Beragam kasus nista yang kerap menghiasi media massa membuat kita mengurut dada. Semua tahu, Indonesia adalah sebuah bangsa dengan kuantitas orang Islam terbesar di dunia. Orang bergelar haji sukar dihitung dengan jari. Tradisi dan seremoni keagamaan juga sangat tinggi. Lantas kenapa negeri yang katanya menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan agama ini justru setiap hari dipenuhi berbagai perilaku menyimpang?
Betapa tidak, orang yang fasih mengkhutbahkan dalil-dalil Al-Qur’an justru menginjak-injak martabat Islam. Penyandang gelar pendidikan mentereng malah trampil melecehkan harga diri kebenaran dan kemanusiaan. Inilah komunitas Islam dengan perilaku sangat jauh dari ajaran Islam.
Kita terbukti sangat lancar bersyahadat, tetapi masih saja gila hormat. Menuhankan harta, wanita, jabatan, ideologi, organisasi, partai, dan segala yang berbau serba materi atau benda. Kita sangat rajin mengerjakan shalat sekaligus gemar bermaksiat. Semangat berzakat sambil juga terus melindas yang melarat. Amat rutin berpuasa sembari aktif mengangkangi hak sesama. Berulang kali naik umrah dan haji namun tetap getol membanggakan diri. Mana jargon-jargon keindahan Islam yang kita ucapkan itu?
Pantas saja harta alam yang begitu meruah ini tidak pernah sanggup mengenyangkan perut kita. Pangkal dari semua kenaifan itu jelas meranggasnya keimanan dalam diri kita. Silakan kita bertepuk dada dengan data statistik tentang jumlah orang Islam di Indonesia. Tetapi, jika mau jujur, berapa persen dari kita yang benar-benar beriman. Keimanan kita tidak tampak dalam perilaku keseharian. Mirip orang Badui yang mengaku beriman, tetapi dibantah langsung oleh Allah. “Kalian belum beriman, tetapi katakanlah kami telah berislam.” (Qs Al-Hujurat [49]: 14).
Memang, terdapat jurang perbedaan antara Islam dan iman. Tingkatan iman itu berada di atas Islam. Analoginya, Islam itu pasif, diam, statis, reseptif, sementara iman adalah aktif, gerak, dinamis, produktif. Islam itu ranah ketundukan, yang bisa disejajarkan dengan kognisi atau perolehan pengetahuan dalam pendidikan; sementara itu iman adalah ranah pengamalan, yang mungkin disejajarkan dengan afeksi atau penyikapan dari dorongan perasaan.
Karena itu, belum bisa dikatakan beriman orang yang meyakini kebenaran Islam tetapi ucapan dan perilakunya justru menyalahi tuntunan Allah dan Rasulullah. Iman yang benar pasti melahirkan ucapan dan perbuatan yang mulia. Menurut Rasulullah, iman itu ada 71 atau 61 cabang. Yang paling tinggi adalah ucapan tiada Tuhan selain Allah dan yang paling rendah adalah menyingkirkan rintangan dari jalan. Kesediaan menyingkirkan duri itu adalah perbuatan yang merupakan wujud adanya iman di dalam dada.
Menilik bahasanya, kata iman seakar dengan aman dan amanah. Dengan kata lain, orang beriman akan menyebabkan lingkungan sekitarnya merasa aman karena pribadinya yang amanah. Anak yang beriman pasti menjaga nama baik orangtuanya. Orangtua yang beriman pasti mengawal akidah buah hatinya. Istri yang beriman pasti melindungi kehormatan dirinya. Suami yang beriman pasti merawat kesetiaan istrinya.
Pun dalam bidang pekerjaan. Petani yang beriman tidak mungkin mengabaikan mutu tanamannya. Pedagang, tidak mungkin menutupi kelemahan dagangannya. Pendidik, tidak mungkin merendahkan muridnya. Seorang tokoh, tidak mungkin menyesatkan umatnya. Pegawai, tidak mungkin mangkir dari tugasnya. Atasan, tidak mungkin menghinakan anak buahnya. Rakyat, tidak mungkin melawan pemimpinnya. Pemimpin, tidak mungkin mengenyahkan harta, martabat, dan jiwa rakyatnya.
Ringkasnya, orang beriman lebih memilih sikap hati-hati dalam segala ucapan dan tindakan. Dia begitu yakin bahwa kebaikan dan keburukan yang dilakukan pasti dilihat dan diberikan balasan oleh Allah. Tidak hanya menunggu setelah di akhirat, tetapi sebagian sudah ditunaikan Allah semasa manusia hidup di dunia. Wujudnya bisa berupa kehidupan yang tenteram, damai, dan penuh berkah.
Kinilah saatnya kita menakar keimanan. Tidak ada sesuatu yang lebih berharga dari keimanan. Keimanan yang kuat tertancap di dada akan dapat menenangkan jiwa, menenteramkan relung hati, mendamaikan ruang pikiran. Maksudnya, seberapa besar ketenangan, ketenteraman, dan kedamaian hidup yang dapat kita capai, sebatas itu pula kualitas keimanan kita sesungguhnya.•
________________
M Husnaini, tinggal di Takerharjo Solokuro Lamongan.