Muhammad Rasyid Ridha, murid Muhammad Abduh, adalah tokoh yang berhasil membuka tabir ketertutupan pemikiran umat Islam. Bersama gurunya, ia bukan saja menerbitkan majalah al-Urwah al-Wutsqa. Setelah majalah ini tidak terbit lagi, dalam periode selanjutnya ia menerbitkan majalah al-Manar. Tidak berbeda jauh dengan misi al-Urwah al-Wutsqa, al-Manar juga bermaksud membuka tabir ketertutupan pikiran umat Islam saat itu. Ia pun dijuluki sebagai pembaru, reformis.
Nuansa pikiran Rasyid Ridha lebih dominan dalam tafsir al-Manar, meskipun tafsir ini ada buah dari kuliah Tafsir gurunya di al-Azhar. Tafsir al-Manar pun dianggap sebagai karya Muhammad Rasyid Ridha. Tafsir inilah yang memberikan banyak nuansa pemikiran berkemajuan dalam keberislaman. Dibanding wajah-wajah tafsir pada masanya, ia lebih memilih menafsirkan al-Qur’an yang memiliki daya dorong agar umat Islam menjadi umat yang mau berpikir dan berkemajuan.
Muhammad Rasyid Ridha lahir di Qalmun, sebuah desa di Lebanon, dekat dengan Tripoli (Suriah). Ia lahir pada 27 Jumada al-Ula 1282 H, atau 27 September 1865 M. Nama lengkapnya Muhammad Rasyid bin ‘Aly Ridla bin Muhammad Syams ad-Din bin Minla ‘Aly Khalifah al-Qalmuny al-Baghdady al-Hasany.
Setelah tamat di Kuttab, ia melanjutkan studi ke Madrasah Ibtidaiyyah. Satu tahun kemudian ia pindah ke sekolah Islam Husain Afandi al-Jisr, di Tripoli. Ia belajar Hadits hingga khatam kepada Mahmud Nasyabah hingga bergelar Voltaire. Kemudian ia belajar ilmu ushul dan logika ke Abdul Ghani al-Rafi. Namun dalam proses belajarnya, pola pikirnya lebih banyak dipengaruhi guru idolanya, Muhammad Abduh. Ia termasuk murid yang sangat tekun. Ia membagi waktunya untuk belajar dan ibadah, sehingga kurang waktu untuk tidur atau pun istirahat. Ia pun dikenal sebagai ahli Hadits dan memiliki cakrawala pemikiran yang mendalam.
Tafsir al-Manar
Pergaulan keilmuannya dengan Muhammad Abduh sangat dekat. Kedekatan ini di kemudian hari menentukan garis perjuangannya. Ia terlibat dalam aktivisme politik bersama gurunya tersebut, hingga ia memutuskan menghindar sama sekali dari dunia politik. Ia pun kemudian memilih kembali pada dunia pemikiran. Sebagaimana juga yang dilakukan ketika aktif di dunia politik, ia memilih dalam dunia tulis-menulis. Ia menerbitkan majalah al-Manar. Melalui majalah inilah ia menyuarakan pentingnya pembaruan pemikiran Islam. Mengajak umat Islam berpikir maju dan modern. Dalam upaya ini pula Tafsir al-Manar ia tulis. Tafsir yang kemudian menjadi salah satu rujukan umat Islam dalam memandang modernitas dalam pandangan Islam.
Rasyid Ridha melihat perlunya diadakan tafsir modern dari Al-Qur’an, yaitu tafsir yang sesuai dengan ide-ide yang dicetuskan gurunya. Ia selalu menganjurkan kepada gurunya, Muhammad Abduh, supaya menulis tafsir modern. Karena selalu didesak, Abduh akhirnya setuju untuk memberikan kuliah mengenai tafsir Al-Qur’an di al-Azhar. Kuliah-kuliah itu dimulai pada tahun 1899. Keterangan-keterangan yang diberikan gurunya oleh Rasyid Ridha dicatat untuk selanjutnya disusun dalam bentuk karangan teratur. Apa yang ia tulis ia serahkan selanjutnya kepada guru untuk diperiksa. Setelah mendapat persetujuan lalu disiarkan dalam al-Manar. Dengan demikian, akhirnya muncullah apa yang kemudian dikenal dengan Tafsir al-Manar. Muhammad ‘Abduh sempat memberikan tafsir hanya sampai pada ayat 125 dari surat An-Nisa (Jilid III dari Tafsir al-Manar) dan yang selanjutnya adalah tafsiran muridnya sendiri.
