Prof Dr Sunyoto Usman: Agama Juga Bisa Meniadakan Konflik

Prof Dr Sunyoto Usman: Agama Juga Bisa Meniadakan Konflik

Konflik sering terjadi di Indonesia, dengan berbagai latar belakangnya. Tetapi sering konflik-konflik yang terjadi ditarik-tarik sebagai suatu konflik agama. Akibatnya hubungan umat beragama menjadi sering ternodai, seolah-olah agama hanya sebagai sumber konflik. Lalu dapatkah Agama dipakai untuk meniadakan konflik.

Untuk membahas hal ini, Lutfi Effendi dari Suara Muhammadiyah mewawancarai Prof Dr Sunyoto Usman (Guru Besar Sosiologi Universitas Gadjah Mada). Ia mengatakan, sangat mungkin agama dijadikan upaya meniadakan konflik meskipun ada beberapa syarat yang harus dipenuhi. Lebih jauh simak dalam dialog berikut ini:

Beberapa konflik terjadi di Indonesia, banyak aspek di dalamnya, tetapi seolah-olah konflik agama lah yang mendominasi (menjadi arus utama) di dalamnya. Kenapa hal ini terjadi?

Itu memang ada sejarahnya di Indonesia, terutama terkait dengan agama sebagai instrumen (alat) politik. Dalam hal ini, konflik sebetulnya adalah masalah kekuasaan tetapi seolah-olah agama sebagai sumber konflik.
Masalah-masalah ini banyak muncul setiap menjelang pemilihan, terutama pemilihan kepala daerah. Sentimen agama dipakai sebagai penyulut terjadinya konflik di masyarakat. Dengan terbelahnya masyarakat karena konflik ini, kekuasaan lebih mudah masuk untuk mempengaruhinya.

Kenapa hal ini terjadi?
Masalah agama adalah sesuatu yang peka. Tidak hanya beda agama, beda aliran atau sekte dalam agama yang sama pun dapat menyulut konflik antar mereka.
Sentimen inilah yang dipakai oleh partai-partai politik untuk mendapatkan suara dan simpati masyarakat tersebut. Mereka mengidentifikasi diri seolah-olah ideologi mereka sama dengan ideologi masyarakat bersangkutan.
Perbedaan tersebut sebetulnya dipicu perbedaan pemahaman terhadap doktrin. Agamanya sama, kitabnya sama, tetapi pemahaman terhadapnya bisa berbeda. Perbedaan inilah yang sering memicu terjadinya konflik.
Hal ini sebetulnya hal yang wajar, perbedaan pemahaman adalah biasa. Tetapi perbedaan yang demikian ini sering dibesar-besarkan. Inilah yang menjadikan konflik. Apalagi jika sampai dipakai sebagai instrumen (alat) oleh kepentingan lain. Maka konflik menjadi besar dan seolah-olah konflik agamalah yang terjadi.
Lebih-lebih jika dipengaruhi ideologi global, konflik agama ini akan semakin menjadi-jadi. Tidak hanya pada tataran politik, konflik terjadi masuk ranah ekonomi.

Maksud ideologi global?
Misalnya, masuknya paham kapitalisme. Mereka datang tak hanya membawa isme, tetapi juga membawa modal ke Indonesia. Tentu saja harus membawa keuntungan bagi mereka, dan biasanya membawa dampak negatif bagi rakyat kecil.
Jika kedatangan mereka menguntungkan pihak yang satu dan merugikan pihak yang lain, maka jelas akan terjadi gejolak. Akan terjadi konflik. Bisa saja yang semula konflik ekonomi tetapi juga ada warna agama.
Bahkan secara nyaring, kelompok agama tertentu langsung menyerang kapitalisme. Mereka bersuara kuat atas nama agama dan menolak kapitalisme.

Bagaimana mengatasi konflik yang demikian?
Pemerintah sebenarnya sudah mempunyai alat atau instrument untuk melakukan ini. Hanya saja sering kurang peka dan tak efektif dalam melakukannya, sehingga seringkali konflik terjadi baru ada reaksi dari pemerintah.

Lalu dapatkah agama sebagai perekat, agar konflik tak terjadi, minimal terkurangi?
Bisa tetapi ada beberapa syarat yang harus dilakukan. Paling tidak ada tiga syarat, pertama adanya ideologi yang jelas yang mengikat semuanya, kedua adanya saling ketergantungan ekonomi antar kelompok dan ketiga perlunya afiliasi silang antar kelompok.
Untuk yang pertama, sebetulnya Indonesia sudah ada Pancasila sebagai ideologi pengikat Ini merupakan modal pertama bagi terjadinya konflik, terlebih konflik yang didasari ideologi. Meski belum semua rela adanya ideologi Pancasila ini dan kadang mereka teriak-teriak, tetapi ini sudah merupakan modal pertama. Tinggal bagaimana mengefektifkan.
Untuk yang kedua, jangan ada kesan ekonomi dikuasai oleh kelompok tertentu. Antara kelompok yang satu dengan yang lain harus saling tergantung di dalamnya. Untuk masalah ekonomi ini, nampaknya masih perlu ada pembenahan. Saat ini, secara nasional, penguasaan ekonomi masih dikuasai kelompok tertentu. Dan di beberapa daerah sering hal ini menjadi bibit sebuah konflik.
Konflik lokal, sering terjadi karena kecemburuan ekonomi. Ini tentu masih menjadi pekerjaan rumah jika ingin konflik-konflik di daerah tertentu dapat dikurangi apalagi ditiadakan sama sekali.
Sedangkan yang ketiga, dengan mengurangi kelompok-kelompok yang anggota eksklusif (terbatas dan kelompok tertentu). Kalau tidak itu, saling silaturahmi antar kelompok juga akan mengurangi adanya konflik.
Misalnya adanya Kerukunan Kelompok Umat Beragama seperti yang terjadi di Yogya, atau di beberapa daerah adanya Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) ini akan meredam konflik. Forum semacam ini perlu diefektifkan jika tak ingin konflik meluas.
Saya lihat Muhammadiyah dengan segala aktivitasnya sudah mengarah ke sini. Tinggal bagaimana organisasi Islam yang lain bisa melakukannya sebagaimana Muhammadiyah lakukan. Ini merupakan sumbangan bagi pencegahan konflik.

Maksud Muhammadiyah melakukan aktivitas ke arah resolusi konflik bagaimana?
Muhammadiyah dalam gerakannya selama ini, kan sudah bekerja di bidang pendidikan, kesehatan dan sosial. Dan ini sudah ada di jalur yang benar,
Dalam hal pendidikan, misalnya, Muhammadiyah tidak memilih-milih kelompok mana yang harus dididik. Dari kelompok Islam lain yang tradisionil seperti NU juga diterima di sekolah Muhammadiyah. Bahkan dari kelompok agama lain pun, Muhammadiyah juga menerima mereka untuk dididik di amal usaha pendidikan yang dimilikinya.
Misalnya, di sekolah-sekolah di Indonesia Timur, seperti Nusa Tenggara Timur dan Papua. Perguruan Tinggi yang dikelola Muhammadiyah mayoritasnya adalah mahasiswa non Muslim. Enam puluh persen mahasiswa Universitas Muhammadiyah Kupang non Muslim.
Demikian pula dalam hal pelayanan kesehatan juga tidak memilih-milih pasien, harus kelompok tertentu yang ditolong. Semuanya diterima. Demikian pula dalam hal pelayanan sosial, seperti pada saat terjadinya bencana. Muhammadiyah juga tidak membeda-bedakan seseorang atau kelompok untuk menolongnya.• (lut)

Exit mobile version