Hisablah dirimu sebelum dihisab orang lain. Ajaran kebaikan tersebut sangat mendalam tentang pentingnya setiap Muslim mengenal diri secara hakiki. Mungkin dapat ditambahkan, hisablah diri sebelum menghisab orang lain. Kata pepatah, ketika telunjuk menuju ke hidung orang, sesungguhnya jari tangan yang lain menunjuk diri sendiri.
Memahami diri sendiri memang harus terus diupayakan. Lumrahnya, orang mudah sekali mengenal orang lain, tetapi sering gagal mengenal diri sendiri. Mengenal identitas diri secara jasmani, boleh jadi cukup dengan berdiri di depan cermin. Semua akan gamblang. Namun, mendefinisikan diri secara ruhani, harus dilakukan dengan muhasabah secara serius.
Muhasabah alias introspeksi berarti melakukan peninjauan atau koreksi terhadap kelemahan dan kesalahan diri sendiri. Jangan sampai menyangka diri ini pintar, ternyata bodoh. Jangan sampai mengira diri ini dermawan, ternyata kikir. Jangan sampai menduga diri ini penyabar, ternyata pemarah. Jangan sampai merasa diri ini mulia, ternyata hina.
Setiap insan harus menyadari bahwa tidak ada manusia sempurna. Sebab itu, tidak perlu merasa berat untuk mengakui kesalahan, kendati menyandang nama besar dan menduduki posisi ditokohkan. Coba singkirkan perasaan takut terlihat bodoh atau rendah. Toh keengganan mengakui kesalahan sendiri adalah wujud kebodohan yang paling nyata.
Dengan demikian, diskusi atau tukar pikiran itu harus. Setiap diri mengidap kelemahan, tetapi barangkali dapat ditutup dengan kelebihan orang lain. Siapa saja yang enggan mendiskusikan pemikirannya, dimungkinkan tersesat. Sementara Allah sendiri menyuruh Rasulullah, manusia paling sempurna, untuk berdiskusi dengan sahabat. “Ajaklah mereka bermusyawarah dalam urusan dunia. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka pasrahkanlah dirimu kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang pasrah kepada-Nya.” (Qs Ali Imran [3]: 159).
Saatnya diri menghentikan kebiasaan merasa paling benar sembari gemar menghakimi selain diri. Sepanjang bernama manusia, pendapat sendiri tidak mutlak benar. Lebih baik terus belajar. Kacaunya peradaban dunia ini disebabkan sikap orang yang tidak mau belajar, tetapi selalu merasa paling pintar dan benar. Ini penting diingatkan. Sebab, manusia memang gampang terjangkit virus sombong.
Termasuk menyikapi perbedaan pendapat dalam urusan agama yang tidak prinsip. Lebih baik kedepankan sikap toleran. Proses keberagamaan itu ibarat orang naik tangga. Kalau baru sampai di pertengahan tangga, yang dilihat biasanya terbatas. Ya, sebatas gedung itu-itu saja. Pengetahuan masih minimal, sehingga mudah kaget dan ribut. Tetapi, begitu sampai di puncak ketinggian, pandangan menjadi luas. Dia telah melampaui seluruh pemandangan di bawah dengan mata kepala sendiri.
Hasilnya, hati dan pikiran menjadi terbuka dan mudah memaklumi sesama.
Namun, virus sombong bisa bertandang kepada siapa saja. Tidak ada manusia yang pasti selamat darinya. Kalau ada orang mengaku bahwa dirinya pasti terbebas dari virus sombong, itu sombong juga namanya. Apatah kita, Nabi Musa saja pernah terkena virus sombong. Berikut sabda Rasulullah sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abbas dari Ubai bin Ka’ab.
Suatu hari, Nabi Musa berdiri di khalayak Bani Israil. Nabi Musa lalu ditanya, “Wahai Musa, siapakah orang yang paling berilmu?” Nabi Musa menjawab, “Aku!” Mereka bertanya lagi, “Adakah orang yang lebih berilmu darimu?” Nabi Musa pun menjawab, “Tidak ada.”
Ketika itulah Allah kemudian menegur Nabi Musa. “Sesungguhnya di sisi-Ku ada seorang hamba yang berada di pertemuan dua lautan, dan dia lebih berilmu daripada kamu,” firman Allah. Segera Nabi Musa bertanya, “Ya Allah! Di manakah aku dapat menemuinya?” Allah berfirman, “Bawalah bersamamu seekor ikan dalam keranjang. Sekiranya ikan itu hilang, di situlah kamu akan bertemu dengan hamba-Ku itu.”
Satu hal yang menarik dalam kisah tersebut adalah Nabi Musa akhirnya belajar kepada Nabi Khidir tentang kesabaran, dan gagal. Semoga setiap insan terutama muslim bersedia berendah hati bahwa segala perasaan super hanya mengantarkan pada kehancuran. Marilah budayakan muhasabah untuk terus-menerus melakukan koreksi diri daripada mengoreksi kesalahan orang lain.•
____________________________
M Husnaini, Penulis Buku “Hidup Sepenuh Berkah”, Warga Muhammadiyah Takerharjo Solokuro Lamongan