Reaksi Kaum Madyan
Setelah diberi nasihat panjang lebar oleh Nabi Syu’aib as, mulai dari hal yang paling mendasar yaitu agar mereka hanya menyembah Allah SwT semata, tidak mengganggu dan menghalangi orang-orang yang akan menerima seruan Syu’aib, sampai mengingatkan mereka untuk menghentikan perbuatan curang dalam berbisnis; apakah nasihat-nasihat Syu’aib mereka dengar dan patuhi? Ternyata tidak, bahkan mereka menolaknya dengan sombong. Dalam hal ini Allah SwT berfirman:
”Pemuka-pemuka dari kaum Syu’aib yang menyombongkan diri berkata: “Sesungguhnya kami akan mengusir kamu hai Syu’aib dan orang-orang yang beriman bersamamu dari kota kami, atau kamu kembali kepada agama kami…” (Qs Al-A’raf [7]:88)
Memang apabila diperhatikan dalam sejarah perjuangan para nabi dan rasul, golongan yang paling cepat dan paling di depan menentang adalah kaum elite yang oleh Al-Qur’an disebut al-mala-u yaitu golongan atas, orang-orang yang terkemuka dan terpandang. Ada yang terpandang karena kekuasaannya, ada yang karena kekayaannya, dan ada juga karena keahliannya berperang. Mulai dari zaman Nabi Nuh sampai zaman Nabi Muhammad saw golongan elite inilah yang paling di depan menentang dakwah para rasul. Barangkali penyebab utamanya karena mereka khawatir kehilangan pengaruh dan hak-hak istimewa di tengah masyarakat yang biasanya mereka dapatkan dengan cara yang tidak benar. Kekuasaan dan juga kekayaan menyebabkan mereka lupa diri dan sombong.
Demikian jugalah dengan kaum elite di zaman Nabi Syu’aib ini. Mereka tidak hanya menolak dakwah Syu’aib tapi juga mengancamnya dan memberikan dua pilihan sulit. Pertama, Syu’aib dan semua pengikutnya yang beriman pergi meninggalkan negeri Madyan. Atau kedua, kembali kepada agama semula yang dianut penduduk Madyan.
Untuk pilihan yang kedua, barangkali ada yang bertanya, apakah Syu’aib sebelumnya memang memeluk agama mereka? Kalau tidak, mengapa disuruh kembali? Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azharnya (IX:9) menjawab tegas tentu saja Syu’aib tidak memeluk agama mereka. Tetapi karena sejak kecil Syu’aib berada bersama kaumnya maka dia dianggap saja oleh kaumnya bagian dari mereka, termasuk dalam masalah agama. Padahal Syu’aib, sebagaimana juga seluruh nabi-nabi dipelihara oleh Allah SwT sejak kecil dari penyembahan selain Allah SwT. Setelah beliau diangkat jadi Nabi dan menyatakan penentangannya terhadap agama kaumnya, barulah mereka menuduh Syu’aib telah meninggalkan agama kaumnya.
Kembali kepada ancaman para pembesar kaumnya, Syu’aib tentu saja menolak tunduk kepada tekanan mereka. Allah SwT berfirman menceritakan jawaban Syu’aib:
”Berkata Syu’aib: “Dan apakah (kamu akan mengusir kami), kendatipun kami tidak menyukainya?” …(Qs Al-A’raf [7]: 88)
Jawaban dalam bentuk pertanyaan Syu’aib hanya menegaskan saja, bahwa jika memang tidak ada pilihan kecuali harus meninggalkan tanah air yang dicintai, maka demi membela keyakinannya tentu Syu’aib dan para pengikutnya yang beriman akan pergi meninggalkan negerinya. Sekalipun tentu sangat berat meninggalkan tanah tumpah darah sendiri, tetapi demi mempertahankan agama yang diyakini, jalan itu harus ditempuh. Sebab tidak mungkin Syu’aib memilih pilihan yang kedua, mengikuti agama penduduk Madyan yang durhaka. Sebab jika itu yang dipilih berarti Syu’aib mengingkari hati nurani dan kebenaran yang telah diberikan Allah kepadanya. Lebih lanjut Allah SwT berfirman menjelaskan sikap Syu’aib.
”Sungguh kami mengada-adakan kebohongan yang besar terhadap Allah, jika kami kembali kepada agamamu, sesudah Allah melepaskan kami dari padanya. Dan tidaklah patut kami kembali kepadanya, kecuali jika Allah, Tuhan kami menghendaki(nya). Pengetahuan Tuhan kami meliputi segala sesuatu. Kepada Allah sajalah kami bertawakkal. Ya Tuhan kami, berilah keputusan antara kami dan kaum kami dengan hak (adil) dan Engkaulah pemberi Keputusan yang sebaik-baiknya.” (Qs. Al-A’raf [7]:89)
Ayat di atas menjelaskan tiga hal: Pertama, pendirian tegas Syu’aib, bahwa setelah mereka mendapatkan hidayah dari Allah SwT mengikuti agama yang benar, agama yang sesuai dengan hati nurani dan akal sehat mereka, tentu tidak mungkin mereka akan meninggalkannya kembali, sekalipun dipaksa; Kedua, Syu’aib menyerahkan nasibnya dan para pengikutnya sepenuhnya kepada Allah SwT. Kepada-Nya lah mereka bertawakkal, apapun yang akan terjadi, terjadilah. Mau dibunuh, bunuhlah. Mau diusir, usirlah. Tidak ada satu kekuatanpun yang bisa memaksanya untuk meninggalkan keyakinan yang telah tertanam kuat dalam hatinya; Ketiga, setelah bertawakkal, Syu’aib berdoa kepada Allah, supaya Allah SwT sendiri yang memutuskannya.
