Prof Dr Ahmad Syafii Maarif: Muhammadiyah Gerakan Ilmu

Prof Dr Ahmad Syafii Maarif: Muhammadiyah Gerakan Ilmu

Konsep “Muhammadiyah Gerakan Ilmu” sudah hampir berusia 30 tahun sejak pertama kali digulirkan pada tahun 1985. Pengagasnya Prof Dr H Ahmad Syafii Maarif, waktu itu menjadi anggota Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Setelah menjadi Ketua PP Muhammadiyah (2000-2005) pemikiran itu terus digulirkan. Beliau kini menjadi guru bangsa, menyuarakan isu-isu kemanusiaan dan kebangsaan yang melintasi.

Namun hingga kini, gerakan ilmu di Muhammadiyah masih terasa lemah. Kehadiran perguruan tinggi yang berkualitas diharapkan mampu melahirkan kader-kader ilmuwan atau para sarjana yang akan mewarnai jajaran struktural di Muhammadiyah. Gerakan ilmu juga diorientasikan untuk melahirkan kader-kader ilmuwan yang mumpuni agar arah gerakan Muhammadiyah mampu menjadi penentu keberlangsungan kehidupan bangsa ini.

Berikut ini petikan wawancara Suara Muhammadiyah bersama Prof Dr Ahmad Syafii Maarif, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, yang pertama kali menggagas dan terus menyuarakan  konsep ini. Wawancara dilakukan wartawan SM, saudara Mu’arif.

Bagaimana konsep gerakan ilmu yang pernah Buya gulirkan?
Saya pertama kali mengucapkan konsep tersebut waktu belum menjadi Ketua PP Muhammadiyah. Tepatnya, pada tahun 1985 di Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Jakarta. Reaksi yang keras disampaikan oleh saudara Lukman Harun. Katanya, Muhammadiyah gerakan dakwah saja sudah berat, ditambah lagi dengan gerakan ilmu. Tetapi menurut saya, dia tidak paham dengan konsep ini.

Kalau gerakan atau aktivisme tanpa didukung dengan ilmu pengetahuan, maka tujuannya jadi tidak jelas. Jadi, ilmu pengetahuan itulah yang menjelaskan mau ke mana arah kita. Apalagi ilmu-ilmu sosial, seperti sejarah, sosiologi, antropologi, dan sebagainya itu penting sekali. Dengan membaca ilmu-ilmu itu, kita akan tahu Muhammadiyah sedang berada di mana dan ajaran Islam yang akan kita bumikan sudah sampai di mana. Tentu harus ada evaluasi terus menerus.

Saya agak risau. Din Syamsuddin sudah mengutip pendapat ini, yakni “antara Muhammadiyah gerakan pembantu dan penentu”. Gerakan pembantu artinya kita membantu negara di bidang kesehatan, pendidikan, dan sosial-kemanusiaan. Ini bagian dari gerakan al-amru bil ma’ruf yang memberikan semacam nafas hidup bagi Muhammadiyah. Kita memang relatif berhasil dibandingkan yang lain. Tetapi sampai kepada an-nahyu ‘anil munkar, Muhammadiyah sebenarnya tidak bisa berbuat apa-apa. Kita adu kualitas dengan kondisi bangsa kita sekarang ini setelah 103 tahun Muhammadiyah bergerak, kemunkaran makin lama makin merajalela. Bentuknya bisa korupsi, kerusakan lingkungan, pemerintahan yang tidak baik, politisi rabun ayam. Itulah bentuk-bentuk kemunkaran. Muhammadiyah tidak menghadapinya.

Saya pernah menyampaikan dalam Sidang Tanwir di Bali 2003, “Jika bangsa ini tersungkur, Muhammadiyah pasti akan tersungkur. Karena Muhammadiyah adalah bagian dari bangsa ini.”

Oleh karena itu, sebagai gerakan ilmu, saya rasa dengan adanya perguruan tinggi yang sekarang jumlahnya 176 menjadi kesempatan kita untuk mengembangkan budaya ilmu dalam Muhammadiyah. Itu harus diprogramkan. Dari pusat-pusat ilmu itulah diharapkan nanti akan melahirkan tokoh-tokoh bangsa dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, keumatan, dan persyarikatan. Saya tidak mau konsep ini dibalik, dari wawasan persyarikatan dulu, kemudian kebangsaan dan kemanusiaan. Ini terlalu sempit. Jadi, saya ingin masuk lewat jendela kemanusiaan yang sangat lebar. Sesuai pesan Al-Qur’an, wamaa arsalnaaka illaa rahmatan lil ‘alamiin. Ini kan sangat sentral.

