tidak perlu disakral-sakralkan, yang penting adalah kesepakatan kolektif anak bangsa bahwa Pancasila adalah common platform negara-bangsa ini, yang ditunjukkan dengan integritas, komitmen dan konsistensi (satunya kata dan laku) sebagai cara kita bersama untuk mewujudkan nilai-nilai luhur Pancasila dalam kehidupan bersama.
”Oleh karena itu menjadi sangat tepat dan sangat strategis ketika Muhammadiyah menyebut bahwa Negara Pancasila sebagai daarul ‘ahdi wasy syahadah.Sebuah negara yang dibangun dengan konsensus dan menjadi ajang pembuktian bagi perjuangan luhur umat Islam di Indonesia. dan umat Islam Indonesia,” kata Zamahsari. (Bahan tar, nis, tof tulisan: tof)