Pada suatu ketika Ibnu Abbas menyatakan sebagai berikut. Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada orang beriman untuk bersabar tatkala ada yang membuat marah, membalas dengan kebaikan jika ada yang berbuat jahil, dan memaafkan manakala ada yang berbuat buruk. Jika setiap hamba melakukan perbuatan yang baik tersebut, Allah akan melindunginya dari gangguan setan dan akan menundukkan musuh-musuhnya. Mereka yang semula bermusuhan malah dapat menjadi teman dekatnya karena tingkah laku baik tersebut.
Ibnu Abbas mengajarkan makna ihsan dalam perilaku yang tak menyenangkan sebagaimana diajarkan Nabi. Nabi akhir zaman bahkan merupakan uswah hasanah dalam berbuat ihsan, baik di lingkungan umat Muslim maupun dengan mereka yang beragama lain. Ajaran Nabi tentang tasamuh atau lapang hati terhadap yang berbeda agama bahkan menjadi mozaik terindah dalam kerisalahannya. Nabi bersabda, ahabbu al-din ila Allah al-hanafiyatu al-samhah, bahwa agama yang paling dicintai di sisi Allah adalah agama yang lurus dan lapang hati (HR Muslim dari Ibn Abbas).
Beragama juga menuntut ihsan yang melahirkan tasamuh. Sikap tasamuh tidak menunjukkan longgar keyakinan, lebih-lebih mengorbankan prinsip. Sikap tasamuh kuat dalam prinsip tetapi arif dalam menghadapi perbedaan. Sikap tersebut menunjukkan kekayaan ruhani dalam beragama dan bermasyarakat. Itu cermin dari sikap rahman dan rahim di tengah keragaman keyakinan, pikiran, dan sikap hidup. Bukankah umat manusia itu satu keturunan dari Nabi Adam alaihissalam. Allah pun menganugerahkan umatnya dengan kemajemukan untuk saling mengenal dalam keragaman (Qs Al-Hujarat: 13) serta tidak menjadikan manusia sebagai satu keyakinan tunggal meski jika Dia menghendaki maka tidak ada yang mustahil.
Kemampuan bertoleransi secara benar melatih jiwa yang hanif atau lurus sekaligus hilmi atau lembut hati. Dalam berdakwah dan menyikapi orang lain yang berbeda keyakinan sekalipun, sungguh terhormat manakala lurus dan lembut hati. Kelembuthatian jika tetap dilandasi kekuatan prinsip atas keyakinan Islam tidak akan menjadikan diri rendah atau kalah di hadapan orang lain. Allah bahkan mengajarkan umat Mukmin dan Muslim untuk berlema-lembut sebagaimana firman-Nya dalam Al-Quran yang artinya: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (Qs Ali Imran: 159).
Ketika berhadapan dengan orang lain yang berbuat buruk sekalipun, sikap dasar lemah lembut dan kebaikan itu harus tetap dikedepankan untuk membedakan diri selaku Muslim dengan non-Muslim. Allah berfirman, yang artinya: “Tolaklah (keburukan) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.” (Qs Fushilat: 34-35).
Nabi dengan kekuatan prinsipnya juga memiliki sifat lemah lembut dan tidak kasar hati. Menurut Al Hasan Al Bashri, sosok sufi ternama, “Berlaku lemah lembut inilah akhlak Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang di mana beliau diutus dengan membawa akhlak yang mulia ini.” Mereka yang memiliki sifat membalas keburukan dengan kebaikan tentu memiliki kekuatan ruhani kesabaran yang luar biasa. Menurut mufasir ternama, Ibnu Katsir Abu Fida Ismail, “bahwa yang mampu melakukan seperti ini adalah orang yang memiliki kesabaran. Karena membalas orang yg menyakiti kita dengan kebaikan adalah suatu yang berat bagi setiap jiwa.”
Maka menjadi pemimpin, mubaligh, penyebar risalah, serta sosok-sosok Muslim dan Mukmin di mana pun berada dan dalam menyikapi banyak hal dalam berdakwah kenapa harus kasar hati? Sejauh masih dapat lembut hati dalam menyikapi keadaan, maka kedepankanlah sikap dan perangai yang mulia itu. Kuat prinsip, murni akidah, dan sebagai penggerak Islam tidaklah harus garang dan keras hati sehingga nilai-nilai habluminannas makin luruh dan kering. Bukankah Nabi bersabda, “Aku tidak diutus kecuali untuk menyempurnakan akhlak mulia.” Lemah lembut dan tidak garang atau kasar hati merupakan wujud dari akhlak mulia. • A. Nuha