Seberapa matang konsep gerakan ilmu digulirkan ketika jumlah dan kualitas Perguruan Tinggi Muhammadiyah pada tahun 1985 belum terlalu signifikan?
Saya rasa yang namanya gerakan itu memang tidak mudah. Itu jelas memerlukan wawasan dan kesadaran yang mendalam dari pengelola Perguruan Tinggi Muhammadiyah. Kerangka pikir saya agar Muhammadiyah sebagai gerakan penentu, memang harus ada beberapa univeritas Muhammadiyah ternama yang bergerak ke arah situ. Siapkan kader-kader bangsa yang mumpuni, dari sisi apapun masyarakat akan menerima. Nanti partai politik maupun negara pun akan menerima karena kita mampu. Nah, kita belum punya itu.

Mengapa seperti itu? Dalam bacaan saya, Muhammadiyah dari awal memang tidak dirancang untuk mengurus negara, sampai hari ini. Jadi, apakah 100 tahun yang akan datang akan tetap seperti itu? Inilah yang saya pertanyakan.

Jalur paling strategis untuk implementasi konsep Muhammadiyah gerakan ilmu baru perguruan tinggi, adakah jalur lain yang potensial?
Jadi begini, nantinya akan ada pimpinan cabang maupun ranting yang lulusan perguruan tinggi atau para sarjana. Jadi arahnya ke situ. Harapannya nanti ada diskusi-diskusi yang ilmiah dalam kepengurusan cabang maupun ranting di Muhammadiyah. Bahwa tanpa ilmu pengetahuan, kita tidak akan ke mana-mana. Tentu ilmu pengetahuan ada terapannya. Sekalipun teknologi ini harus diwaspadai juga.

Saya baru baca pendapat dari seorang fisikawan ateis dari Inggris, Stephen William Hawking, bahwa bencana bagi ras manusia ini akan terjadi atau sedang terjadi kalau kita dikendalikan oleh apa yang disebut kecerdasan artifisial. Misalnya, komputer, i-phone, ipad, dan anehnya alat-alat tersebut yang mengontrol kita. Sekalipun pencipta alat-alat tersebut adalah manusia, tetapi telah mengontrol kehidupan manusia. Inilah menariknya pernyataan seorang ilmuwan sekalipun ia seorang ateis.

Paradigma dikhotomi keilmuan masih mempengaruhi mindset umat, lalu bagaimana implementasi gerakan ilmu dalam Muhammadiyah?  
Ini karena kita belum sampai pada rumusan kesatuan ilmu pengetahuan. Konsep unity of knowledge itu penting sekali. Kalau kita merujuk Al-Qur’an, qul inna shalaati wa nusukii wa mahyaayaa wa mamaati lillahi rabbil ‘alamiin, itu tidak ada yang sekuler. Hidup dan matiku hanya untuk Allah. Tidak ada yang duniawi karena itu adalah sarana untuk akhirat. Dan di akhirat kita tidak akan berjaya kalau di dunia justru kandas. Itulah urgensinya ilmu pengetahuan. Jadi, konsep-konsep seperti itu memang masih perlu disebarkan lebih luas.

Oleh sebab itu, untuk mempercepat proses ini, di samping harus membaca majalah Suara Muhammadiyah, mulailah di tingkat cabang atau ranting supaya menggerakkan tradisi membaca buku-buku atau tulisan-tulisan yang menggugah perhatian, yang merangsang rasa ingin tahu, merangsang otak. Tanpa itu semua jelas tidak bisa. Muhammadiyah bercita-cita mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, tetapi tanpa ilmu pengetahuan tidak akan bisa.

Menurut Buya, tradisi keilmuan di lingkungan Muhammadiyah sampai sejauh ini seperti apa?       
Menurut saya masih sangat lemah. Memang ada sedikit kemajuan, tetapi Majelis Tarjih sendiri belum terlalu maju karena masih berkutat pada persoalan hukum-hukum saja, tetapi soal kemanusiaan juga harus dikaji. Ini yang dimuat di majalah Al-Manar tentang Fikih Kebhinnekaan sudah cukup bagus. Malah saya dengar, hasil Munas Tarjih tahun 2010 yang belum ditanfidzkan, katanya sudah ada keputusan yang membolehkan perempuan menjadi presiden. Saya kira ini sudah cukup hebat.• (Mu’arif)     

Exit mobile version