Cara Menghadapi Ayah yang Tidak Bertanggung Jawab kepada Keluarga

Cara Menghadapi Ayah yang Tidak Bertanggung Jawab kepada Keluarga

Pertanyaan:
Assalamu’alaikum wr wb.
Perkenalkan nama saya Srikandi. Dalam hal ini saya ingin bertanya: Bagaimana cara saya membuat bapak saya sadar atas kesalahan yang sudah dia perbuat? Hal ini karena saya dan ibu sudah berbicara secara halus dan sampai saya harus berbicara kasar kepada bapak. Ibu dan saya sebenarnya tidak setuju bapak nikah lagi karena bapak telah melakukan perselingkuhan terlebih dahulu, seandainya bapak tidak selingkuh dan berbicara baik-baik dengan ibu sekeluarga, maka tidak akan terjadi perselisihan. Permasalahan yang kedua adalah bapak telah kehabisan uang tabungannya karena wanita lain itu, sampai dia harus mempunyai utang lagi sekitar 80 juta tanpa sepengetahuan ibu juga, dan hutang-hutang yang lain juga. Pada tanggal 22 Pebruari 2015 kemarin, ibu dan saya meminta semua  buku rekening dan atm bapak, tetapi bapak tidak mau memberikan kepada kami, sampai ibu mengemis buku tabungan tetap tidak mau menunjukkannya. Padahal uang tabungan itu dibuat untuk pembayaran haji tahun depan.

Bagaimana caranya, mohon berikan kami solusi atas permasalahan kami? Sebab untuk saat ini, bapak kami seperti orang lain bagi kami, berbeda dengan bapak yang saya kenal dulu saat keluarga kami belum punya apa apa. Demikian kami sampaikan terima kasih atas nasihat.
Srikandi (nama samaran),
di some where
(disidangkan pada hari Jum’at, 3 Muharram 1437 H / 9 Oktober 2015 M)

Jawaban:
Wa ‘alaikumussalam wr. wb.
Saudari Srikandi yang semoga dirahmati Allah SwT, sebelumnya kami ikut berempati terhadap apa yang saudari dan ibu alami. Semoga saudari dan ibu diberikan kesabaran dan jalan keluar yang terbaik. Berikut ini jawaban dari pertanyaan yang saudari ajukan kepada kami.

Ayah adalah kepala rumah tangga, pemimpin dalam keluarga, tulang punggung sekaligus orang yang harus bertanggung jawab terhadap keluarganya baik secara material maupun immaterial (lahir dan batin). Oleh karena itu, sepantasnya seorang pemimpin keluarga dapat menjadi contoh dan teladan bagi isteri dan anak-anaknya. Seorang isteri juga memiliki tanggung jawab untuk menjaga, mengasuh dan merawat keluarganya, termasuk mengurus kebutuhan domestik keluarganya. Terkait dengan tanggung jawab atau hak dan kewajiban ini banyak dijumpai baik dalam al-Qur’an maupun Hadits Nabi saw., baik secara tersirat maupun tersurat. Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Indonesia Pasal 77, telah dirumuskan tentang hak dan kewajiban suami isteri sebagai berikut:
1. Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.
2. Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain.
3. Suami isteri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, ruhani maupun kecerdasan dan pendidikan agamanya.
4. Suami isteri wajib memelihara kehormatannya.
5. Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan agama.

Orangtua terlebih lagi ayah seharusnya dapat menjadi pengayom dan pelindung keluarganya. Itulah salah satu alasan mengapa ayah dianggap sebagai pemimpin dalam rumah tangganya sebagaimana dijelaskan dalam Hadits Nabi saw:

Dari Ibnu Umar dari Nabi saw (diriwayatkan) bahwa beliau bersabda: Ketahuilah, setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang pemimpin yang memimpin orang lain (rakyatnya) akan bertanggung jawab atas yang dipimpinnya, seorang laki-laki adalah pemimpin atas keluarganya, dan dia bertanggung jawab atas mereka semua, seorang wanita juga pemimpin atas rumah suaminya dan anak-anaknya, dan dia bertanggung jawab atas mereka semua, seorang budak adalah pemimpin atas harta tuannya, dan dia bertanggung jawab atas harta tersebut. Setiap kalian adalah pemimpin dan akan bertanggung jawab atas kepemimpinannya. (HR Muslim)

 

Namun jika ayah tidak menunaikan kewajibannya itu, terlebih lagi menelantarkan dan tidak memberikan nafkah yang sepantasnya kepada isteri dan anak-anaknya, tentu merupakan tindakan yang tidak bertanggung jawab dan telah melakukan kesalahan yang fatal. Terlebih lagi jika melakukan kekerasan baik secara fisik maupun non fisik. Seperti berkata kasar, menghardik, tidak memberikan nafkah, bahkan melakukan perselingkuhan dengan wanita lain, sungguh merupakan tindakan dan perilaku yang sangat tercela dan dimurkai oleh Allah SwT dan Rasulullah saw. Karena sudah seharusnya seorang ayah bisa menjadi pelindung sekaligus teladan bagi keluarganya, sebagaimana Hadits Nabi saw.;

