Dalam sebuah Hadits Rasulullah pernah bersabda:
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata baik atau diam, siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia memuliakan tetangga dan siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia memuliakan tamunya.” (HR Bukhari dan Muslim)
Hadits riwayat Bukhari-Muslim ini mengisyaratkan adanya keterkaitan antara iman dan lisan, antara keyakinan dan perkataan. Keterkaitan itu bukan hanya terjalin karena iman itu memang harus diucapkan dengan lisan, melainkan juga karena pengejawantahan iman dan takwa itu harus diwujudkan dalam perbuatan dan, terutama, perkataan.
Dalam Qs Al-Ahzab: 70-71, Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan berkatalah dengan perkataan yang benar, niscaya Allah akan memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.”
Keterkaitan iman dan perkataan tidak jauh beda dengan keterkaitan antara hati dan lisan. Artinya, iman yang benar itu muncul dari hati yang tulus. Ketulusan iman di hati ini harus diucapkan dengan lisan dan diwujudkan dalam perbuatan. Dalam hal ini, kisah Lukman al-Hakim yang diriwayatkan Imam Ahmad dalam “Kitab Zuhud” dari Khalid bin Rabi’, menjadi menarik.
Dulu, Lukman yang bijaksana itu pernah dimintai tolong oleh majikannya untuk menyembelih seekor kambing. Setelah selesai dikuliti dan diambil dagingnya, sang majikan meminta supaya ia diambilkan daging atau organ kambing yang terbaik. Lukman kemudian mengambil hati kambing untuk diberikan kepada majikannya. Masih belum puas, sang majikan pun meminta satu lagi dari organ kambing yang terbaik. Lukman lalu mengambil lidahnya.
Setelah mengambil yang terbaik, majikannya meminta kepada Lukman untuk menyembelih satu kambing lagi. Selesai dikuliti, sang majikan meminta untuk diambilkan organ tubuh kambing yang terburuk. Anehnya, Lukman mengambil barang yang sama, yaitu hati dan lidah. Maka, sang majikan bertanya, “Mengapa yang terbaik dan yang terburuk itu sama?” Lukman berkata, ‘Tidak ada sesuatu yang lebih baik dari keduanya jika keduanya baik, dan tidak ada sesuatu yang lebih buruk dari keduanya, jika keduanya buruk.”
Mengingat begitu menentukannya hati dan lisan, Rasulullah hingga bersabda, Ala wa inna fil-jasadi mudhgah. idza shaluhat shaluha al-jasadu kulluh, waidza fasadat fasada al-jasadu kulluh. Ala wainna hiya al-qalb. “Di dalam tubuh kita ada segumpal daging, yang apabila dia baik, maka baiklah seluruh tubuh, dan apabila dia buruk, maka buruklah seluruh tubuh itu. Ketahuilah segumpal daging itu adalah hati.” (HR Bukhari).
Dalam riwayat lain, Rasulullah juga bersabda, “Hati itu bagaikan raja, dan hati itu memiliki bala tentara. Apabila raja itu baik, maka baiklah seluruh bala tentaranya, dan apabila hati itu buruk, maka buruklah seluruh bala tentaranya.” Dan keterkaitan antara keduanya pun sangat kuat. Hubungan keduanya digambarkan Rasulullah, “Tidak akan sempurna iman seorang hamba kecuali bersih hatinya, dan tidak akan bersih hatinya kecuali lidahnya benar.”
Begitu pula dengan lidah, sebagaimana diriwayatkan Imam At-Tirmidzi, Rasulullah saw bersabda, “Jika tiba waktu pagi, maka seluruh bagian tubuh manusia akan menyerang lidah dan berkata kepadanya, ‘Bertakwalah kamu kepada Allah karena kebahagiaan kami semua bergantung padamu, begitu pula kecelakaan kami semua bergantung padamu juga.”
Di hari pembalasan nanti manusia tinggal ditentukan kebersihan hatinya. Sebagaimana doa Nabiyullah Ibrahim dalam Qs Asy-Syu’ara: 87-89, “Dan janganlah Engkau hinakan aku pada hari saat mereka dibangkitkan, (yaitu) di hari harta benda dan anak-anak tidak berguna lagi, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih”.
Di Hari Akhir nanti, lidah, lisan dan mulut manusia juga akan dikunci. Dalam Qs Yasin: 65, “Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan-tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.” Semoga kita bisa menjaga hati dan lisan kita. Amien. Wallahu a’lamu.•
***) Bahrus Surur-Iyunk