Oleh: M Muchlas Abror
SYEKH Muhammad Abduh (1849 – 1905), salah seorang tokoh Gerakan Pembaruan dalam Islam, ide dan pemikirannya memberi pengaruh kepada KH Ahmad Dahlan (1868 – 1923). Pendiri Muhammadiyah itu mengenal ide dan pemikiran tokoh tersebut sejak menunaikan ibadah haji yang ke dua pada tahun 1903. Setelah ia membaca berbagai buku karyatulisnya, mencermati, dan memahaminya.
Muhammad Abduh, lulusan Al-Azhar, pernah tinggal di Beirut (Libanon). Ia menjadi guru di Madrasah Sulthaniyah. Ada dua muridnya yang berotak cerdas dan berbakat menulis. Pertama, Rasyid Ridha. Setelah gurunya pulang ke Mesir dan menjadi dosen di almamaternya, ia menyusul ke Kairo masuk Al-Azhar untuk dapat mengikuti kuliah terutama dari guru/dosen yang dicintainya itu. Kuliah tafsir dari dosennya dicatatnya secara teliti dan rapi. Atas persetujuannya terbitlah majalah kampus Al-Manar dan ia menjadi Ketua Redaksinya. Al-Manar cepat mendapat sambutan luas. Terutama rubrik Tafsir Al-Qur’an yang memuat hasil kuliah Muhammad Abduh secara bersambung yang isinya menyegarkan dan membangkitkan semangat ber-Islam. Tafsir Al-Qur’an itu sayang tidak berlanjut. Karena baru sampai juz ke-10, Abduh wafat. Kumpulan tulisan pada rubrik itu kemudian diterbitkan bernama Tafsir Al-Manar.
Kedua, Amir Syakib Arsalan. Murid Muhammad Abduh yang satu ini menulis karangan “Limaadza Taakhkharal Muslimuuna wa Taqaddama ghairuhum ?” — “Mengapa kaum Muslimin Mundur Sedangkan Orang-orang lain Maju ?”.Pertanyaan bagus itu harus kita jawab. Silakan diskusikan ! Menjawabnya tentu tak asal menjawab sekedar membela diri. Kita harus menjawab secara jujur. Apalagi sadar diri, kita perlu introspeksi dan evaluasi. Karena mendambakan kebaikan dan kemajuan di masa depan. Nah, apa jawab penulis itu atas pertanyaan tersebut ? Ia menyimpulkan bahwa orang Barat menjadi maju karena meninggalkan agamanya. Sedangkan Umat Islam menjadi mundur, justru karena meninggalkan agamanya.
Bahkan, Muhammad Abduh pernah menyampaikan ungkapan “Al-Islam mahjuubun bil muslimiin” yang menggambarkan kondisi Umat Islam pada zamannya. Ungkapan itu berarti bahwa Islam tertutup oleh kaum Muslimin. Maksudnya, Islam sebagai agama kebenaran, memiliki kesempurnaan, dan penuh keindahan, tetapi tertutup oleh perilaku kaum Muslimin sendiri. Ungkapan itu tidak hanya tepat pada zaman itu, tetapi juga masih terasa pas untuk menyoroti keadaan Umat Islam di masa sekarang. Terutama Umat Islam di Indonesia.
Umat Islam di Indonesia merupakan mayoritas. Bahkan, Indonesia berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Kita menyadari bahwa mayoritasnya masih terbatas dalam kuantitas. Tetapi masih minoritas dalam kualitas. Sehingga Umat Islam banyak tertinggal dalam multi bidang. Karena daya saingnya rendah dan lemah, misal, dalam bidang ekonomi. Keberadaan Umat Islam di Negara kita ini memang diperhitungkan dan penting. Tetapi, belum menjadi faktor penentu, baik dalam konteks kebijakan, pembangunan keadaban, maupun kesejahteraan.
Para pemimpin Umat Islam harus memikirkan bagaimana jalan keluar dan mencarikan solusinya. Ukhuwwah antar sesama, khususnya yang seaqidah, harus dibuktikan. Kerjasama antar organisasi Islam tidak sebatas perkataan. Tetapi harus diikuti dengan perbuatan nyata. Saling menasehati dengan kebenaran serta saling menasehati dengan kesabaran. Memberi keteladanan dan menggerakkan umat untuk beraktivitas yang terarah dan bermanfaat.
Pada masa sekarang hanya mengedepankan kuantitas tidaklah cukup. Apalagi di tengah persaingan yang ketat. Kuantitas itu penting, tetapi harus segera diikuti kualitas. Bahkan, peningkatan kualitas umat harus menjadi prioritas. Penting sekali artinya memperbanyak kaum Muslimin yang berkualitas. Nah, Muhammadiyah, yang sejak awal berdirinya membawa misi Islam yang berkemajuan, tentu akan terus berlanjut bekerja keras membentuk kaum Muslimin yang berkualitas. Mereka beriman, bertaqwa, berakhlaq, berilmu, dan beramal shalih. Mereka dinamis, produktif, mandiri, berwawasan ke depan, punya keunggulan dan daya saing, Mereka memiliki tekad kuat, keberanian menghadapi tantangan, kesabaran, dan ketulusan. Mereka terpandang dan berwibawa di masyarakat. Dan Muhammadiyah tiada henti meningkatkan kualitas amalusahanya. Tanpa meningalkan perhatian perlunya menambah kuantitas.
Peningkatan kualitas umat memang harus menjadi prioritas.
Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 22 Tahun 2017