Sabtu, 26 Desember 2015 lalu, Uswatun Chasanah putri dari KRH Hadjid beserta putranya Agus S Djamil, serahkan peninggalan Buku Saku Asykar Perang Sabil (APS)-Hizbullah milik salah satu murid termuda KHA Dahlan sekaligus Komandan Asykar Perang Sabil tersebut, kepada Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta. Penyerahan dokumen bersejarah milik salah satu tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia ini diterima secara langsung oleh Kepala Museum Dra. Zaimul Azzah, M. Hum.
Uswatun Chasanah menyampaikan bahwa Buku Saku yang disusun oleh Kiai Hadjid pada tahun 1944 untuk anggota Laskar Asykar Perang Sabil ini dinilai menyimpan semangat juang yang tinggi. Bahkan dirasakan sendiri olehnya bahwa bagaimana nilai-nilai semangat berlandaskan tuntunan Al-Qur’an dan Hadist di dalamnya dapat mendorong generasi muda yang tergabung dalam APS saat itu untuk turun ke medan perang memperjuangkan kemerdekaan.
“Buku kecil ini adalah sebagai bukti bahwa para ulama dan khususnya umat Islam pada saat itu dengan tekad yang begitu besar mampu menjadi pelopor dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia,” paparnya.
Buku Saku ini telah menjadi salah satu pegangan atau acuan tentara APS ketika hendak turun ke medan perang. Berisi doa-doa serta amalan-amalan yang memandu para tentara sebelum ataupun saat berperang, pokok-pokok serta azas berperang bagi tentara, dan arahan-arahan tentang gerakan tentara serta bagaimana jiwa dan semangat yang seharusnya dimiliki seorang tentara saat berjuang.
Agus pun mengungkapkan beberapa signifikansi Buku Saku peninggalan Kiai Hadjid ini ketika hendak dipelajari kembali pada masa sekarang. Yang pertama adalah sebagai bukti otentik yang menunjukkan peran aktif dan total para ulama dalam berjuang mempertahankan tanah air yang dilandasi dengan niat tulus suci karena Allah SwT. Kedua, menjadi salah satu benang merah sejarah perjuangan laskar Islam masa perang kemerdekaan sampai pada pembentukan TNI yang dipelopori oleh pejuang gerilya didikan para ulama seperti Jendral Soedirman. Ketiga, sebagai pelajaran yang bersifat inspiratif, motivasional, serta masih sangat relevan sebagai pegangan praktis dalam perjuangan mencapai keberhasilan hingga hari ini.
“Buku kecil ini jika ingin dipelajari kembali sangat relevan sebagai bukti peran aktif ulama dalam mempertahankan tanah air, lalu sebagai penyambung sejarah serta kontribusi ulama yang melahirkan tokoh-tokoh gerilya seperti Jendral Soedirman yang mempelopori berdirinya TNI, lalu juga sebagai pembelajaran yang sarat motivasi,” ungkap Agus.
Selain hal yang telah dingkapkan tadi Agus juga menambahkan bahwa Buku Saku ini juga dapat dikatakan sebagai THE “ISLAMIC” SUN TZU. Dalam dunia managemen modern, kini ada kecenderungan untuk meneliti naskah lama yang mengajarkan kebijakan, strategi dan taktik yang telah terbukti berhasil misalnya yang terkenal Sun Tzu yang diterjemahkan dan diulas sebagai The (Chinese) Art of War untuk kiat sukses managemen modern.
“Bangsa Indonesia sendiri belum memiliki acuan pasti tata cara perang gerilya, padahal gerilya Indonesia di luar negeri sangat terkenal dan dikagumi. Sekarang, dokumentasi gerilya itu seperti apa? Harapannya Buku kecil ini, yang ditulis tahun 1944 pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia mempunyai pelajaran yang bisa dihayati oleh para pemimpin di segala tingkat dan bidang serta para manager hari ini” imbuh Agus.
Senada dengan itu pula, Uswatun Chasanah pun mengharapkan bahwa dengan diserahkannya Buku Saku ini kepada diharapkan nantinya mampu bermanfaat bagi generasi masa kini sebagai pembelajaran serta pengayatan terhadap semangat juang para pendahulu kita dalam memperjuangkan tanah air berlandaskan agama sebagai spiritnya. (Thari)