Ayat Allah dan Ayat Cinta dalam Keluarga

Ayat Allah dan Ayat Cinta dalam Keluarga

Manusia diciptakan oleh Allah SwT secara berpasang-pasangan, lelaki dan perempuan, agar saling mengenal, berdialog, dan memahami satu sama lain. Namun yang paling mulia di antara umat manusia adalah yang paling bertakwa (Qs al-Hujurat [49]: 13). Manusia juga dianugerahi perasaan cinta dan kasih sayang. Karena itu, menjadi fitrahnya, ia ingin mencintai dan dicintai. Jika kebutuhan mencintai dan dicintai terpenuhi, maka hatinya menjadi tenteram, damai, dan bahagia. Jadi, cinta adalah fitrah sekaligus anugerah. Allah berfirman: “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan terhadap yang diingini, yaitu: wanita, anak-anak, harta yang banyak seperti emas dan perak, kuda pilihan (kendaraan mewah), binatang ternak, dan sawah-ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia. Dan di sisi Allah-lah  tempat kembali yang baik (surga).” (Qs Ali Imran [3]: 14)

Dalam mengaktulisasikan cinta yang suci, Islam memberikan tuntunan dalam memilih pasangan hidup yang ideal. Nabi Saw bersabda: “Perempuan dinikahi itu pada umumnya karena empat hal: hartanya, keturunan atau kedudukan sosialnya, kecantikan (ketampanannya), dan agama (akhlaknya). Karena itu, pilihlah yang memiliki agama, niscaya engkau akan beruntung.” (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Daud dan an-Nasai)

Perempuan atau lelaki tidak ada yang sempurna. Sangat sulit menemukan empat kriteria tersebut ada pada diri seseorang. Dari empat kriteria tersebut, tiga pertama (harta, nasab/status sosial, dan kecantikan) itu bersifat relatif. Sedangkan yang keempat (agama, berakhlak mulia) bersifat tetap dan menjadi penentu tiga yang lainnya. Kaya, bernasab baik/status sosial tinggi, dan cantik/tampan itu bisa berubah. Tetapi jika agama dan akhlaknya baik, maka dapat membuat tiga pertama menjadi baik. Oleh karena itu, jika tiga pertama tidak dimiliki calon pasangan, maka agama (berakhlak mulia) menjadi pilihan dan prioritas utama. Agama (akhlak mulia) menjadi pemandu, penunjuk jalan, dan penghias rumah tangga menuju kebahagiaannya. Kaya harta, status sosial atau nasab, dan kecantikan/ketampanan akan menjadi modal kebahagiaan jika dilandasi ajaran agama.

Pasangan ideal dalam membentuk rumah tangga dan keluarga sakinah (tenteram, rukun dan damai atau bahagia) harus dilandasi kesamaan akidah dan kesatuan sudut pandang, visi, dan tujuan menikah. Keputusan melakukan akad nikah (perjanjian setia sehidup semati dalam ikatan pernikahan) harus dipahami bersama sebagai “mitsaqan ghalidha” atau perjanjian yang maha kuat, tidak boleh dirusak/dibuat mudah lepas hanya karena persoalan sepele. Mitsaqan ghalidha ini disetarakan dengan perjanjian para Nabi dan Rasul dengan Allah SwT. Dalam hal ini Allah berfirman:


“Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (Qs An-Nisa’ [4]: 21)

Secara teologis, membentuk rumah tangga dengan niat suci dan tujuan mulia menuju terwujudnya keluarga sakinah merupakan aktualisasi dari keimanan kepada kemahabesaran Allah SwT. Oleh sebab itu, ayat yang hampir pasti menghiasi undangan resepsi pernikahan adalah:

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (Qs ar-Rum [30]: 21)

Ayat tersebut diawali dan diakhiri dengan penyebutan “ayat-ayat” Allah. Hal ini menunjukkan bahwa berkeluarga bukan semata-mata memadu kasih, menyatukan dua insan  dan dua keluarga yang berbeda, melainkan sebuah komitmen kuat untuk setia dalam ikatan pernikahan sebagai mitsaqan ghalidha dan sekaligus sebagai manifestasi kemahakuasaan Allah dalam mewujudkan keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah (samara). Jadi, keluarga “samara” akan terwujud jika ayat Allah dan ayat cinta dapat dipadukan dalam hidup berumah tangga.

Oleh karena itu, membentuk keluarga “samara” harus dilandasi akidah tauhid yang benar dan kokoh, agar tidak mudah goyah ketika dihantam badai masalah. Akidah tauhid yang benar akan semakin mantap jika keluarga itu selalu taat beribadah kepada Allah. Rumahnya disinari cahaya al-Qur’an, dan diperindah dengan akhlak mulia dalam bermuamalah satu dengan lainnya. Keluarga akan semakin bahagia, jika ditopang sendi perekonomian (rizki) yang halal, baik, dan berkah. Di atas semua itu, kata kunci terbentuknya keluarga bahagia lahir batin adalah komitmen suami dan istri untuk menjadi hamba yang shalih dan shalihah.•

___________________
Muhbib Abdul Wahab, Sekretaris Lembaga Pengembangan Pondok Pesantren Muhammadiyah dan Dosen Pascasarjana FITK UIN Jakarta.

Exit mobile version