Sebenarnya, nama kitab tafsirnya adalah Tafsir Al-Qur`an al-Hakim. Namun kitab ini lebih dikenal dengan nama Tafsir al-Manar karena semula tulisan tafsirnya termuat dalam majalah al-Manar. Sayangnya, tafsir ini tidak rampung dan hanya sampai pada surat Yusuf, ayat 101. Tafsir yang terdiri dari beberapa jilid tebal ini pun tidak lengkap tiga puluh juz. Rasyid Ridha baru menyelesaikannya sampai kira-kira sepertiga bagian dari juz ketiga belas karena ajal telah terlebih dulu menjemputnya. Penafsiran surat ini pun, selanjutnya dituntaskan oleh Bahjat al-Baithar dan kemudian diterbitkan dengan tetap memakai nama Rasyid Ridha.
Dalam banyak hal, termasuk dalam kitab tafsirnya, Rasyid Ridha banyak menukil gurunya, Muhammad Abduh. Tidak terdapat perbedaan antara keduanya di dalam masalah sumber, manhaj (metode) dan tujuan kecuali terhadap beberapa hal yang amat langka dan sedikit.
Manhajnya di dalam tafsir adalah menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an (ayat dengan ayat), hadits-hadits shahih dari Rasulullah, sesuai metode Salaf, menggunakan gaya bahasa Arab ditambah dengan nalarnya yang terbebas dari taqlid terhadap para mufassir kecuali terhadap pendapat mereka yang memuaskannya. Menurut sebagian muridnya, ia tidak mengevaluasi apa yang ditulisnya di dalam tafsir, kecuali setelah menulis pemahamannya terlebih dahulu terhadap suatu ayat. Ini ia lakukan karena khawatir ada pengaruh ucapan-ucapan para mufassir terhadap dirinya.
Rasyid Ridha memiliki motivasi dalam menulis tafsir seperti itu. Ia menyinggung tentang ketidakberuntungan kaum Muslimin manakala kebanyakan karya tafsir menyibukkan bahasan-bahasan tentang i’rab, kaidah nahwu, makna-makna, dan istilah-istilah bayan. Banyak juga yang sibuk dengan debat kusir Ahli Kalam, interpretasi-interpretasi ulama Ushul, kesimpulan-kesimpulan para ahli fiqih yang fanatik, takwil kaum Sufi, dan fanatisme masing-masing, terhadap aliran dan madzhabnya. Ada juga di antaranya sibuk pada banyaknya riwayat yang tercampur dengan Israiliyyat.
Metode Adab Ijtima’i
Metode tafsirnya adalah menafsirkan ayat-ayat secara adab ijtima’i, meninggalkan ayat-ayat mutasyabihat dan mubhamat. Selain menafsirkan al-Qur’an secara kontemporerisasi, ia juga menafsirkan ayat-ayat menurut logikanya. Kelebihannya, tafsirnya mampu merombak kehidupan manusia yang masih banyak mengikuti taqlid, mengajak manusia untuk lebih maju dalam peradaban, membantu menyebarkan ajaran Islam dari segi pemahaman dakwah dan amal.
Tafsir al-Manar sangat merepresentasikan penulisnya. Ide-ide modernisasi, reformasi, dan karakteristik dan model kebangkitan umat yang ingin diwujudkan penulisnya dapat diamati dengan jelas di sela-sela interaksinya dengan ayat-ayat Kitab Suci.
Rasyid Ridha sebenarnya seorang penulis yang prolifik. Selain sebagai penulis di majalah dan tafsirnya, ia juga menghasilkan banyak karya besar, baik dalam bidang pemikiran hadits, politik, dakwah, kalam, perbandingan agama, fiqh, dan fatwa. Sebut saja, misalnya, Tarikh al-Ustadz al-Imam al-Syaikh Muhammad ‘Abduh (Biografi Imam Muhammad Abduh), Nida’ li Jins al-Latif (Panggilan terhadap Kaum Wanita), al-Wahyu Muhammadiy (Wahyu Nabi Muhammad), Yusr al-Islam wa Usul al-Tashri‘ al-‘Am (Kemudahan Islam dan Prinsip-prinsip Umum dalam Syari’at), al-Khilafah wa al-Imamah al-‘Uzma (Khalifah dan Imam-Imam yang Besar), Muhawarah al-Muslih wa al-Muqallid (Dialog Antara Kaum Pembaharu dan Konservatif), Zikra al-Maulid al-Nabawiy (Memperingati Hari Kelahiran Nabi Muhammad), dan Haquq al-Mar’ah al-Salihah (Hak-hak Wanita Muslim).
Setelah mendarmabaktikan hidupnya selama puluhan tahun demi tercerahkannya kaum muslimin, Rasyid Ridha akhirnya wafat pada tahun 1354 H/ 1935 M. Ia wafat secara mendadak dengan penyebab yang misterius di dalam mobil yang membawanya pulang dari Suez ke Kairo. Ia dimakamkan Kairo, Mesir, bersebelahan dengan makam gurunya, Muhammad Abduh.• [ba; dari berbagai sumber]
Sumber: Majalah SM Edisi 23 Tahun 2015