Watak Muslim

Watak Muslim

M Muchlas Abror Dok SM

Mendengar, melihat, dan membaca berita, baik melalui media cetak atau elektronik beberapa waktu yang lalu. Tentang kerusuhan antar umat beragama yang terjadi di wilayah Aceh, Papua, dan Sulawesi Utara. Kita pasti prihatin atas berbagai kejadian tersebut. Alhamdulillah cepat diatasi. Kondisi di masing-masing semoga semua terus membaik dan tidak meluas ke daerah lain. Beberapa kejadian itu untuk kesekian kalinya menyadarkan kepada siapa pun yang tinggal di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). NKRI ini, memang, terdiri dari banyak suku dan penduduk yang agamanya beragam. Karena itu, penduduk harus dapat menjaga diri dari segala tipudaya adu domba.

Kita beragama Islam. Kita umat Islam atau kaum Muslimin. Sudah selayaknya, sikap, perilaku, dan perbuatan kita dalam kehidupan sehari-hari mencerminkan watak kita sebagai kaum Muslimin. Sebab, Islam yang telah kita pilih dengan kesadaran menjadi agama kita telah mengajarkan dan mendidik kita. Sehingga, terbentuklah kita menjadi manusia yang berpribadi, atau berwatak baik. Kita aktif turut membangun Negara bersama komponen bangsa lainnya. Tampil berperan mengisi kemerdekaan untuk melanjutkan perjuangan para pendahulu kita. Selain itu, harus terus dapat menjaga diri dari segala tarikan yang hendak mengadu domba sesama umat seagama, antar umat beragama, dan antar umat beragama dengan pemerintah.

Ada empat hal yang hendak saya sampaikan dalam tulisan berikut ini.
Pertama, kasih sayang. Islam, yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw, adalah agama rahmah bagi semesta alam (Qs Al-Anbiya’ [21]: 107). Islam mengasihi dan memberikan kebaikan secara nyata kepada seluruh alam. Agar manusia bisa hidup antara sesama dengan kecintaan, kedamaian, dan kesejahteraan. Rahmah kasih sayang itu bukan hanya bagi kaum Muslimin dan Mukminin saja. Tetapi juga bagi yang lain dan bahkan semuanya. Islam yang diturunkan Allah sebagai agama rahmah itu sejalan dengan sifat dasar-Nya adalah cinta kasih (Qs Al-An’am [6]: 12). Erat hubungannya dengan itu, Nabi Muhammad saw suatu waktu pernah diiminta berdoa untuk keburukan orang-orang musyrik. Beliau menjawab, “Saya diutus tidak untuk menjadi pelaknat. Saya diutus hanyalah untuk menjadi rahmah” (HR Muslim).

Kedua, dakwah. Umat Islam berkewajiban dakwah (Qs Ali Imran [3]: 110 dan 104). Karena umat ini bukan umat egois yang memonopoli kebenaran, kebaikan, dan petunjuk untuk dirinya sendiri. Dakwah yang disampaikan kepada orang dan masyarakat dengan bahasa yang santun. Atau seperti yang dilakukan oleh Muhammadiyah lewat pendidikan, kesehatan, pelayanan sosial, ekonomi, budaya, dan sebagainya. Semuanya dilakukan tanpa kekerasan karena itu bukan watak Muhammadiyah. Apa yang telah, sedang, dan akan terus dilaksanakan Muhammadiyah besar arti dan manfaatnya bagi bangsa Indonesia dan kemanusiaan.

Ketiga, wasathiyyah (pertengahan). Umat Islam, sebagai umat pilihan dan adil, agar menjadi saksi atas perbuatan manusia dan Rasulullah saw menjadi saksi atas perbuatan kita, sebagai umatnya. Sekadar contoh bahwa dalam pertandingan olahraga apa pun pasti ada wasit (satu rumpun dengan kata wasathiyyah). Kehadiran wasit sangat menentukan. Karena sebagai pengatur/pemimpin pertandingan. Siapa pun yang hendak menjadi wasit syarat mutlak yang tak bisa ditawar adalah harus adil. Kata adil ini pun bertebaran dalam Al-Qur’an. Wasit tidak boleh berat sebelah dalam memimpin pertandingan. Nah, di tengah perkembangan pemikiran di zaman yang terus berkemajuan, umat Islam harus solid, teguh bersatu, terus meningkatkan kualitas diri, dan tidak gampang diadu domba. Dengan sikap wasathiyyah, merujuk pada Qs Al-Baqarah [2]: 143, kaum Muslimin memang harus siap untuk memberi kesaksian kepada manusia dan menjadi posisi pendidik umat manusia.

Keempat, toleransi dan dialog. Setiap pemeluk agama meyakini kebenaran agamanya masing-masing memang seharusnya demikian. Bahkan, berpegang teguh kepada keyakinan agamanya tentu hal itu baginya tidak salah. Karena memang sesuai dengan keyakinannya. Selain itu, antar umat beragama hendaklah saling toleransi (Qs Al-Kafirun [109] : 6), berlapang dada. Antar umat beragama mestilah setuju dalam perbedaan, tetap menjaga persatuan sesuai semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Nah, yang terkadang menimbulkan konflik antara lain adalah soal penyiaran agama dan pendirian tempat ibadah. Biasanya dialog konstruktif antar pemuka umat beragama diselenggarakan setelah terjadi konflik. Alangkah baiknya bila dialog secara berkala dapat diselenggarakan sebelum terjadinya konflik.
Demikianlah watak pribadi Muslim yang bertanggungjawab.•

Exit mobile version