Mukhaer Pakkanna; Muhammadiyah dan Nasionalisme Ekonomi

riba

Foto Dok Ilustrasi

Pada medio April 2015 lalu, Muhammadiyah bersama beberapa tokoh nasional dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) mengajukan judicial review terhadap tiga Undang-Undang di bidang ekonomi, yakni UU No. 24 tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar, UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal, dan UU No. 30 tahun 2009 tentang Ketenagalis­trikan. Sebelumnya, Muhammadiyah dengan mitranya, telah “sukses” melakukan jihad konstitusi di forum Mahkamah Konstitusi (MK), terutama berkaitan UU No. 22  Tahun 2011 tentang Migas dan UU No. 7 Tahun 2004  tentang Sumberdaya Air.

Lantas, mengapa Muhammadiyah menganggap bahwa jihad konstitusi di bidang ekonomi itu penting? Setidaknya didasari pada, pertama, amanah Muktamar Muhammadiyah (Malang dan Yogyakarta) yang merekomendasikan melakukan review terhadap beberapa UU yang dianggap “menganiaya” kepentingan publik. Paling tidak, ada sekitar 105 UU yang perlu ditelaah eksistensinya. Kedua, sebagai ormas keagamaan, Muhammadiyah memiliki pretensi memproteksi kepentingan publik, yang tentu pada gilirannya berkepentingan menyelamatkan nasib bangsa dari kesewenangan kuasa politik dan modal. Ketiga, dengan judicial review, Muhammadiyah mengimajinasikan sebuah konstruksi UU baru yang didasarkan pada prinsip keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum bagi warga.

Dengan demikian, muara dari semua alasan jihad konstitusi di bidang ekonomi itu adalah bagaimana membangun spirit nasionalisme ekonomi, yakni rasa cinta atas kedaulatan dan kemandirian ekonomi nasional. Maka, merujuk Hans Kohn dalam  The Idea of Nationalism: A Study In Its Origins and Background (1961), spirit nasionalisme secara fundamental timbul dari adanya national counciousness. Dengan kata lain, nasionalisme adalah formalisasi dan rasionalisasi dari kesadaran nasional berbangsa dan bernegara itu sendiri.

Pudarnya Elan Nasionalisme
Menukik substansi dari ketiga UU itu, sungguh sangat miris. Dalam konteks UU No. 24/1999 tentang Lalu Lintas Devisi dan Sistem Nilai Tukar misalnya, setidaknya catatan penting, yakni, pertama, spirit liberalisme cukup kental, karena UU itu lahir dari proses politik dalam interaksinya dengan IMF (International Monetary Fund). Statemen pasal 2 (1) secara jelas menjustifikasi liberalisme itu “Setiap penduduk dapat dengan bebas memiliki dan menggunakan devisa”.

Padahal penduduk yang dimaksud pasal ini adalah, orang, badan hukum, atau badan lainnya, yang berdomisili atau berencana berdomisili di Indonesia sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun. Dengan demikian, tidak mengherankan jika setiap penduduk atau berencana berdomisili di Tanah Air, bebas menggunakan transaksi mata uang asing. Inilah yang mengonfirmasi, mengapa kedaulatan rupiah digerus oleh mata uang asing, rupiah menjadi tidak berdaulat di negerinya sendiri.

Kedua, konsekuensi hilangnya kedaulatan mata uang rupiah, maka kurs rupiah selalu terpuruk, bahkan menjadi “mata uang sampah” (currency garbage) sebagaimana laporan the Richest (2014), rupiah selevel dengan mata uang sampah lainnya, seperti Kip Laos, Dong Vietnam, Dobra Afrika, Rubel Belarusia, Rial Iran. Implikasinya, kepastian usaha menjadi limbung, sehingga memicu banyaknya pelaku usaha memarkir dana hasil keuntungan devisa ekspornya di luar negeri. Di Singapura misalnya, pada 2013, dana hasil ekspor di parkir dalam kisaran US$250 milyar atau Rp 2.500 triliun, yang diasumsikan dana keuntungan yang diparkir harus di atas US$ 1 juta.

