Setahun sebelum Muhammadiyah resmi berdiri, yaitu pada tahun 1911 di Kauman Yogyakarta, KH Ahmad Dahlan telah mendirikan Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah. Sekolah tersebut bukan pendidikan informal yang absolute mengajarkan pendidikan agama, sebagaimana lembaga-lembaga pendidikan Islam yang telah ada sebelumnya yang disebut pesantren dan bukan juga sekolah umum seperti yang didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda yang mengabaikan pengetahuan agama, melainkan sekolah yang memiliki ciri tersendiri yang berbeda dengan kedua sistem yang berlaku sebelumnya, yaitu sekolah formal yang mengintegrasikan pengetahuan agama dengan pengetahuan umum, sekolah yang tidak memandang ilmu agama dan ilmu umum secara dikhotomi.
Sekolah yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan tersebut saat itu tergolong sekolah modern dan didasarkan pada pemikiran yang sangat maju saat itu karena tidak hanya mampu mengintegrasikan pengetahuan agama dengan pengetahuan umum tetapi sekaligus mampu melampaui dua budaya yang berseberangan dan sekaligus memadukan dua budaya tersebut ke dalam satu lembaga pendidikan. Sekolah ini berada dalam suasana menghidupkan dan mencerahkan dengan mengembangkan seluruh potensi manusia menggunakan akal sehat untuk dapat maju dan berkembang
Pendidikan Muhammadiyah yang menghidupkan hendaknya dapat dimaknai sebagai upaya mengembangkan secara maksimal potensi manusia sedemikian rupa sehingga semua pengetahuan yang diperoleh akan menjadi unsur penting pada keseluruhan pribadi yang mampu berpikir kritis, analisis, dan kreatif. Pendidikan yang menghidupkan, diharapkan dapat mengatasi masalah yang dihadapi umat manusia yang demikian komplek saat ini dan kehidupan di masa depan. Pendidikan yang menghidupkan seperti ini di samping diperlukan strategi metode yang bersifat dialogis, juga dibutuhkan integrasi ilmu dari berbagai disiplin yang berbeda, tidak hanya integrasi pengetahuan agama dengan pengetahuan umum tetapi integrasi antar disiplin ilmu kealaman dan ilmu sosial. Hal ini dapat dilakukan dengan memandang pendidikan dalam hal ini persekolahan sebagai miniatur masyarakat.
Pendidikan Muhammadiyah yang menghidupkan hendaknya mampu menterjemahkan pendekatan al-Ma’un yang telah dicontohkan oleh KHA Dahlan secara lebih luas dan mendalam pada situasi dan konteks kemasyarakatan dan kebangsaan dalam situasi kekinian. Kefakiran tidak hanya dipandang sebagai kefakiran dari sisi ekonomi, tetapi perlu dimaknai lebih jauh dan lebih luas dalam konteks kefakiran moral, kefakiran sikap dan tingkah laku, kefakiran kepemimpinan dan berbagai prilaku yang menunjukkan dan mengarahkan pada kefakiran sosial, ekonomi dan budaya lainnya. Di samping itu model penyajian materi ketika menjelaskan KHA Dahlan menjelaskan surat Al-Ma’un berulang-ulang sampai muridnya bosan dan protes karena telah merasa hafal dan faham betul makna dari surah tersebut, tetapi dalam pengertian pak Kiai muridnya belum paham makna ayat tersebut, sebelum dihadirkan dan diimplementasikan dalam realistas sosial kemasyarakat dan kebangsaan.
Memaknai model al-Ma’un dalam kontek pendidikan menghidupkan dan mencerahkan perlu dijabarkan lebih luas dalam aktivitas pendidikan dan pembelajaran, baik perluasan dan pendalaman makna al-Ma’un maupun sisi metode penyajian pak Kiai serta menafsir ulang tentang makna memahami sesuatu pengetahuan bukan hanya dimaknai sebagai kemampuan siswa menghafalkan pengetahuan itu tetapi lebih dari itu pemahaman pengetahuan dapat dimaknai sebagai kemampuan memanfaatkan dan mengimplementasikan pengetahuan tersebut, baik implementasi terhadap keterkaitan antar pengetahuan maupun mengimplentasikan pengetahuan tersebut dalam kehidupan keseharian. Sisi lain dari penyajian al-Ma’un yang dapat ditangkap adalah bahwa pembelajaran hendaknya bersifat kontekstual, pembelajaran yang menghadirkan realitas sosial ke dalam ruang-ruang pembelajaran.
