Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah sebagai salah satu organisasi otonom yang lahir dari rahim Muhammadiyah dituntut untuk tidak statis. Kiprahnya yang mewakili kalangan akademisi atau mahasiswa haruslah lebih progresif dan memiliki sumbangsih yang mumpuni. Terutama dalam mereproduksi gagasan-gagasan pembaharuan, demi kemaslahatan persyarikatan, umat, dan bangsa. Di abad kedua, tantangan yang dihadapi jauh lebih besar dan membutuhkan pensikapan yang lebih konstektual. Untuk itu, kerja-kerja intelektual dan api pembaharuan tidak boleh padam. Hal itu mengemuka dalam beberapa sesi perkaderan IMM Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, pada 15-17 Januari 2016, di Ponpes dan Panti Asuhan Muhammadiyah Abdul ‘Alim, Imogiri.
“Kaum muda Muhammadiyah harus paham dengan Tajdid yang diusung oleh Muhammadiyah. Dengan pemahaman itu nantinya diharapkan mereka bisa menjadi penggerak tajdid, dengan dua sayapnya; purifikasi dan modernisasi. Purifikasi dilakukan dalam ranah ibadah mahdlah dan modernisasi atau dinamisasi diwujudkan dalam ranah ibadah sosial dan selain ibadah mahdlah,” ujar Dr. Muhammad Amin, MA., dosen UIN Sunan Kalijaga yang juga Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Dikatakannya, dalam amal keseharian, para kaum muda Muhammadiyah harusnya sudah berada pada tingkatan muttabi’ (ittiba’), bukan lagi sebagai muqallid (taqlid). Jika itu bisa dipahami, maka bukan tidak mungkin, kaum muda akan menjadi penggerak di garda terdepan sebagai lokomotif pembaharuan Persyarikatan.
Hal itu dibenarkan oleh peneliti CRCS UGM, Budi Asyhari Afwan, MA., yang menyatakan bahwa Muhammadiyah harus bisa merebut setiap momentum yang ada. “Dalam banyak kesempatan, kaum muda Muhammadiyah banyak didahului oleh angkatan muda dari ormas lain. Untuk bisa terus eksis, angkatan muda Muhammadiyah harus lebih dinamis dengan tetap berpijak pada prisip dasar yang digariskan oleh Muhammadiyah. Warga Muhammadiyah perlu untuk menterjemahkan ulang dan mereproduksi makna MKCH sebagai sebuah produk ideologi dalam kehidupan di abad modern,” katanya di hadapan para peserta perkaderan.
Sementara itu, Dr. Mutiullah Hamid, dari Lembaga Pengembangan Cabang dan Ranting Pimpinan Pusat Muhammadiyah, mengungkapkan bahwa dalam arah gerakan pembaharuan Muhammadiyah abad kedua, Muhammadiyah harus bisa mempertahankan dan mengembangkan tiga komponen utama yang selama ini melekat pada tubuh persyarikatan, yaitu; al-firqah (paradigma berpikir), al-jamaah (sistem organisasi), dan al-amal (kerja nyata).
Menurutnya, “Selama ini Muhammadiyah telah hadir di semua lini dengan berbagai kerja real. Menurut data terbaru, 12 persen atau sekitar 8.107 desa di seluruh Indonesia telah berdiri ranting Muhammadiyah. Mereka yang di ranting inilah sebagai ujung tombak yang melakukan tajdid di ranah grass root. Muhammadiyah juga sedang mengembangkan dakwah komunitas, yang tidak hanya diisi dengan pengajian rutin, tapi juga diselingi dengan pemberdayaan ekonomi. Komunitas-komunitas itu sering dinamakan GJDJ (Gerakan Jamaah Dakwah Jamaah).” (Ridha)