Mengenal Siti Bariyah, Ketua Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Pertama

Mengenal Siti Bariyah, Ketua Pimpinan Pusat 'Aisyiyah Pertama

Siti Bariyah Dok Pusdalitbang SM

KH Ahmad Dahlan tidak hanya mendirikan sebuah organisasi modern bernama Muhammadiyah. Tetapi sang Khatib Amin ini juga turut memajukan kehidupan kaum perempuan. Pada mulanya, tiga perempuan remaja asal Kauman berhasil dibujuk supaya menuntut ilmu di sekolah Belanda di Ngupasan (kini menjadi gedung SDN Ngupasan Jl. Reksobayan no. 6 Yogyakarta). Sekolah tersebut bernama Neutraal Meisjes School.

Sejarawan Ahmad Adabi Darban (2000: 47) mencatat, tiga perempuan remaja tersebut adalah Siti Bariyah (putri Haji Hasyim Ismail/adik kandung Haji Fachrodin), Siti Wadingah, dan Siti Dawimah (kemenakan Haji Fachrodin). Di antara ketiga lulusan sekolah Belanda ini, nama Siti Bariyah yang cukup menonjol.

Bariyah lahir pada 21 Shafar 1325 H di Kampung Kauman. Ia salah satu di antara putra-putri Lurah Kraton, Haji Hasyim Ismail. Bariyah bersaudara kandung dengan Siti Jasimah, Haji Syuja’, Haji Fachrodin, Haji Hadikusuma, Haji Zaini, Siti Munjiyah, dan Siti Walidah. Jika Siti Munjiyah dididik dan dibesarkan lewat lembaga pendidikan yang dirintis oleh KH Ahmad Dahlan, maka Siti Bariyah berhasil mengenyam model pendidikan Belanda. Munjiyah lebih dikenal sebagai muballighat orator, sementara Bariyah lebih dikenal sebagai seorang intelektual. Keduanya telah berhasil menapaki karir di ‘Aisyiyah hingga mampu menduduki posisi puncak di organisasi sayap perempuan Muhammadiyah ini.

Pada tahun 1917, Hoofdbestuur (HB) Muhammadiyah menggelar sebuah rapat yang dihadiri 9 orang. Salah satu agenda rapat adalah pembentukan organisasi sayap Muhammadiyah yang secara khusus ditangani oleh kaum perempuan. Pengurus HB Muhammadiyah yang hadir dalam rapat tersebut adalah KH. Ahmad Dahlan, Haji Fachrodin, Haji Mochtar, dan Ki Bagus Hadikusuma. Peserta rapat lainnya perwakilan dari kelompok pengajian Sopo Tresno: Siti Dawimah, Siti Dalalah, Siti Busyro, Siti Wadingah, dan Siti Badilah (Darban, 2000: 48).

Sebuah perdebatan yang cukup menarik dalam rapat tersebut adalah seputar nama organisasi yang akan dibentuk. Mula-mula ada yang mengusulkan nama ‘Fatimah’. Harapannya, organisasi baru ini akan menginduk pada Muhammadiyah, seperti halnya hubungan antara ayah (Nabi saw) dengan putrinya (Fatimah). Tetapi usul tersebut kemudian ditolak dengan usulan baru yang mengajukan nama ‘Aisyiyah.’ Harapannya, organisasi ini akan sepadan dengan Muhammadiyah yang sudah berdiri lebih dahulu. Seperti halnya hubungan antara suami (Nabi saw) dengan istrinya (Aisyah). Setelah organisasi ini berdiri, jargon-jargon seputar kesetaraan antara laki-laki dengan perempuan dalam memajukan agama sering digunakan dalam berbagai elemen organisasi.

Karena Aisyiyah digagas sebagai organisasi perempuan Islam modern, maka unsur-unsur pimpinannya harus menguasai wawasan dan pengetahuan seputar manajemen modern. Dari lima perempuan yang hadir dalam rapat tersebut terdapat Siti Wadingah dan Siti Dawimah, keduanya adalah intelektual lulusan sekolah Belanda yang dinilai paling senior di antara mereka. Akan tetapi, justru pilihan ketua ‘Aisyiyah pertama bukan pada sosok Siti Wadingah ataupun Siti Dawimah, tetapi HB Muhammadiyah menunjuk Siti Bariyah sebagai president pertama ‘Aisyiyah.

Dari pengalaman sejarah ini, kita bisa mengambil hikmah bahwa Persyarikatan Muhammadiyah beserta organisasi-organisasi pendukungnya dibangun dan dikelola berdasarkan kualitas dan profesionalisme. Sebab, bisa saja KH Ahmad Dahlan menunjuk Siti Busyro yang tidak lain adalah putrinya sendiri sebagai ketua ‘Aisyiyah pertama jika menghendaki organisasi ini dikelola secara tradisional. Atau bisa saja president pertama Muhammadiyah tersebut memilih istrinya, Nyai Dahlan, sebagai president pertama ‘Aisyiyah, jika memang menghendaki sistem nepotisme dalam organisasi perempuan Islam ini.

Siti Bariyah dikenal sebagai sosok intelektual yang lebih menonjol dibanding kawan-kawan seangkatannya. Ia lulusan sekolah Barat dengan kemampuan bahasa Belanda yang lumayan. Wawasan intelektualnya cukup dominan. Bahkan, pada masa kepemimpinan KH Ibrahim, Bariyah mendapat otoritas penuh untuk menafsirkan maksud dan tujuan Muhammadiyah (SM no. 9/th. Ke-9/September 1923). Perannya dalam merintis penerbitan majalah Suara ‘Aisyiyah juga tidak dapat diabaikan.• (Mu’arif)

Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 15 Tahun 2015

Exit mobile version