Pendidikan Muhammadiyah yang digagas dan diimplementasi oleh pendirinya, memandang manusia secara utuh, baik dari aspek fisik dan psikisnya maupun dari sisi tugas dan tanggungjawab kehadiran manusia di muka bumi ini. Sehingga dengan demikian arah dan kebijakan pendidikan yang dilakukan oleh Muhammadiyah tidak hanya berbicara pada tataran bagaimana terjadinya transfer pengetahuan tetapi juga pembentukan sikap dan keterampilan serta kemampuan mengimplementasikan pengetahuan dan keterampilan dalam kehidupan manusia termasuk dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pendidikan Muhammadiyah tidak sekadar membekali peserta didik dengan setumpuk pengetahuan, memberikan bekal keterampilan tetapi lebih dari itu pendidikan memberikan kesempatan kepada peserta didik menguasai ilmu dan mampu mengembangkan dan memanfaatkan ilmu bagi sesama. Di samping itu pendidikan memiliki tanggung jawab kepada bangsa dan negara serta kepada umat manusia untuk menghasilkan manusia yang insan cerdas yang tercerahkan, membebaskan dan memerdekakan manusia dari berbagai rasa takut dan memiliki jiwa dan semangat kemanusiaan, yang akan membawa bangsa dan negara dalam kehidupan yang menghidupkan dan mencerahkan, kehidupan yang menghargai harkat dan martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan.
Dalam konteks tanggungjawab kebangsaan, pendidikan Muhammadiyah memiliki peran strategis untuk memberikan pencerahan terhadap anak-anak bangsa ini sebagai bagian integral dari tugas dakwah persyarikatan. Peran strategis ini tentu dalam praksisnya untuk melahirkan sumber daya insani yang memiliki pengetahuan dan keterampilan yang mampu memberikan kontribusi terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara, dan di sisi lain pendidikan Muhammadiyah juga harus mampu melahirkan pemikiran dan tindakan dalam membangun bangsa dan negara ini ke arah yang lebih baik.
Peran kebangsaan dalam konteks pendidikan tidak lepas dari kehidupan global abad 21 dimana Indonesia menjadi bagian dari dunia yang tanpa sekat geografis, sehingga konteks baru pendidikan menghadapi kompetensi yang tidak hanya bersifat lokal tetapi bersifat global dihadapkan berbagai situasi kehidupan dan kebutuhan hidup dalam era globalisasi ini. Oleh karena itu pendidikan diharapkan mampu memberikan kesadaran kehidupan global, melek teknologi, kreatif dan inovatif, kemampuan berpikir kritis, kemampuan menyelesaikan masalah, kemampuan bekerja dalam team work dengan berbagai latar berbeda serta kemampuan entrepreneurship.
Lahirnya insan cerdas tercerahkan dan mencerahkan menjadi faktor penting untuk berkontribusi dan menjadi penentuan arah perjalanan bangsa ini menuju Indonesia berkemajuan. Namun demikian melahirkan insan cerdas tercerahkan dan mampu mencerahkan bukanlah semudah membalikkan telapak tangan, karena tidak sedikit tantangan dan kendala yang harus dihadapi di tengah carut marutnya kehidupan kebangsaan kita dewasa ini, demikian juga adanya pengaruh globalisasi yang ikut menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan kita ini. Berbagai persoalan yang melingkupi kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan dan keberagamaan kita dewasa ini seperti kesenjangan sosial ekonomi yang masih mendera masyarakat bangsa kita, korupsi yang tak kunjung berkurang bahkan semakin menjadi-jadi, masalah disintegrasi, sistem perpolitikan yang belum menemukan arah yang benar, serta berbagai faktor sosial, ekonomi, dan budaya lainnya.
Rekonstruksi sistem pendidikan yang dapat melahirkan insan cerdas dan mencerahkan, menjadi suatu keniscayaan. Rancang bangun sistem pendidikan tersebut tidak lepas dari hakikat dan tugas kemanusiaan itu sendiri, sehingga dengan demikian visi yang perlu dikedepankan adalah lahirnya insan cerdas yang mantap dalam keimanan, unggul intelektual, anggun dalam berakhlak dan sigap berkarya nyata.
Insan yang mantap dalam keimanan diharapkan mampu memiliki kesadaran ketuhanan yang menghidupkan dan membebaskan, memiliki jiwa dan semangat kemandirian. Sementara keunggulan intelektual akan mengantarkan keunggulan terhadap penguasaan ilmu dan teknologi, keunggulan intelektual diharapkan mengantar insan cerdas yang dapat mengoptimalkan akal sehatnya memilah dan memilih sesuatu dalam menyelesaikan permasalahan, dan kesigapan berkarya merupakan suatu aktivitas memanfaatkan ilmu dan teknologi dalam kehidupan nyata untuk kesejahteraan dan kemajuan peradaban umat, yang semua ini harus ditampilkan oleh insan yang memiliki karakter mulia yaitu akhlakul karimah.
