(177) Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan ke barat, tetapi kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kita-kitab dan nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang yang dalam perjalanan (musafir), peminta-peminta, dan untuk memerdekakan hamba sahaya, yang melaksanakan shalat dan menunaikan zakat, orang-orang yang menempati janji apabila berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kemelaratan, penderitaan dan pada masa peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar, dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.
Semenjak Allah memerintahkan orang-orang Islam untuk memindahkan arah kiblat dari Baitulmakdis ke Ka’bah di Makkah, terjadi kegaduhan dan ketegangan di antara sebagian ahlulkitab dengan sebagian orang Islam, dikarenakan adanya anggapan dari Ahlulkitab bahwa shalat yang dilakukan tidak menghadap ke Baitulmakdis tidak sah. Sementara orang Islam beranggapan lain, shalat yang diterima oleh Allah hanyalah shalat yang dilakukan dengan menghadap ke Ka’bah di Masjidil Haram (kiblat Nabi Ibrahim as). (Ibn Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, I/208).
Ayat 177 ini menjelaskan kepada mereka bahwa apa yang mereka lakukan, dengan hanya menghadapkan diri ke arah timur dan barat bukanlah merupakan kebajikan, karena menghadap ke arah timur dan barat bukanlah perbuatan yang sulit yang membutuhkan suatu perjuangan. Ada tuntunan yang memerlukan perjuangan yaitu bagaimana memperoleh ketakwaan dan ketaatan serta iman yang sempurna, dan di sanalah ditemukan kebajikan yang sejati.
Menurut riwayat dari Qatadah, ayat ini turun karena orang-orang Yahudi beribadah menghadap ke arah barat, sedangkan orang-orang Nasrani menghadap ke arah timur. Setiap golongan dari mereka menganggap bahwa golongannya yang benar dan yang berbakti di jalan Allah serta melakukan kebajikan, sementara golongan yang lain dianggapnya melakukan kesalahan dan tidak berbakti atau tidak berbuat kebajikan. Sehubungan dengan itu, turunlah ayat ini memberi bantahan terhadap anggapan mereka. (Ibn Jurair, Tafsir At-thabari, II/94).
Kata ‘al-birr’ dalam ayat tersebut berarti ash-shidq wa ath-tha’ah (kebenaran dan ketaatan), yaitu suatu penamaan terhadap semua kebaikan, semua ketaatan dan pendekatan diri kepada Allah. (Ibn Manzhur, Lisan Al-Arab, IV/51, Lihat: Al-Qurthubiy, Tafsir Al-Qurthubiy (Al-Jami’ li Ahkam Al-Quran), II/238). Sebagian ahli bahasa menyebutkan bahwa kata al-birr berasal dari “al-barr” yang berarti “daratan, lawan dari “lautan” yang menggambarkan keluasan, sehingga memberi arti keluasan dalam berbuat kebaikan. (Ar-Razi, At-tafsir Al-kabir, V/33). Al-barr tidak hanya dinisbahkan kepada perbuatan manusia, tetapi juga kepada Allah seperti tercantum pada Qs Ath-Thur [52]: 28,
Dialah Yang Maha Melimpahkan kebaikan lagi Maha Penyayang.
Kedudukan ayat di atas merupakan penegasan bahwa bukan karena menghadapkan muka ke arah barat dan timur yang dimaksud sebagai kebajikan hakiki, akan tetapi kebajikan yang sebenarnya adalah ketaatan kepada Allah, melaksanakan segala tuntunan-Nya, itulah kebajikan dan ketakwaan serta keimanan yang sempurna. (Ibn Kasir, Tafsir Ibn Kasir, I/208). Ayat ini ingin menjelaskan bahwa bukan dengan menghadapkan wajah secara fisik (at-tawajjuh asy-syakliy) yaitu sekadar menghadapkan wajah dalam shalat ke arah timur dan barat, akan tetapi kebajikan yang sebenarnya adalah bagaimana manusia mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat, karena memperoleh keridhaan Allah swt, melalui proses patuh dan tunduk kepada apa yang disyariatkan agama dengan beriman kepada Allah swt dan yang lain-lainnya yang tertera dalam ayat di atas. (Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: I/390).
Penegasan Allah bahwa kebajikan yang sebenarnya adalah iman yang disertai dengan perbuatan-perbuatan baik yang menjadi ciri orang yang dapat dikategorikan sebagai orang baik. Kedudukan iman adalah dasar dan fondasi dari kebajikan. Seseorang dapat melakukan kebajikan yang sebenarnya ketika jiwanya penuh dengan kepatuhan dan tunduk akan tuntunan yang diturunkan oleh Allah swt. Allah berfirman dalam Qs Ar-Ra’d [13]: 28:
orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat kepada Allah hati dapat menjadi tenteram.
