Perdamaian dan Keadilan dalam Perspektif Islam

buya syafii maarif Perdamaian

Foto Dok SM

Perdamaian dan Keadilan dalam Perspektif Islam

Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Dari sisi ajaran, semua agama pasti memerintahkan pemeluknya untuk mewujudkan perdamaian dan menegakkan keadilan, sebab tanpa dua pilar itu perumahan kemanusiaan akan menjadi ringkih, jika bukan malah berantakan. Masalahnya selalu saja terletak pada kenyataan sering pecahnya kongsi antara ajaran agama dan perilaku pengikutnya sebagai manusia yang lemah dalam mengontrol dirinya dalam berhubungan dengan sesama. Dalam perjalanan sejarah Islam, darah lebih banyak tertumpah karena konflik internal sesama Muslim dibandingkan perseteruan dengan pemeluk agama lain.

Tragedi kemanusiaan yang kini sedang melanda beberapa negara Arab adalah bukti kongkret dari pernyataan ini, sekalipun faktor eksternal dari pihak Barat yang neoimperialistik sebagai salah satu penyulut utamanya. Tetapi pihak luar hanyalah mungkin melakukan intervensi ketika situasi internal suatu bangsa dalam keadaan rapuh karena dilanda perpecahan. Agama, dalam hal ini Islam, seperti telah kehabisan daya dan kekuatan perekat untuk memberikan solusi terhadap masalah ruwet yang dialami oleh peradaban Arab yang sedang jatuh. Oleh sebab itu, makalah ini akan lebih memusatkan perhatian kepada ajaran Islam tentang perdamaian dan keadilan, bukan kepada perilaku umatnya yang telah jauh menyimpang itu. Juga di sini tidak akan dibicarakan kajian orientalis tentang al-Qur’an dan Muhammad yang telah menjadi isu kontroversial sejak bagian akhir abad ke-19 sampai hari ini.

Al-Qur’an tentang perdamaian

Sumber utama ajaran Islam adalah al-Qur’an yang diyakini oleh umat Islam sebagai kalam Allah (firman Allah) yang autentik sejak pertama kali diturunkan pada tahun 610 masehi dalam bahasa Arab yang sempurna. Al-Qur’an juga sebagai “the Command of God for man” (Perintah Tuhan untuk kepentingan manusia). (Lih. Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an. Minneapolis-Chicago: Bibliotheca Islamica, 1980, hlm. xi. Bagi mereka yang ingin mengetahui benang merah ajaran al-Qur’an secara ringkas tetapi padat, dapat ditemui dalam karya ini). Muhammad Asad dalam kitab tafsirnya menjelaskan bahwa al-Qur’an itu diturunkan adalah untuk menjawab pertanyaan kunci berupa: “Bagaimana semestinya saya berperilaku agar meraih kehidupan yang baik di dunia ini dan kebahagiaan nanti di seberang makam?” (Muhammad Asad, The Message of the Qur’an. Gibraltar: Dar-al-Andalus, 1980, hlm. i. Aslinya berbunyi: “How shall I behave in order to achieve the good life in this world and happiness in the life to come?”) Dalam perspektif ini, kehidupan yang baik itu barulah menjadi mungkin manakala perdamaian dan keadilan dijadikan undang-undang kebudayaan dan peradaban, sesuatu yang ternyata sangat sulit diwujudkan sepanjang sejarah umat manusia.

Tetapi, di sinilah tantangan yang perlu dijawab oleh makhluk yang menyebut dirinya sebagai homo sapiens (manusia si bijak, si arif), apalagi oleh mereka yang mengaku beragama. AJ Toynbee (1889-1975) tampaknya masih pesimis bahwa peradaban modern telah melahirkan sosok homo sapiens itu. Mengapa? Dijawab: “We have shown little wisdom, so far, in controlling ourselves and in managing our relations with each other. If we succeed in surviving the present technological revolution, we may at last become homo sapiens in truth as well in name.” (AJ Toynbee, Surviving the Future. New York-London: Oxford University Press, 1973, hlm. 44). Karena mengaburnya kekuatan kearifan itu, termasuk apa yang terlihat dalam masyarakat Muslim sejagat, maka perdamaian dan keadilan masih sangat perlu diperjuangkan terus menerus tanpa lelah. Hari depan jenis manusia ini akan sangat tergantung kepada kemampuan mereka untuk menciptakan perdamaian dan menegakkan keadilan secara merata tanpa pilih kasih.

