Peristiwanya terjadi di Palembang, di Ulak Paceh. Ketika Pak AR ditugaskan di sana, ada seorang ulama yang sangat dikenal dan sangat dihormati di desa itu. Sayang ulama itu sangat benci dengan Muhammadiyah. Pada masa itu Muhammadiyah masih termasuk baru. Mungkin beliau itu sudah terpengaruh isu-isu buruk yang ditujukan kepada Muhammadiyah. Karena itu setiap orang Muhammadiyah selalu disikapi secara sinis. Apalagi Pak AR orang baru, datang dari Jawa (Yogyakarta) dan langsung bertugas di sekolah Muhammadiyah. Karena itu Pak AR juga selalu disikapi dengan acuh, dingin dan kadang-kadang masam. Kebetulan, kalau Pak AR mau mengajar selalu lewat di depan rumahnya.
Sebagai orang muda (pada waktu itu masih sekitar 18 tahun) kalau ulama itu ada di depan rumahnya selalu diberi salam. Akan tetapi salam itu selalu tidak dijawab dan disikapi dengan dingin dan acuh. Meskipun demikian, Pak AR tidak pernah bosan. Setiap ketemu selalu memberi salam. Lama-lama ulama itu mau menjawab walaupun tidak lengkap. Misalnya ketika diberi salam “Assalaamu’alaikum” beliau hanya menjawab “salam” atau “lam”. Dan Pak AR terus saja, setiap ketemu selalu memberi salam.
Akhirnya, pada suatu hari ulama itu menjawab salam dengan lengkap “Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakaatuh” disertai senyum manis. Karena jawabannya lengkap Pak AR berhenti dan menjabat tangan ulama itu sambil tersenyum. Di luar dugaan pembicaraan menjadi panjang dan pada akhirnya ulama itu bertanya ; “Apa Guru ini orang Muhammadiyah” (Pak AR di Ulak Paceh biasa dipanggil guru). Jawab Pak AR ; “Ya, saya orang Muhammadiyah. Dulu belajar di Darul Ulum Muhammadiyah Yogya” “Jadi Guru ini benar-benar orang Muhammadiyah?” tanya ulama itu lagi sambil menatap dengan tajam. “Ya, saya orang Muhammadiyah” kata Pak AR. “Lho kok baik” kata ulama itu.
Pak AR tersenyum sambil bertanya ; “Apa orang Muhammadiyah itu jelek? Kata siapa ?” Jawab ulama itu ; “Ya kata orang-orang, Muhammadiyah itu Wahabi, suka mengubah agama dan suka mengkafirkan orang lain” kata ulama itu. “Lha itu kan kata orang, tetapi sekarang Angku sudah melihat sendiri, saya ini orang Muhammadiyah, bukan hanya kata orang-orang” kata Pak AR. “Iya-ya, kalau begitu orang-orang itu tidak benar” kata ulama itu. “Begitulah” kata Pak AR. “Kalau begitu, begini”; kata ulama itu lebih lanjut. ”Besuk malam Jum’at, Guru saya undang untuk yasinan. “Baik, insya Allah”, kata Pak AR, meskipun beliau merasa bingung juga bagaimana yasinan itu, karena Pak AR tidak pernah diajari yasinan.
Selama beberapa hari, menjelang malam Jum’at Pak AR berpikir keras bagaimana kalau tiba-tiba diminta memimpin yasinan, padahal belum pernah ikut yasinan dan tidak tahu bagimana cara yasinan itu.Namun akhirnya ketemu juga kiat, kalau diminta tampil dalam yasinan itu. Pada malam Jum’at yang dijanjikan berangkatlah Pak AR menghadiri undangan ulama itu. Dan benar juga dugaan beliau, bahwa beliau akan diminta tampil dalam yasinan itu.
Maka ketika kesempatan diberikan pada Pak AR, Pak AR bertanya apakah hadirin sudah sering ikut yasinan? Dijawab oleh mereka serempak : “Sudah Guru”. “Selama ini yasinannya seperti apa?” tanya Pak AR. “Ya, seperti biasa,” jawab mereka. “Jadi bapak-bapak sudah bisa semua, sudah hafal semua?” tanya Pak AR lagi. “Ya, sudah hafal” jawab mereka bersama-sama. “Bagaimana kalau sekarang kita yasinan model baru, supaya bapak-bapak punya pengetahuan lebih luas dan punya pengalaman lain? Setuju ?” tanya Pak AR. “Setuju” jawab mereka serempak.
Kemudian kata Pak AR ; ”Sekarang kita baca Surat Yasin satu ayat demi satu ayat”. Lalu dibacalah ayat pertama, kemudian diminta salah seorang mengartikan. Kalau tidak bisa Pak AR membantu. Setelah selesai diartikan, kemudian oleh Pak AR dijelaskan apa itu Surat Yasin yang sering dibaca itu, kemudian arti dan maksud ayat-ayat itu. Meskipun malam itu hanya memperoleh dua tiga ayat rupanya hadirin cukup puas. Bahkan ada permintaan dapat dilanjutkan pada saat yasinan yang akan datang. Kata Pak AR. “Kalau saya, sebagai orang muda, saya terserah saja pada hadirin sekalian. Tetapi yang paling penting tergantung pada Al Mukarom Angku Ulama, orang tua kita itu”.
Di luar dugaan, ulama itu menyetujuinya. Meskipun demikian Pak AR tidak serta merta minta mengisi setiap malam Jum’at, tetapi supaya berselang-seling. Malam Jum’at, malam gasal yasinan model lama yang mimpin Angku Ulama, dan pada malam Jum’at malam genap yasinan model baru yang ngisi Pak AR. Lama-lama Angku Ulama itu menyerahkan pimpinan yasinan itu kepada Pak AR dan jadilah yasinan itu menjadi pengajian tafsir Al Qur’an. Begitulah, rupanya dulu Pak AR juga sudah melaksanakan dakwah kultural.