Pendidikan yang memiliki visi mantap keimanan, unggul intelektual, anggun berakhlak dan sigap berkarya bukan pendidikan yang merampas hak dan kemerdekaan peserta didik, bukan pendidikan yang memenjarakan peserta didik dan menjadi mereka manusia dalam posisi yang inferior. Perampasan hak atas nama pendidikan justru menghambat perkembangan potensi peserta didik, termasuk perkembangan mental dan intelektualnya. Hal ini dapat berakibat terhambatnya transfer pengetahuan, dan sekaligus menghambat perkembangan mental peserta didik. Akibat lanjutannya peserta didik menjadi apatis, pesimis dan cenderung lepas tanggungjawab dan lebih parah lagi mereka akan lari dari lingkungannya dan mencari kehidupan lain yang menurut mereka dapat mengembalikan hak dan kemerdekaannya yang telah dirampas dan kemungkinan melakukan tindakan-tindakan destruktif dan merusak diri dan lingkungannya.
Pendidikan yang menghidupkan dan membebaskan, membutuhkan proses interaksi yang menghargai kemerdekaan dan kemandirian serta potensi diri peserta didik. Strategi yang dapat dilakukan adalah dengan membuka ruang dialog antara pendidik dan peserta didik, yang berlangsung dalam suasana sejuk dan saling menghargai yang ditunjukkan dengan komunikasi dua arah, yang dipandu dengan akhlakul karimah. Strategi dialogis terjadi saling pemahaman, saling pengertian, kemauan menerima dan kerjasama. Di samping itu dalam dialog ini terjadi kesetaraan sehingga tidak terjadi monopoli pembicaraan dan kebenaran. Dari dialog diharapkan terbentuk saling pengertian dan pemahaman bersama yang lebih luas dan mendalam tentang hal yang menjadi bahan dialog. Dialog merupakan ciri masyarakat maju dan demokratis, tanpa dialog tidak mungkin terjadi kesejahteraan dan kemajuan hidup bersama, tidak mungkin tercipta masyarakat demokratis di mana para anggotanya mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Dialog dapat meningkatkan sikap saling memahami dan menerima, serta mengembangkan kebersamaan dan hidup yang damai saling menghormati dan saling percaya, dialog dapat menjadi sarana untuk saling memahami, menerima dan kerja sama antar berbagai kelompok yang berbeda latar belakang budaya, tingkat ekonomi, ideologi, kepercayaan, dan agama.
Strategi ini, di samping memberi ruang terhadap peserta didik sebagai individu yang merdeka dengan potensi yang dimilikinya, juga memberikan ruang terhadap peserta didik sebagai makhluk sosial, sehingga dengan demikian seluruh potensi peserta didik dapat dimaksimalkan dalam proses transfer pengetahuan dan sekaligus terjadi komunikasi dan dialog kemanusiaan pada diri peserta didik dalam menghargai membangun hubungan sosial dengan sesamanya dan terhadap pendidik, serta lingkungan sosial budayanya.
Pendidikan Muhammadiyah yang menghidupkan dan memajukan dipandang sebagai miniatur masyarakat yang mampu menghadirkan kondisi sosial ekonomi dan kultural masyarakat religius ke dalam ruang-ruang pendidikan, membutuhkan pendekatan multidisipliner dalam aktivitas pendidikan dan pembelajaran. Dalam hal ini di samping memandang ilmu tanpa dikhotomi juga dibutuhkan aktivitas pembelajaran berdimensi kontekstual, yaitu suatu pendekatan yang menghadirkan seluruh situasi dan suasana kehidupan kemasyarakatan dalam ruang-ruang pendidikan.
Paparan di atas memberikan gambaran bahwa pendidikan yang menghidupkan dan mencerahkan merupakan suatu model pendidikan holistik integratif, yang menjadikan ruang-ruang pendidikan sebagai miniatur suatu masyarakat luas yang hidup secara dinamis dalam suasana yang harmonis. Pendidikan yang menghidupkan dan mencerahkan merupakan pendidikan yang berlangsung dalam suasana dialogis dalam satu kesatuan akal dan jiwa manusia, yang memandang manusia secara utuh dan menempatkan manusia sebagai makhluk sosial dan berbudaya. Pendidikan yang menghidupan dan mencerahkan merupakan pendidikan yang mampu melahirkan insan cerdas yang mantap keimanan, unggul intelektual dan sigap berkarya nyata.•
_____________________
Dr Irwan Akib, Rektor Universitas Muhammadiyah Makassar