Perbedaan Interpretasi Menjadi Tantangan

Perbedaan Interpretasi Menjadi Tantangan

Diskusi Perkaderan dan Kajian Keislaman, ulas bagaimana tema Paradigma Baru Gerakan Muhammadiyah diteropong dari segi sosiologis dan politik. Prof Sunyoto Usman pun menerangkan bahwa dalam prosesnya, ketika agama atau Islam masuk ke dalam sebuah komunitas, secara sosiologis akan muncul beragam interpretasi atau pemahaman. Dari perbedaan Interpretasi tersebut akan memunculkan sosialisasi yang beragam atau yang disebut kini dengan berbagai gerakan dakwah. Dan hal ini tidak terlepas dari manusia sebagai pelaku yang memiliki tujuan, nilai dan norma yang diyakini dan ingin dicapainya.

“Terbentuknya pemahaman, interpretasi serta sosialisasi ini telah melalui tahapan serta proses yang sangat panjang sehingga sulit untuk digoyahkan. Semakin berubahnya zaman, tantangan yang muncul dari pemahaman tadi semakin menjadi kompleks. Dalam perjalanannya selalu akan menemukan bentuk-bentuk baru, sekalipun hingga memunculkan kekerasan,” papar Prof Sunyoto.

Prof Sunyoto memaparkan bahwa bagaimapun juga, bentuk sosialisasi yang dimunculkan dari komunitas yang berbeda tersebut dipengaruhi oleh keberagaman pemahaman atau interpretasi yang mereka miliki. Melalui berbagai media, termasuk televisi dan internet, pemahaman yang bermacam-macam itu akan menjadi doktrin dikonsumsi secara mudah oleh para konsumen media.

“Munculnya berbagai media yang sudah tidak mampu lagi dibendung arus lajunya, seharusnya diberengi dengan pemahaman yang baik oleh MPK. Bagaimana agar mampu memanfaatkannya dengan baik, supaya para kader yang ada di Muhammadiyah tidak akan jauh tertinggal,” lanjutnya.

Melihat hal ini dalam situasi belakangan, masalah fundamentalisme juga menjadi salah satu yang dibawa melalui berbagai sosialisasi beserta media yang digunakannya. Prof Sunyoto menambahkan bahwa sejatinya masalah ini bukanlah berasal dari kalangan umat muslim. Namun, Islam sering kali didiskreditkan menjadi agama yang lekat dengan radikalisme ataupun aksi terorisme.

“Jika dilihat dari perspektif agama sebagai agen perubahan politik, Muhammadiyah telah menempatkan dirinya di tengah-tengah. Di antara kelompok fundamentalisme dan sekularisme, menjadi kelompok yang moderat dan mampu bekerjasama dengan Negara serta pemerintah tanpa kehilangan jati dirinya,” imbuhnya.

Prof Sunyoto juga melanjutkan bahwa saat ini, peta kelompok-kelompok tersebut sudah menjadi semakin kompleks dan beragam.

“Melihat bagaimana gerakan-gerakan yang muncul dari peta tersebut melawan politik atau Negara, saat ini sudah sampai di titik trans-nasional. Musuh dari fundamentalisme ini adalah siapapun yang dianggap memiliki kedekatan dengan barat,“ imbuhnya.

Menghadapi persoalan ini, yang dibutuhkan adalah kepekaan dari MPK dalam melihat situasi ini untuk memembina kader-kadernya. Di samping itu pula, kader-kader Muhammadiyah harus menjadi mereka yang mampu mengembangkan berbagai inovasi, kreasi, dan juga yang disebut dengan sosialpreneurship.

“Para kader, harus memiliki inovasi dan kreativitas yang lalu dirangkum menjadi apa yang disebut sosialpreneurship. Dengan dengan mission driven yang ditanamkan oleh Muhammadiyah, mampu menghasilkan sesuatu yang hasilnya akan dikembalikan kepada kepentingan persyarikatan serta masyarakat,” tandasnya. (Thari)

Exit mobile version