Firman Allah:
sesungguhnya kebajikan yang sempurna ialah orang-orang beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab dan nabi-nabi.
merupakan doktrin yang semestinya meresap kepada setiap jiwa manusia karena dengan iman kepada Allah, dapat mengangkat derajat manusia dari rasa tunduk dan patuh kepada pemimpin yang mengatasnamakan agama untuk mencapai kekuasaannya. Ajakan ini berarti bahwa sepatutnya tidak ada seorang mukmin pun yang menghambakan dirinya secara hina kepada sesama manusia, karena rasa patuh dan tunduk semestinya hanya dapat dilakukan kepada Allah swt. Beriman kepada hari Akhir dapat mengajarkan manusia agar menyadari bahwa kelak ada kehidupan lain di alam gaib yang bukan kehidupan seperti sekarang ini, seyogyanya manusia tidak berperilaku mengikuti kecenderungan diri dan hawa nafsunya. Beriman kepada malaikat-malaikat-Nya dapat mengajarkan bahwa ada makhluk yang senantiasa tunduk dan patuh kepada aneka tugas yang diberikan oleh Allah swt tanpa ada rasa pembangkangan sedikitpun. Beriman kepada kitab-kitab suci yang diturunkan Allah (Al-Qur’an, Injil, Taurat dan Zabur) sebagai penegasan bahwa agama Islam sebagai agama penyempurna bagi agama-agama sebelumnya. Beriman kepada seluruh nabi-nabi, karena mereka itulah orang-orang pilihan Allah dan diberi wahyu untuk membimbing dan memberi petunjuk kepada manusia. (Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: I/390).
Allah swt tidak hanya cukup memberikan doktrin keimanan yang tidak nampak, akan tetapi memberikan contoh-contoh kebajikan yang lahir yang dilakukan manusia. Seseorang baru dianggap melakukan kebajikan kalau dapat menyerahkan sebagian harta yang dicintainya kepada orang lain. Iman yang dimaksud di atas adalah iman yang disertai dengan amal perbuatan nyata yaitu kemampuan menyisihkan sebagian harta yang dicintainya untuk diberikan kepada:
a. kerabat yang membutuhkan bantuannya, artinya kerabat yang memiliki kemampuan lebih hendaknya memberikan nafkah kepada anggota keluarga terdekat yang membutuhkan;
b. anak yatim yang tidak berdaya karena ditinggal mati oleh orang tuanya;
c. orang musafir yang mendapatkan kesulitan karena terlantar dan tidak memiliki akses kepada keluarganya;
d. orang yang terpaksa meminta-minta guna memenuhi kebutuhan hidupnya; dan
e. memberikan sebahagian hartanya untuk menghapus perbudakan — termasuk mereka yang diperjualbelikan, mereka yang ada dalam tawanan musuh, dan mereka yang teraniaya- sehingga mereka dapat mengembalikan kemerdekaan dirinya yang sudah hilang.
Yang juga termasuk kategori kebajikan hakiki ialah melaksanakan shalat secara benar sesuai dengan tuntutan Rasulullah saw; menunaikan zakat sesuai dengan kadar dan ketentuan yang telah digariskan; menepati janji jika berjanji kepada orang lain; dapat berlaku sabar, tabah dan mampu menahan diri serta selalu berjuang dalam mengatasi segala kesulitan dan cobaan. Mereka disebutnya sebagai orang-orang yang benar-benar bertakwa karena memiliki kemampuan untuk menyelaraskan antara sikap, ucapan dan perbuatannya. (Lihat: Departemen Agama, Al-Qur’an dan Tafsirnya, I/237; Asy-Syinqithiy menyebutkan: ayat 177 tersebut menggambarkan 3 (tiga) ajaran pokok agama Islam, yaitu Islam, meliputi shalat, zakat dst; Iman, meliputi iman kepada Allah, kepada para Malaikat dst; dan Ihsan, meliputi tepat janji apabila berjanji, sabar dalam kemelaratan dan penderitaan, dst. (Muhammad Amin Asy-Syinqithiy, Adlwa’ Al-Bayan fi Idlah Al-Qur’an bi Al-Qur’an, Dar Al-Fikr li Ath-Thiba’ah wa An-Nasyr, Bairut, VIII/251).• Bersambung
*) Tafsir Tahlily ini disusun oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah
dengan naskah awal disusun oleh Prof Dr Muhammad Zuhri