Di antara nama Allah dalam al-Qur’an adalah al-salam (Mahadamai) dan al-mu’min (Maha Pemberi keamanan). (Lih. Al-Qur’an (Q) surat al-Hasyr (59:23). Artinya secara teologis, Allah sebagai sumber kehidupan yang menyebut diri-Nya sebagai Mahadamai dan Maha Pemberi keamanan, maka perdamaian dalam perspektif Islam yang autentik bernilai universal, berlaku untuk semua orang, pada semua zaman, dan semua tempat. Artinya, jika ada sekelompok Muslim yang tidak berjuang bagi terwujudnya perdamaian di muka bumi sama artinya dengan mengkhianati Tuhan yang disembahnya. Ayat-ayat al-Qur’an tentang perdamaian banyak sekali, tersebar dalam berbagai surat, seperti terbaca misalnya dalam kutipan ini: “Dengannya [al-Qur’an] Allah menunjuki semua orang yang mencari keridhaan-Nya menuju jalan-jalan perdamaian.” (Qs Al-Maidah [5]: 16). Lagi, “Allah menyeru kepada rumah perdamaian dan memberi petunjuk siapa saja yang dikehendakiNya kepada jalan yang lurus.” (Qs Yunus [10]: 25).

Tetapi ajaran perdamaian dalam Islam tidak berarti tanpa peperangan. Sebab perang itu kadang-kadang diperlukan saat menghadapi penindasan manusia oleh manusia, saat untuk menegakkan keadilan melawan kezaliman. Al-Qur’an menegaskan tentang masalah ini: “Diizinkan [berperang] bagi mereka yang diperangi, karena sesungguhnya mereka dizalimi, dan sesungguhnya Allah amat berkuasa menolong mereka.” (Qs Al-Hajj [22]: 39). Lagi, “Dan berperanglah di jalan Allah terhadap mereka yang memerangi kamu, tetapi jangan sekali melampaui batas. Dan sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (Qs Al-Baqarah [2]: 190). Perbuatan melampaui batas di mata Al-Qur’an sangat menyakiti Allah, karena berlawanan dengan sifat-Nya sebagai Mahadamai dan Mahapelindung. Ayat berikut memerintahkan berperang untuk melenyapkan fitnah (penindasan/siksaan/hasutan/cobaan): “Dan perangi mereka sehingga tidak ada lagi fitnah dan semua pengabdian hanyalah untuk Allah. Jika mereka berhenti, maka tidak ada lagi permusuhan, kecuali terhadap orang yang zalim.” (Ibid, ayat 193).

Ayat berikut sungguh luar biasa, karena diizinkan berperang untuk melindungi rumah-rumah ibadah milik berbagai agama: “Mereka yang diusir dari negeri-negeri mereka dengan [alasan] yang tidak benar, kecuali karena mereka berkata: Tuhan kami ialah Allah. Dan sekiranya Allah tidak melindungi manusia sebagian dari mereka atas sebagian yang lain, pastilah dihancurkan tempat-tempat pertapaan (shawâm’i) dan gereja-gereja Kristen (biya’), sinagog milik Yahudi (shalawât), dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Allah pasti menolong siapa yang menolong-Nya. Sesungguhnya Allah itu Mahakuat, Mahaperkasa.” (Qs Al-Hajj [22]: 40). Saya tidak tahu apakah ada ayat Kitab Suci lain yang begini lantang pembelaannya terhadap tempat-tempat ibadah milik siapa pun. Tetapi ayat ini pulalah yang sering diinjak-injak oleh sekelompok kecil mereka yang menyebut dirinya Muslim.
Sering saya katakan bahwa al-Qur’an lebih toleran daripada sebagian Muslim. Bagi saya, ayat ini saja sudah lebih dari cukup untuk mengatakan: melindungi tempat-tempat ibadah milik siapa pun adalah wajib bagi seorang Muslim, karena firman Allah memerintahkan demikian itu.

Ketentuan ini sekaligus menegaskan bahwa membela kemerdekaan beragama merupakan sesuatu yang mutlak dilakukan. Bagi mufassir Abdullah Yusuf Ali, ayat ini tidak saja berlaku untuk agama-agama yang disebutkan itu, tetapi juga melibatkan “all foundations built for pious uses.” (Lih. A Yusuf Ali, The Holy Qur’an. United States of America: the Muslim Students’ Association of USA and Canada, 1975, hlm. 862, catatan no. 2817. “Semua lembaga yang dibangun untuk tujuan-tujuan keagamaan dan keshalihan.”) Toleransi dalam al-Qur’an adalah untuk semua manusia: beriman atau tidak beriman. Cobalah ikuti penegasan berikut ini: “Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentu semua manusia yang ada di permukaan bumi akan beriman; karena itu apakah engkau ingin memaksa manusia agar menjadi orang beriman?” (Qs Yunus [10]: 99). Bukankah tidak ada paksaan dalam agama (lâ ikrâha fî al-dîn)? (Qs al-Baqarah [2]: 256).

Jika Tuhan memang tidak menginginkan semua manusia beriman, mengapa sebagian kita bernafsu sekali untuk “memaksa” orang lain agar seperti kita? Sedangkan kita sendiri belum tentu baik, apalagi sudah mencapai posisi homo sapiens. Adapun mengajak manusia ke jalan Allah, jalan kebaikan, jalan kearifan, memang diperintahkan al-Qur’an: “Ajaklah ke jalan Tuhanmu melalui metode kearifan (bi al-Hikmah) dan pengajaran yang baik, dan berdialoglah dengan mereka dengan cara-cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu lebih mengetahui orang-orang yang tersesat dari jalan-Nya, dan Dia lebih mengenal orang-orang yang beroleh petunjuk.” (Qs Al-Nahl [16]: 125). Sekali lagi, paksaan untuk beriman pasti berlawanan dengan prinsip pilihan bebas dan kemauan bebas yang diberikan kepada manusia.

Pilihan bebas dalam batas kemanusiaan sebagai undang-undang kebudayaan perlu dihormati oleh siapa saja, asal pilihan bebas itu tidak sampai meruntuhkan dan merusak fabrik sosial sebagai syarat bagi tegaknya perdamaian dalam kehidupan kolektif manusia. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak mungkin hidup sendirian. Prinsip saling bergantung adalah fakta keras dalam perjalanan sejarah umat manusia. Agama datang untuk membimbing dan membantu akal manusia dalam menentukan masalah baik dan buruk, pantas dan tidak pantas.Tanpa agama, manusia akan kehilangan rujukan moral tertinggi yang dapat berujung dengan munculnya nihilisme total yang dengan tajam dirumuskan F. Nietzsche dalam situasi ini: “…man rolls from the center toward X.” (Lih. Gianni Vattimo, The End of Modernity: Nihilism and Hermeneutics in Postmodern Culture, tr. By Jon R. Snyder. Baltimore: The Johns Hopkins University Press, 1991, hlm. 19). Agama tidak saja mengajarkan perdamaian antara sesama makhluk, tetapi juga terciptanya perdamaian antara bumi dan Langit, antara manusia dengan Tuhan agar keseimbangan kosmologis bisa terjaga.

Keadilan dalam al-Qur’an

Sudah disinggung sebelumnya bahwa perdamaian tanpa keadilan tidaklah mungkin, bahkan itu hanyalah sebuah angan-angan kosong. Al-Qur’an sangat menekankan agar keadilan benar-benar ditegakkan, termasuk terhadap diri sendiri dan keluarga terdekat. Kita baca: “Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah manusia yang menegakkan keadilan, jadi saksi karena Allah, sekalipun atas diri-diri kamu atau atas dua ibu-bapa kamu, dan keluargamu yang dekat.” (Qs Al-Nisa’ [4]: 135). Keadilan dalam Islam adalah ibarat pisau bermata dua: jika salah tuannya sendiri yang dimakannya. Sikap pilih kasih tidak dikenal dalam sistem teologi Islam, sekalipun umat Islam sendiri sering melanggarnya. Contoh yang paling dekat dengan kita ialah terjadinya perlawanan rakyat yang berdarah-darah terhadap penguasa-penguasa Muslim pada beberapa negara Arab. Sebab utamanya adalah karena absennya keadilan dari negara terhadap rakyat yang sebenarnya sudah berlangsung puluhan, jika bukan ratusan tahun. Penguasa yang zalim ini tidak jarang mendapatkan pembenaran dari ulama. Ini sebuah ironi yang sangat menyakitkan, dan memalukan.

