Memahami Mertua Schizophrenia

Maaf Seorang Ibu

Ilustrasi kasih ibu

Assalamu’alaikum wr wb. Ibu Emmy yth, saya (36 tahun) ibu dari 2 orang putri (10 tahun dan 5 tahun). Saya memiliki masalah dengan suami dan ibu mertua. Mula-mula kami hidup bahagia, saya bisa merasakan hidup tentram dan damai bersama keluarga kecil saya.

Sebenarnya, pasangan saya adalah suami dan ayah yang baik, taat beragama, bertanggung jawab, dan cerdas. Masalah timbul ketika, setelah suami lulus S2, ia memboyong ibunya untuk tinggal bersama kami. Sifat ibu mertua  aneh dan menyebalkan. Rasanya, tidak ada yang tahan hidup bersamanya. Termasuk ayah mertua yang memilih bercerai dan nikah lagi. Ibu mertua sangat tidak realistis dan tidak pernah menunjukkan rasa syukur. Selalu tidak puas dan mengomel ingin hidup mewah. Lucunya, keinginannya ia tumpahkan pada bapak mertua. Ia juga suka memfitnah  dan mengadu domba teman-teman dekatnya. Bayangkan, Bu saya harus hidup seatap dengan ibu seperti itu.

Sesungguhnya, saya benar-benar menjadi menantu yang baik. Saya selalu sediakan waktu untuk curhat, saya perhatikan kesehatannya juga saya panggilkan guru ngaji. Saya juga rela suami membelikan ibu barang-barang untuk mengisi waktu luang ibu. Meski kebutuhan yang lain masih banyak.

Pernah ibu mertua memfitnah saya, katanya saya selingkuh dengan guru agama anak saya, guru setir bahkan tukang sayur. Saya dibilang perusak rumah tangga orang. Bahkan, ibu bilang saya menjebak guru ngaji anak saya agar saya dinikahi, ia sampaikan hal ini pada istri guru ngaji itu, Bu. Lucunya, hal ini juga disampaikan pada anak-anak saya. Suatu hari, ibu mertua berkunjung ke rumah orangtua saya.

Di rumah, ibu mertua bercerita kalau ia mengidap kanker kandungan. Dugaan suami sih tidak mengarah ke sana.  Setelah saya antar berobat ke rumah sakit, ternyata dirujuk ke Psikiater. Psikiater menyuruh saya membawanya ke RS Jiwa. Di surat rujukan tertulis, “Schizophrenia dengan anxiety, delusi, halusinasi, impulsif. Mohon segera dirawat.”

Tapi, hal ini ternyata terdengar oleh keluarga besar dan mereka marah pada saya. Suami menampar saya di depan anak-anak. Dengan keadaan seperti ini, saya butuh support dari suami, tapi ia lebih sering menyalahkan saya atau mendiamkan saya. Sementara sikap ibu semakin keterlaluan. Saya dianggap “madunya”. Pernah, malam  hari tahu-tahu ia sudah ada di belakang saya, sambil bawa pisau ia menatap tajam pada saya dan berkata “Dasar perempuan penggoda, perempuan perusak.”

Saya takut sekali. Bu, bagaimana caranya agar saya bisa respek dan sayang kembali pada ibu mertua? Setiap melihatnya saya stress, trauma dan benci. Saya ingin ibu dirawat di tempat yang layak agar bisa sembuh. Jazakumullah atas jawabannya. Wassalamu’alaikum wr wb. Yn, di kota X

Wa’alaikum salam wr wb.

Bu Yn yth, ibu mertua memang tak lagi memiliki batas yang jelas antara halusinasi dengan realitas yang ada. Maka di sini, saya sarankan Ibu selalu ingat bahwa beliau memang “sakit” sehingga Ibu tidak memperlakukan standar kelaziman orang normal padanya. Saya juga sepakat bahwa sebaiknya Ibu sekeluarga tidak hidup seatap dengannya.

Kemampuannya memanipulasi keadaan maupun orang-orang di sekitarnya bisa berdampak negatif pada tumbuhkembang anak-anak. Bila Ibu semakin bisa menerima kenyataan bahwa beliau sakit, maka yang Ibu sebut “fitnah”, kini sudah bisa Ibu kategorikan sebagai halusinasi. Lalu, cobalah pahami luka hati yang dideritanya selama ini. Penderita biasanya mempunyai pengalaman psikologis yang menyakitkan dan berlarut-larut. Kalau dia cantik, biasa dikagumi lelaki, lalu ia mendapat suami yang tidak sesuai harapan, maka ia mempunyai kebutuhan yang kuat untuk mengatakan bahwa ia tetap cantik, berapapun usianya.

Tidak ada kata sungkan, empati atau peduli pada dirinya, karena sifat kekanakannya membuatnya sukar mengimbangi persepsi orang tentang dirinya. Ia akan berusaha agar lingkungan memperhatikan dirinya. Kasihan, ya. Selanjutnya, mari coba pahami mengapa suami bertindak seperti itu. Cobalah sejenak berpikir dan merasakan bagaimana bila ibu ada di posisinya? Ibu yang dicintainya, ternyata semakin lama semakin mengerikan hubungan realita dan lingkungannya. Pastilah suami sedih dan tetap berada di periode penyangkalan bahwa ibunya penderita schizophrenia. Ayo sekarang lebih kuat! Ingat saja bahwa mertua sedang sakit. Jika ia minum obat dan mendapat perawatan yang teratur, ia akan kembali menjadi sosok yang baik dan peduli.

Jangan membuat suami makin terpuruk ketika diminta melihat ibunya dengan realistis. Agar periode penyangkalan ini berubah menjadi penerimaan. Tumbuhkan rasa kepercayaan suami bahwa Ibu mau mendampingi suami untuk menyembuhkan sang ibu. Sementara, saat mertua bersama Anda, usahakan agar Ibu tetap bisa mengendalikan emosi dengan mengingat bahwa mertua sedang sakit. Yakinlah, apapun yang kita lakukan dalam bentuk kebaikan, akan Allah kembalikan kepada kita dengan berlipat ganda. Semoga Allah meridhai. Amiin.•


Emmy Wahyuni, Spsi. seorang pa­kar psikologi.

Exit mobile version