Muktamar Muhammadiyah ke-47 yang akan digelar di Universitas Muhammadiyah Makassar pada awal Agustus tahun ini menumbuhkan berbagai pertanyaan, antara lain, sekitar pemikiran politik Muhammadiyah ke depan. Walaupun Buya Syafii telah menegaskan bahwa Muhammadiyah tidak disiapkan untuk menjadi partai politik namun dalam kehidupan nyata kiprah Muhammadiyah nyaris tidak mungkin terbebaskan dari nuansa politik nasional. Akan tetapi gerakan dakwah yang dicanangkan Kiai Ahmad Dahlan memang sangat kental dengan nuansa dakwah saat itu yang sebenarnya bisa dibaca sebagai respon “politik” Muhammadiyah terhadap sistem pendidikan Belanda yang tak banyak dinikmati oleh kalangan pribumi. Semangat itulah yang antara lain mendorong Kiai Dahlan mendirikan pendidikan moderen (sekolah) guna memberikan pendidikan moderen bagi kaum muslimin yang khas Muhammadiyah. Walhasil sejak awal Muhammadiyah telah terjun ke dalam politik pendidikan nasional tanpa bicara politik sepeserpun. Dikemudian hari gaya politik Kiai Dahlan ini menghasilkan lembaga-lembaga pendidikan dari TK hingga PT dalam jumlah yang sedikit banyak menyumbangkan jasa pendidikan bagi nusa dan bangsa yang cukup signifikan. Bahkan di beberapa daerah, sekolah atau PT milik Muhammadiyah berani bersaing dengan sekolah atau PT yang didirikan pemerintah.
Pola pikir Kiai Dahlan sebenarnya seiring dan sejalan dengan makna politik dewasa ini yang cenderung semakin kompleks. Pemaknaan politik sebagai “struggle for power” di parlemen maupun eksekutif membonsai makna politik yang sesungguhnya lebih luas. Politik sebagai perebutan kekuasaan sejatinya memang tidak berakhir dengan terpilihnya anggota parlemen maupun eksekutif. Akan tetapi usai pemilihan politik mengalami perluasan makna yang komprehensif. Politik dengan cepat berubah jadi upaya dalam skala besar untuk memenuhi hajat hidup warga negara. Itulah sebabnya di negara demokrasi maju ukuran keberhasilan politik adalah seberapa banyak para politisi yang terpilih mampu memenuhi hajat hidup warga negara. Semakin sedikit hasilnya semakin kecil peluang untuk dipilih kembali. Sehingga pemilihan menjadi media pemberian ganjaran bagi yang berhasil sekaligus sangsi bagi yang gagal.
Logika politik dalam arti lebih luas ini perlu mendapat perhatian calon-calon pemimpin Muhammadiyah di masa depan karena logika itulah yang juga akan menentukan ke mana arah Muhammadiyah ke depan. Logika di atas juga akan menentukan relevansi Muhammadiyah dengan kehidupan kebangsaan dan global di masa depan. Oleh karena itu reformasi ijtihad politik Muhammadiyah perlu difokuskan pada isu-isu paling mendasar yang akan menentukan nasib negeri ini.
Dalam berbagai kajian isu kependudukan merupakan salah satu aspek yang berpotensi mempengaruhi berbagai sektor strategis masyarakat dalam kurun waktu 10 tahun ke depan. Menurut data BPS (2010) pada tahun 2025 jumlah penduduk Indonesia akan mencapai angka 273,2 juta jiwa dan 55% di antaranya akan tinggal di pulau Jawa. Sementara Bank Dunia (2015) memperkirakan bahwa pada tahun 2025 penduduk perkotaan akan mencapai angka 68% – dengan kata lain penduduk pedesaan akan semakin berkurang dalam jumlah cukup besar. Indonesia akan menjadi negara nomer 2 di Asia sebagai the largest urban country setelah Tiongkok.Data-data di atas merupakan prediksi yang bila benar-benar terjadi akan menimbulkan implikasi strategis yang sangat serius. Dalam konteks inilah reformasi ijtihad politik Muhammadiyah menjadi relevan karena gejala di atas akan memerlukan pemikiran dan kebijakan yang tepat yang jauh-jauh hari mestinya telah diantisipasi. Dalam benak penulis ada paling tidak empat isu strategis yang perlu mendapat perhatian serius dari kalangan Muhammadiyah. Keempat isu utama tersebut adalah pendidikan, air bersih, transportasi, dan enerji.
Isu pendidikan merupakan isu paling mendesak untuk dibahas Muhammadiyah karena pendidikan diharapkan membentuk karakter dan sumber daya manusia yang kreatif dan inovatif. Dalam bidang pendidikan menengah terlihat jelas tidak ada kebijakan yang fokus pada upaya proses perbaikan kualitas belajar mengajar. Kebijakan pemerintah melalui publikasi di media massa lebih mengutamakan “ujian negara” sejak SD hingga SMA. Ujian diberlakukan di seluruh negeri namun fasilitas dan keterampilan para guru sangat beragam dan tidak seluruhnya berkualitas. Bandingkan dengan Finlandia yang memfokuskan pada budaya belajar mengajar sehingga tidak ada “ujian” bagi pelajar sebelum memasuki usia 18 tahun. Sistem ini terbukti mampu menempatkan pelajar-pelajar Finlandia menduduki posisi teratas di tingkat internasional mengalahkan raksasa dunia seperti Amerika.
Dalam bidang Pendidikan Tinggi juga tidak terlihat adanya kebijakan komprehensif untuk menjadikan PT sebagai “engine of growth” yang mampu bersaing di era global. Belum terlihat adanya kebijakan dan alokasi dana yang fokus pada upaya untuk memungkinkan PT di Indonesia mampu bersaing di tingkat global. Lebih parah lagi tak satu pun statement dari Presiden hingga Menteri tentang masa depan Pendidikan Tinggi di Indonesia. Negara-negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, Thailand sudah sejak lama menjadikan internasionalisasi pendidikan tinggi sebagai ujung tombak kemajuan universitas. Membuka pintu bagi profesor dan mahasiswa asing terlibat dalam proses belajar mengajar sehingga menjadikan perguruan tinggi di negara tetangga tersebut menduduki posisi menentukan pada ranking perguruan tinggi global. Dampak positifnya alumni PT negara tetangga siap memasuki era ekonomi global yang sangat kompetitif, antara lain, seperti Asian Economic Community. Alumni PT dijamin akan kesulitan bersaing karena kualitas PT di Indonesia jauh di bawah mereka.
Isu air bersih adalah isu yang dapat berubah menjadi bom waktu jika tak ada upaya untuk melakukan antisipasi. Pertumbuhan jumlah penduduk dan konsentrasi penduduk di kawasan perkotaan membuat produksi dan distribusi air bersih menjadi urusan strategis banyak pihak. Kemungkinan krisis air bersih bukan isapan jempol karena semakin banyak penduduk tinggal di perkotaan dengan sendirinya membutuhkan sistem produksi dan distribusi yang baik, sehat, dan cepat. Penduduk akan bersaing dengan industri perhotelan dalam merebut sumber air karena semakin banyaknya pembangunan fasilitas perhotelan di kota-kota besar di Jawa. Persediaan air bersih yang terbatas akan memicu timbulnya krisis air bersih di tengah pembangunan yang sedang berlangsung cepat.
Isu transportasi khususnya transportasi darat merupakan isu vital yang harus sejak awal diselesaikan. Sebagai antisipasi terhadap peledakan jumlah penduduk perlu disiapkan sejak awal sistem transportasi yang cepat, murah, dan banyak. Pulau Jawa dan Sumatra memerlukan sistem transportasi darat yang terkoneksi dengan transportasi udara. Jumlah penduduk yang akan menumpuk di pulau jawa merupakan barakah sekaligus masalah. Jumlah penduduk yang besar memerlukan sistem transportasi yang cepat, efisien, dan aman. Model transportasi yang tepat adalah High Speed Train yang dikembangkan oleh Turki, Iran, Saudi yang jumlah penduduknya jauh lebih sedikit. Keterlambatan pembangunan fasilitas transportasi publik yang cepat akan melambatkan perekonomian karena mobilisasi penduduk berjalan lambat.
Isu enerji pun secara bertahap sudah mulai terasa di pulau Jawa, kawasan yang akan menampung lebih dari separuh penduduk negeri ini. Giliran listrik atau listrik padam sudah sering terjadi di berbagai kota. Kejadian ini merupakan sinyal ketidaksempurnaan sistem penyediaan listrik bagi penduduk. Kecepatan pertambahan jumlah penduduk tidak mudah dibendung dengan Program KB karena dalam sepuluh tahun mendatang penduduk kelas menengah akan terus bertambah. Kondisi akan membuat keluarga cenderung memperbanyak anak. Ledakan penduduk yang terjadi memerlukan penyediaan enerji listrik yang sangat besar untuk memenuhi berbagai kebutuhan kawasan urban yang terus meluas ke luar batas-batas perkotaan saat ini. Tak ada yang tahu apakah “black out” (pemadaman listrik dalam skala luas dan lama) bukan sesuatu yang sangat mungkin terjadi.
Berbagai isu diatas, pendidikan, air bersih, transportasi massal, krisis enerji listrik hanyalah sebagian dari persoalan mendesak yang akan menghalangi proses kemajuan bangsa. Persoalan-persoalan tersebut sejatinya adalah persoalan politik dalam artian komprehensif karena skala persoalan dan dampaknya yang sangat luas. Persoalan di atas mau tak mau akan menjadi faktor penentu keberhasilan pemerintahan di masa depan. Dalam konteks inilah sebenarnya tantangan reformasi ijtihad politik Muhammadiyah perlu dipahami dan dikembangkan sebagai wacana strategis dalam Muktamar Muhammadiyah ke-47 dan sesudahnya. Partisipasi Muhammadiyah dalam penyebaran gagasan dan kontribusi nyata dalam berbagai aspeknya akan menempatkan Muhammadiyah pada posisi strategis di masa depan tanpa harus sibuk menentukan posisi dalam politik dalam artian perebutan kekuasaan semata-mata. Namun menjadikan politik dalam artian luas sebagai ladang amal yang strategis.•
___________________________
Prof Dr Bambang Cipto, Rektor Universitas Muhammadiyah Yogyakarta