Prof Dr Amien Rais MA, adalah Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah hasil Muktamar Banda Aceh periode 1995-2000. Beliau sebelumnya memimpin Muhammadiyah satu tahun meneruskan Kepemimpinan KH Ahmad Azhar Basyir, MA, namun juga tidak selesai memimpin periodenya dan satu tahun sisa diteruskan Buya Syafii Maarif. Sebagai nakhoda Muhammadiyah, Prof Amien melontarkan gagasan Tauhid Sosial dan zakat profesi.
Untuk membahas mengenai gagasan tersebut, Lutfi Effendi dari Suara Muhammadiyah menemui Prof Dr HM Amien Rais di rumahnya. Pemikirannya dapat disimak dalam dialog berikut ini:
Apa gagasan menonjol saat menjadi Ketua PP Muhammadiyah?
Salah satu gagasan keagamaan yang saya kumandangkan waktu saya jadi Ketua PP Muhammadiyah adalah konsep Tauhid Sosial. Menurut saya, tauhid itu bersifat multi dimensional. Konsekuensi logis dari tauhid, kalau kita dalami akan mengejawantah menjadi konsep-konsep yang sangat bermanfaat untuk kemanusiaan, di samping dapat menjadikan Islam tetap relevan dalam perkembangan segala zaman. Sehingga tauhid yang kita mengerti dengan benar akan menuntut ditegakkannya keadilan., keadilan hukum, keadilan sosial, keadilan ekonomi, keadilan pendidikan. Dan berbagai macam keadilan atau kesetaraan umat manusia di depan Allah Subhanahu wata’ala.
Apa beda Tauhid Sosial dengan Tauhid Individual?
Jadi tauhid individu itu hanya akan membawa dampak keshalihan perorangan. Dia sudah syahadat, sudah shalat, sudah zakat, sudah puasa, sudah haji mungkin umrah berkali-kali tetapi dimensi sosialnya itu kemudian tidak kelihatan. Bahkan seolah-olah dia menjadi, dalam istilah melayu, orang baik-baik saja. Orang baik itu memang baik tetapi tidak berani berjuang untuk menegakkan dimensi kemasyarakatan dari agama Islam itu sendiri.
Jadi seseorang mungkin bisa menegakkan tauhid pribadi, tauhid individu tetapi kalau hanya sampai disitu maka dia hanya bagus untuk diri sendiri. Dia hanya berguna untuk diri sendiri dan keluarga barangkali, tetapi kemudian tidak ada dampaknya untuk merubah situasai bangsa, situasi nasional yang dikehendaki oleh Islam itu sendiri.
Sampai sejauh mana dalam menerapkan gagasan Tauhid Sosial ini?
Saya lebih banyak untuk melakukan terobosan-terobosan pemikiran terlebih dahulu. Ada yang mengatakan bahwa yang membumikan tauhid sosial di alam nyata itu memang Mas Said Tuhuleley itu dengan sebuah Majelis barunya Majelis Pemberdayaan Masyarakat. Nah, saya jelas bisa memahami dan juga menerima dengan bahagia kalau ada yang mengatakan bahwa Mas Said Tuhuleley itu eksekutor dari konsep tauhid sosial.
Akan tetapi menurut saya ada yang lebih penting lagi. Karena pada akhirnya kalau kita bicara keadilan sosial, ekonomi, hukum, pendidikan dan politik, tidak bisa tidak itu payung kekuasaan harus tetap menaungi atau mengayomi usaha-usaha penegakan masing-masing. Tetap kalau payung kekuasaan itu menolak maka kita hanya akan sesak nafas untuk melakukan perubahan-perubahan seperti yang dinginkan oleh agama kita. Ada kekuatan yang sangat erat antara dakwah dengan politik itu.
Nah sementara itu, saya yakin bahwa Muhammadiyah cepat atau lambat akan menambah komitmennya untuk lebih melakukan perjuangan-perjuangan yang bersifat sosial ekonomi. Mengapa almarhum Said Tuhuleley menjadi sosok yang dicintai oleh masyarakat. Oleh karena, Said Tuhuleley itu sesungguhnya ingin menunjukkan kepada kita semua bahwa agama Islam menjadi terasa, menjadi dirasakan manisnya atau gurihnya ketika nilai-nilai keadilan sosial dan ekonomi dalam Islam itu diwujudkan menjadi sebuah kenyataan. Jadi Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM), saya yakin akan mengarah kepada kegiatan-kegiatan yang berdimensi sosial ke arah keadilan sosial yang justru akan memperkokoh akar keislaman dari umat Islam itu sendiri di bumi nusantara ini.
Gagasan apa lagi yang sempat terlontar untuk memperkuat keadilan sosial ini?