Padahal sejak 2012, telah dikeluarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.13/20/PBI/2012 dan Surat Gubernur BI No.14/3/GBI/SDM yang mewajibkan hasil devisa ekspor sesudah 90 hari kalender harus ditarik kembali ke Tanah Air. Sayang, PBI dan SK tersebut lumpuh sebelum direalisasikan.

Demikian juga pada UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal, tercatat klausul yang sangat riskan dan menohok rasa nasionalisme, yakni pasal 8 (1):  “Penanam modal dapat mengalihkan aset yang dimilikinya kepada pihak yang diinginkan oleh penanam modal”.  Pasal ini jelas telah memberi ruang sangat besar kepada penanam modal di mana keuntungan dari hasil usaha dengan seenaknya dipindahkan ke luar negeri.

Ini pula yang mengonfirmasi, mengapa usaha PMA dengan mudah memperoleh izin penguasaan hingga 85,4% untuk investasi migas, sebesar 99% untuk investasi bidang perbankan, dan sebesar 85% untuk usaha keuangan. Bahkan, secara eksplisit tertuang dalam PP 77/2011 tentang Bidang Usaha Tertutup dan Terbuka bagi PMA, pada bagian c) dinyatakan batas kepemilikan modal untuk usaha yang bergerak dalam bidang Ekonomi, Sumber Daya Mineral (ESDM) hingga mencapai 95%.
Selanjutnya, dalam UU 30/2009 tentang Ketenagalistrikan, memberi peluang bagi investasi asing untuk membuka usaha penyediaan tenaga listrik di Tanah Air. Pasal 4 (2) menegaskan: “Swasta, Koperasi, dan Swadaya masyarakat bisa menyediakan tenaga listrik”. Padahal ketenagalistrikan adalah domain komoditas publik, yang jika diberikan peluang bagi swasta masuk, terutama PMA, telah memicu tarif listrik pun menjadi mahal. Itulah yang mengonfirmasi mengapa tarif listrik secara kontinyu terus bergerak naik, tanpa mempertimbangkan daya beli masyarakat yang berada pada level riskan.

Nasionalisme Ekonomi
Nasionalisme ekonomi pudar karena regulasi telah memberi “karpet merah” kepada pemilik kuasa modal dan politik untuk berdaulat. Dampaknya, identitas ekonomi nasional yang didasarkan pada makna ideologi ekonomi Pancasila telah kehilangan arah. Makna pasal 33 UUD 1945 di mana kebijakan ekonomi tidak lagi “disusun” sesuai makna konstitusi ekonomi nasional, tapi dibiarkan “tersusun” sendiri oleh mekanisme pasar. Secara imperatif, Negara menyusun, negara mendesain sistem kelembagaan. Kata Swasono (2010), wujud “ketersusunan”, yaitu sebagai usaha bersama berdasar mutualisme (kepentingan bersama). Di situlah sejatinya letak arah dan orientasi demokrasi ekonomi yang terkubur di negeri ini atas nama regulasi yang bias pemilik kuasa modal dan politik.

Abainya ekonomi nasional pada makna nasionalisme ekonomi, meniscayakan hilangnya arah ekonomi Indonesia. Sehingga, Indonesia tidak perlu lagi membangun arah ekonomi yang  menjamin kemakmuran bersama, kepentingan masyarakat lebih utama dari kepentingan orang-seorang. Tidak perlu lagi berorientasi menjamin hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara untuk kesejahteraan bersama. Maka, ideologi ekonomi Pancasila pun otomatis dikubur

Nasionalisme ekonomi memastikan negara tidak boleh menjadi jongos bagi sekelompok kecil elite ekonomi dan politik. Bagi Muhammadiyah, harus menjadi keyakinan kolektif, bahwa melalui nasionalisme ekonomi akan mampu menepis paradoks wajah ekonomi Indonesia selama ini, yakni negeri yang terkenal kaya-raya, tetapi rakyatnya banyak melarat. Meminjam ungkapan Bung Karno (1964), nasionalisme ekonomi Indonesia adalah turunan langsung dari sosio-nasionalisme. Artinya, nasionalisme ekonomi Indonesia memang memuliakan kolektivisme dan menentang kapitalisme. Wallahu ