Assalamu’alaikum wr wb
Ibu Emmy yth, saya gadis (23 tahun) saat ini sudah bekerja di sebuah perusahaan yang cukup ternama di kota saya. Selama ini saya belum pernah pacaran. Karena saya memang tidak ingin pacaran. Saya dulu fokus untuk kuliah. Selain itu orangtua juga tidak mengijinkan pacaran karena di keluarga kami sangat menjunjung tinggi nilai agama.
Selama ini, saya mempunyai banyak teman baik laki-laki maupun perempuan. Kadang kami pergi “ngelencer” bersama mereka. Setelah kerja, teman saya terbatas teman kantor. Suatu kali, saya mengenal si X, teman sekantor. Mula-mula kami berteman biasa, lama-lama muncul perasaan berbeda. Kami jadi sering ketemu dan jalan bareng. Sampai suatu ketika kami melakukan hubungan suami-isteri dan tidak cuma sekali.
Setelah melakukan “itu”, perasaan saya campur aduk. Merasa kotor dan bersalah, terutama pada Tuhan. Saya tidak tahu dan masih bingung kenapa saya menurut saja kepada si X. Kata teman ia suka pakai dukun untuk mendapatkan apa yang dimau. Sebelum kenal X, saya takut dosa besar dan hukum karma. Bagaimana bila saya sudah punya anak, dan anak saya mengalami seperti saya? Kadang saya menangis sendiri melihat orangtua yang sangat sayang pada saya tapi malah saya kecewakan. Mereka tahunya saya dan si X sekadar teman sekantor.
Saya frustasi dengan semua ini, Bu. Tadinya, saya ingin melanjutkan studi jadi gagal total. Rasanya saya jadi orang tidak berguna. Mohon saran ibu. Jazakillah.
Wassalamu’alaikum wr wb.
R, somewhere
Wa’alaikumsalam wr wb
R yang sedang bingung, kalau memang agama dijunjung tinggi dalam keluarga, menurut saya tak perlu ada kebingungan. Karena beragama utamanya bukan menjalankan ritual tanpa memaknai. Menjalankan nilai ibadah shalat, akan meningkatkan keimanan bila R juga menghindari larangan-Nya dan mengerjakan apa yang Allah perintahkan dalam kehidupan sehari-hari. Semoga R sepakat dengan saya, bahwa keimanan seseorang adalah sebuah rangkaian dari niat yang tumbuh dari keyakinan di dalam hati tentang sesuatu yang baik, mengucapkannya dalam kata-kata dan melakukannya dalam perbuatan.
Kalau R hanya bisa berkata, ”Saya tahu itu salah” tetapi tidak bisa menahan diri untuk menurutinya. Ada dua hal yang perlu segera R sadari. Pertama, R harus meningkatkan “tahu” menjadi keyakinan. Belajar meyakini bahwa melakukan hubungan seks sebelum nikah itu sesuatu yang tidak boleh dilakukan. Sesederhana itu tapi kuat. Artinya tak usah diperpanjang dengan pembenaran bahwa ia pakai dukun. Selama nama ada di hati, di bibir dan terwujud dalam perbuatan yang disukai-Nya. InsyaAllah, jangankan pergi, bicara dengannya tidak mau lagi. Tidak boleh, terlarang.
Kedua, posisikan respons R, selalu di bawah kendali diri bukan di luar diri. Ada sesuatu di luar diri, tapi bagaimana meresponnya, R yang menentukan. Misal R sedang ujian. Lalu R putuskan “Ya, ini penting untuk saya” maka saya mau belajar. Bukannya belajar karena disuruh oleh ibu, kalau ini kendali ada pada ibu. Tentu saja, ini sesuatu yang bisa langsung diterapkan seseorang, melainkan diterapkan pelan-pelan dan berkembang sejalan bertambahnya usia, pendidikan dan pengalaman hidup. Saat seseorang lebih mampu melakukannya lebih banyak dari pada apa yang diperintahkan orangtuanya, itu adalah satu penanda kedewasaan.
Kalau ini berhasil R lakukan, berarti R sukses menjalani sebuah kebiasaan yang lebih positif. Hal inilah yang sering lupa orangtua ajarkan pada anaknya. Yaitu menumbuhkan kebiasaan untuk punya otonomi dan memutuskan yang terbaik untuk dirinya sendiri, karena rasa khawatir yang berlebihan.
Untuk masalah kuliah, keputusan ada di tangan R. cobalah temukan maknanya bagi pengembangan kualitas diri Anda. Bila memang jadi prioritas hidup teratas, maka R akan lebih fokus dibanding yang lainnya.
Bertobatlah, dengan kembali kepada Allah dan tidak akan mengulanginya lagi. Semoga Allah memberi kekuatan untuk senantiasa berjalan di jalan Allah. Amiin.•
*) Emmy Wahyuni, Spsi. seorang pakar psikologi.