Zakat profesi atau zakat humus. Mengapa saya berani melontarkan gagasan zakat humus itu? Yaitu zakat untuk profesi modern yang mendatangkan uang dengan sangat mudah. Saya berargumen bahwa zakat 2,5 persen dari pendapatan kaum profesional yang demikian mudah dan demikian banyak nampaknya tidak sesuai dengan rasa keadilan dibandingkan dengan zakat rikaz.
Dalam fikh Islam apabila seseorang menggali di kebun atau pekarangannya ternyata ketika menemukan logam mulia atau batu berharga lainnya, maka ia wajib mengeluarkan zakat 20 persen agar perolehannya itu menjadi sah atau absah di mata agama. Ini bisa dimengerti, karena orang yang menggali tanah kemudian mendapatkan harta rikaz itu memang jauh lebih mudah jika dibandingkan dengan petani yang harus berkeringat mengelola tanahnya atau pedagang yang harus kadang-kadang menanggung rugi dan melalui proses yang panjang ataupun bentuk-bentuk pekerjaan lainnya.
Sekarang bayangkan seorang profesional dengan kantor yang serba full AC , kemudian pekerjaannya hanya angkat-angkat telepon bicara atau kemudian berunding melakukan negosiasi ternyata hasilnya itu bisa ratusan kali dibandingkan dengan petani yang menggarap sawahnya atau pekerjaan-pekerjaan lainnya. Nah menurut saya, apa yang saya katakan itu memang sesuai dengan rasa keadilan Islam.
Sekalipun saya ingat sekali bahwa Pak Ahmad Azhar (Ketua PP Muhammadiyah sebelum saya) yang ilmu fikihnya bagaikan samudra yang sangat luas mengatakan kepada saya lebih kurang sebagai berikut: gagasan anda Mas Amien itu sangat mulia, tetapi di dalam fikih klasik memang pembicaraan mengenai zakat profesional itu belum ada. Jadi teruskan saja Mas Amien menawarkan gagasan kepada umat Islam yang jelas di mata Allah kalau ada seorang profesional yang mengikuti pendapat Pak Amien tentu lebih bagus.
Apakah konsep-konsep tersebut tetap relevan untuk saat ini?
Jadi secara singkat, dalam telaah Al-Qur’an, telaah tarikh para Nabi maupun telaah sejarah Islam modern, saya yakin memang yang merupakan kekosongan besar dalam dunia Islam itu adalah masalah yang sangat fundamental, yaitu tegaknya keadilan sosial ekonomi. Lihatlah di berbagai negeri muslim. Apakah itu di Mesir, Tunisia , di Irak, di Libia, di Yaman, dan juga gerakan-gerakan di akar rumput di negara-negara Arab yang lain itu jelas mereka rakyat muslim di dunia Arab itu sedang mendambakan sebuah keadilan.
Karena rumus sosialnya sangat mudah: selama keadilan sosial itu cukup merata ketika perbedaan pemimpin dan rakyat atau kaya miskin tidak menganga lebar maka di situ dapat diharapkan tegaknya masyarakat yang stabil, yang aman dan damai. Tetapi sebaliknya kalau kesenjangan sosial ekonomi itu menganga antara si kaya dan si miskin, antara pembesar negeri dengan rakyatnya maka dapat dipastikan terjadi pergolakan-pergolakan untuk menegakkan keadilan.
Jadi ini satu hal yang sederhana yang saya yakin secara embrional kader-kader Muhammadiyah sudah mengarah ke sana tanpa meninggalkan kiprah Muhammadiyah di pendidikan dan di kesehatan. namun nampaknya memasuki abad kedua tidak ada salahnya kalau Muhammadiyah menambah gerakan yang lebih besar dalam pemberdayaan masyarakat itu. Dan sinyal dari Al-Qur’an maupun Sunnah Shahihah jelas sekali tanpa keadilan dalam arti yang luas, Islam akan kurang gaungnya.
Jadi selama umat Islam tidak ada gerakan dan tidak berani melakukan ijtihad yang lebih jauh lagi untuk penegakkan keadilan dalam berbagai segi itu, maka saya khawatir bahwa umat Islam akan meredup. Sebagai hamba Allah tidak akan selalu bersinar kalau kemudian kita hanya mengambil beberapa ajaran Islam tetapi kemudian seolah-olah melupakan ajaran yang lain. Jadi ada kecenderungan kita kurang membicarakan dengan hamasah, dengan semangat, dengan komitmen hal-hal yang menyangkut jihad sosial, jihad politik, jihad ekonomi, jihad hukum dan jihad-jihad yang muaranya adalah penegakan persamaan derajat manusia di hadapan Allah Subhanahu wata ‘ala.• (eff)