Ketika dakwah Islam berkembang pesat di Makkah dan Nabi Muhammad tetap kukuh menyebarkan Islam meski telah ditawari harta, wanita dan tahta, maka kaum Kafir Quraisy mulai gelisah. Tokoh-tokoh kafir Quraisy berpikir lagi, bagaimana cara menghentikan dakwah nabi Muhammad? Akhirnya mereka menemukan suatu cara yaitu dengan cara toleransi beragama.
Ibnu Ishaq meriwayatkan, dia berkata, “Pada satu ketika datang orang-orang Quraisy kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam yang saat itu sedang thawaf di sekitar Ka’bah, di antara mereka adalah al-Aswwad bin al-Muthallib bin Asad bin Abdul Uzza, al-Walid bin Mughirah, Umayyah bin Khalaf dan al-Ash bin Wa’il as-Sahmi, mereka semua termasuk sesepuh dari kaumnya, mereka berkata, ‘Wahai Muhammad, bagaimana kalau kita bekerja sama dalam ibadah kita. Kami akan menyembah apa yang engkau sembah, tetapi engkau harus menyembah apa yang kami sembah. Jika yang engkau sembah lebih baik, kami akan menyembah Tuhanmu, tetapi jika yang kami sembah ternyata lebih baik maka engkau harus menyembah tuhan kami. Lalu turunlah firman Allah subhanahu wata’ala:
Katakanlah: “Hai orang-orang yang kafir, Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu, dan untukkulah, agamaku”.
Selain sebagai penolakan untuk melakukan penyembahan bersama, surat ini sebetulnya membedakan ibadah orang Islam dengan ibadah non Islam dan tak boleh dicampur. Untuk membedakan antara yang satu dengan yang lain adalah; pertama, apa yang disembah? atau apa yang diibadahi? kedua, bagaimana cara penyembahannya? atau bagaimana cara beribadah?
Bagi orang Islam, apa yang diibadahi hanyalah Allah (lihat juga surat Al-Fatihah ayat 5). Sedangkan cara beribadah (mahdlah) sesuai dengan yang dicontohkan/diperintahkan Rasululullah Muhammad saw. Dua hal ini bagaikan dua sisi dalam mata uang, jika tidak ada salah satunya maka tidak akan bernilai sebagai ibadah yang benar menurut Islam.
Sebagai contoh, jika seseorang melakukan gerakan shalat tetapi tujuannya bukan Allah (sebagai gerakan olah raga misalnya), maka tentu bukan ibadah menurut Islam. Demikian juga jika tujuannya Allah tetapi gerakan shalatnya seperti orang push-up, misalnya, tentu juga bukan ibadah menurut Islam. Maka shalat yang benar menurut Islam adalah jika tujuannya Allah dan gerakan dan bacaannya sesuai yang diajarkan Rasulullah Muhammad.
Demikian pula dengan puasa, tujuan puasa dan caranya juga harus benar. Tujuan puasa Allah dan caranya sebagaimana Nabi ajarkan. Dua hal ini harus sesuai, jika salah satunya nggak sesuai jelas bukan ajaran Islam, apalagi dua-duanya.
Dalam kaitannya kasus Nabi tawaf di depan Kakbah di atas, orang-orang Kafir Quraisy pun melakukannya. Berbeda yang dilakukan Nabi tawaf dalam rangka beribadah kepada Allah tetapi orang kafir Quraisy melakukan untuk menyembah berhala-berhala mereka yang ada di sekitar Kakbah. Maka ketika pilihan berbeda, lakum diinukum waliya diin.
Lalu bagaimana jika suatu peribadatan tujuannya Allah, tetapi cara-caranya bukan sesuai tuntunan Allah dan Rasulnya. Tentu saja hal yang demikian tidaklah benar, apalagi caranya membuat sendiri.
Misalnya, ada sesorang yakin terhadap Allah, tetapi kemudian cara beribadahnya mengarang sendiri atau menambah-bambah sendiri yang sudah ada. Orang yang demikian, bisa jadi adalah seseorang yang digambarkan Allah dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 13:
“Apabila dikatakan kepada mereka “Berimanlah kamu sebagaimana orang-orang lain telah beriman”. Mereka menjawab:”Akan berimankah kami sebagaimana orang-orang yang bodoh itu telah beriman?” Ingatlah, sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh, tetapi mereka tidak tahu. (Qs Al-Baqarah ayat 13). Wallahua’lam bisshawab.• (Lutfi Effendi)