Nabi Syu’aib tentu tidak dapat memilih salah satu dari dua pilihan sulit yang diancamkan penguasa kaumnya itu. Syu’aib tidak mau diusir dari negerinya dan juga tidak mau mengikuti agama kaumnya. Oleh sebab itu Syu’aib menyerahkan keputusannya kepada Allah SwT. Apakah Allah akan memerintahkannya untuk pergi meninggalkan negerinya bersama semua pengikutnya yang beriman, atau dia bertahan dengan risiko tentu akan mendapat siksaan dan bahkan dibunuh.
Melihat pendirian yang kokoh dari Syu’aib, para pembesar Madyan mencoba membujuk pengikut Syu’aib. Allah SwT berfirman:
”Pemuka-pemuka kaum Syu’aib yang kafir berkata (kepada sesamanya): “Sesungguhnya jika kamu mengikuti Syu’aib, tentu kamu jika berbuat demikian (menjadi) orang-orang yang merugi,” (Qs. Al-A’raf [7]: 90).
Gagal mengancam Syu’aib, mereka beralih kepada para pengikutnya. Menakut-nakuti mereka, bahwa tidak ada untungnya tetap mengikuti Syu’aib. Justru mereka akan rugi sendiri. Jika mereka tidak mau menyembah berhala, sementara para pembesar dan masyarakat banyak menyembahnya, mereka akan tersisih dan terkucil. Jika mereka tetap berlaku jujur dalam berbisnis, tidak mau mengikuti arus, mereka tidak akan mendapatkan keuntungan besar.
Begitulah kalau hati sudah tertutup oleh keserakahan, tidak dapat lagi melihat kebenaran. Segala cara dihalalkan untuk mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya, nilai-nilai sudah jungkir balik. Orang-orang kaya sekalipun didapat dengan menipu dipuji-puji, dianggap hebat, sementara orang-orang yang mempertahankan nilai-nilai baik, berbisnis dengan jujur, malah dianggap merugi, dianggap bodoh. Penyakit itulah yang menimpa kaum Madyan.
Akhirnya Allah SwT mengeluarkan keputusannya. Syu’aib diperintahkan untuk meninggalkan negerinya bersama dengan seluruh pengikutnya yang beriman. Kemudian Allah menurunkan azabnya, mereka dihancurkan oleh Allah SwT dengan mendatangkan gempa dan suara dentuman yang keras, semua penduduk Madyan yang durhaka itu mati tanpa bekas, seolah-olah mereka tidak pernah ada di permukaan bumi ini. Allah SwT berfirman:
”Kemudian mereka ditimpa gempa, maka jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan di dalam rumah-rumah mereka, (yaitu) orang-orang yang mendustakan Syu’aib seolah-olah mereka belum pernah berdiam di kota itu; orang-orang yang mendustakan Syu’aib mereka itulah orang-orang yang merugi,” (Qs. Al-A’raf [7]: 91-92)
Begitu dahsyatnya gempa yang menimpa mereka, sehingga tidak ada yang tersisa. Semua hancur. Menurut bahasa ayat di atas, seolah-olah mereka belum pernah berdiam di kota itu. Sekarang jelaslah siapa yang sebenarnya merugi. Tadi dengan sombongnya para pemuka Madyan mengatakan kepada para pengikut Syu’aib bahwa mereka adalah orang-orang yang merugi, tapi setelah Allah SwT mengeluarkan keputusan-Nya, justru para pendusta Syu’aib itulah orang-orang yang merugi.
Betapa sedih Syu’aib menyaksikan kehancuran kaum Madyan, padahal dengan penuh cinta dia sudah menasihati mereka dan sudah mengingatkan kalau mereka tetap durhaka azab Allah akan datang. Mereka tidak mau belajar dari azab Allah yang menimpa kaum Luth, yang baik waktu maupun tempatnya tidak jauh dari mereka. Allah SwT menggambarkan kesedihan Syu’aib tersebut dalam ayat berikut:
”Maka Syu’aib meninggalkan mereka seraya berkata: ‘Hai kaumku, sesungguhnya aku telah menyampaikan kepadamu amanat-amanat Tuhanku dan aku telah memberi nasihat kepadamu. Maka bagaimana aku akan bersedih hati terhadap orang-orang yang kafir?’” (Qs Al-A’raf [7]: 93)
Demikianlah kisah Nabi Syu’aib as dan kaumnya, semoga kita bisa mendapatkan pelajaran darinya.•
___________________
Prof Dr Yunahar Ilyas, Ketua PP Muhammadiyah