“Dari Ibnu Abbas dari Nabi saw., (diriwayatkan bahwa) beliau bersabda: “Orang yang paling baik di antara kalian adalah orang yang paling baik terhadap keluarganya (isterinya), dan aku adalah orang yang paling baik terhadap keluargaku (isteriku)” [HR. Ibnu Majah].
Oleh sebab itu, jika kepala rumah tangga (suami/ayah) tega menelantarkan keluarga, melakukan kekerasan dan tidak memberi nafkah kepada keluarganya, dapat menjadi faktor kebolehan seorang isteri untuk menggugat cerai suaminya. Namun tentu harus difahami bahwa, jika masih ada cara lain yang lebih baik untuk menyelamatkan bahtera rumah tangga, maka solusi itu harus dilakukan daripada memilih perceraian. Tetapi jika sebaliknya, maka perceraian dapat menjadi jalan keluar yang terakhir. Terlebih lagi jika salah satu pihak telah terbukti melakukan perselingkuhan apalagi sampai melakukan perzinaan. Dalam hukum Islam, orang yang telah menikah yang melakukan perzinaan (baik laki-laki maupun perempuan) disebut zina muhshan yang hukumannya adalah hukuman rajam sampai mati, sebagaimana dijelaskan dalam beberapa Hadits Nabi saw sebagai berikut:


“Dari Ibnu Abbas (diriwayatkan bahwa) ia berkata, Umar bin al-Khaththab berkata; Aku khawatir setelah lama masa berlalu, hingga seseorang berkata: Tidak aku temukan hukum rajam di dalam kitabullah (Al-Qur’an), hingga mereka akan sesat karena meninggalkan salah satu dari syari’at Allah. Ingatlah! Sesungguhnya hukum rajam benar adanya, apabila seorang laki-laki telah muhshan (sudah menikah), dan ada bukti kuat (bahwa ia telah berzina, atau wanita yang bersangkutan hamil, atau adanya pengakuan, maka aku membaca, Laki-laki dan wanita dewasa (sudah menikah) apabila keduanya berzina, maka rajamlah mereka berdua. Rasulullah saw. melakukan hukum rajam dan kami pun melaksanakannya sepeninggal beliau.” (HR Ibnu Majah dan Ahmad)

Jika apa yang saudari sampaikan itu benar, maka apa yang dilakukan oleh bapak saudari, di samping telah melakukan penyimpangan yang sangat jauh dan serius, juga dalam agama telah melakukan dosa besar berupa perselingkuhan (perzinaan) yang jika berada di negara yang menerapkan hukum Islam maka ia terkena hukuman rajam sampai mati. Namun demikian, sebagai seorang anak, sejelek apapun orangtua ia harus tetap berusaha untuk mengingatkan, dan mengubah perilaku jeleknya dengan berbagai upaya yang bisa dilakukan, asal dilakukan dengan cara yang baik (hikmah) dan santun. Sekaligus untuk menjawab pertanyaan saudari tentang upaya yang harus dilakukan untuk membuat bapak saudari menjadi sadar, maka dapat disampaikan beberapa hal sebagai berikut:
1. Mencegahnya untuk tidak melakukan kesalahan dengan berbagai upaya yang bisa dilakukan, sebagaimana perintah Nabi saw.

Dari Thariq bin Syihab (diriwayatkan bahwa) … saya pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda: Barangsiapa di antara kamu melihat kemungkaran hendaklah ia mencegahnya dengan tangannya (kekuasaannya). jika tidak mampu, maka hendaklah mencegahnya dengan lisan (nasihat/teguran), dan jika tidak mampu, maka hendaklah ia mencegahnya dengan hatinya (dengan doa), dan itulah selemah-lemahnya iman.” (HR Muslim)
2. Mengajak dialog dan menasihati­nya dengan cara yang bijak dan tidak menyinggung perasaannya, misalnya dengan memilih kata-kata yang baik, berdua sehingga tidak terkesan merasa dihakimi serta mengantisipasi terjadinya emosi.
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah (bijaksana) dan pengajaran yang baik, dan berdebat (berdialog) lah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.” (Qs An-Nahl [16]: 125)
3. Meminta bantuan keluarga terutama keluarga dekat atau pihak tertentu yang disegani oleh ayah untuk memberikan nasihat dan menyadarkan dari kebiasaan buruknya.

Dan jika kamu khawatir terjadi persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang juru damai dari keluarga laki-laki dan seorang juru damai dari keluarga perempuan. Jika keduanya (juru damai itu) bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha teliti.” (Qs An-Nisa’ [4]: 35)

4. Tak henti-hentinya untuk mendoakan ayah agar diberikan hidayah oleh Allah SwT. dan keluarga mendapatkan solusi yang terbaik.
5. Jika berbagai usaha telah dilakukan dan pihak ayah tetap melakukan kesalahan fatal seperti kekerasan dan tidak memberikan nafkah serta menelantarkan keluarganya, maka pihak isteri (ibu saudari) dapat melakukan gugatan cerai sebagai langkah terakhir.

Demikianlah jawaban yang dapat kami berikan atas pertanyaan saudari, semoga Allah SwT. memberikan jalan keluar yang terbaik dan memberikan hidayah kepada ayah saudari untuk bisa menjadi kepala rumah tangga yang baik serta menjadi teladan bagi keluarganya.

Wallahu a’lam bish-shawab.•

———————–

Divisi Fatwa Majelis Tar­jih dan Tajdid Pimpin­an Pusat Muhammadiyah.

Exit mobile version