Secara sederhana keadilan menurut pandangan Islam adalah: “…meletakkan sesuatu pada tempat yang tepat dan benar. Juga bermakna memperlakukan orang lain secara sama. Dalam Islam, keadilan adalah juga nilai moral dan sebuah atribut kepribadian manusia, sebagaimana juga terdapat dalam tradisi Barat.” (Lih. Shaykh Said Afandi al-Chirkawi, “The Concept of Justice in Islam” via Google). Baik di dunia Islam mau pun di belahan bumi Barat, cita-cita keadilan sering benar menjadi lumpuh berhadapan dengan arus kehidupan yang serba instan dan pragmatis. Agama seperti telah kehilangan kekuatan untuk membalikkan arus sekularistik yang minus keadilan ini, sementara tokoh-tokoh agama malah sibuk berkhotbah di masjid, gereja, sinagog, dan wihara. Kita hidup di sebuah dunia yang telah kehilangan keseimbangan, sebuah dunia yang oleng.

Ayat berikut ini menguatkan perintah ayat di atas dengan tambahan bobot yang tidak kurang tajamnya: “Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah manusia yang lurus karena Allah, menjadi saksi dengan adil; dan janganlah kebencianmu terhadap satu kaum menyebabkan kamu tidak berlaku adil. Berlaku adillah, [karena] ia lebih dekat kepada takwa. Bertakwalah kepada Allah, karena sesungguhnya Allah amat mengetahui apa yang kamu perbuat.” (Qs al-Maidah [5]: 8). Keadilan dalam perspektif Islam haruslah mengatasi segala bentuk kebencian terhadap siapa pun, sesuatu yang tidak mudah dilakukan. Tetapi al-Qur’an tidak berganjak sedikit pun agar keadilan itu harus tegak, tidak terikat dengan tempat dan waktu, karena ia bernilai universal. Keadilan adalah sebuah kerinduan abadi seluruh umat manusia, beragama atau tidak beragama. Ke arah sebuah dunia yang adil itulah semestinya komunitas yang mengaku beragama menggerakkan roda sejarah sehingga kepincangan pergaulan hidup manusia di muka bumi ini semakin dapat dipertautkan. Sebuah agama, agama mana pun, yang tidak mampu memberi solusi kepada manusia dan kemanusiaan secara keseluruhan, agama itu tidak banyak manfaatnya. Di sinilah tantangan terberat yang dihadapkan kepada para pemeluk agama, termasuk kita ini semua. Untuk Indonesia sila kedua dan sila kelima: “Kemanusiaan yang adil dan beradab”, serta “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” harus segera dibawa turun ke bumi, tidak dibiarkan menggantung di awan tinggi.

Penutup

Akhirnya sebagai penutup, perdamaian dan keadilan hanyalah bisa diwujudkan dan ditegakkan melalui keberanian tanpa kebencian. Untuk tujuan ini, ajaran Mahatma Gandhi perlu direnungkan:
I shall not fear anyone on Earth.
I shall fear only God.
I shall not bear ill will toward anyone.
I shall not submit to injustice from anyone.
I shall conquer untruth by truth. And in resisting untruth I shall put up with all suffering.
(Telusuri filosofi Mahatma Gandhi tentang perdamaian, keadilan, dan keberanian via Google).
Filosofi Gandhi sangat ideal, tidak mudah diwujudkan, tetapi sebuah idealisme perlu dimiliki dan dipedomani oleh seluruh umat beragama sebagai inspirasi yang tidak akan pernah kering. Kita perlu menimba kearifan dari siapa pun, dari mana pun asalnya.•

(Tulisan ini juga disampaikan pada forum Konven Pendeta, Calon Pendeta, dan Pendeta Emeritus GKI Sinode Wilayah Jawa Tengah, bertempat di Hotel Grand Aston, Jl. Urip Sumohardjo No. 37, Yogyakarta, 11 Nopember 2015).

Exit mobile version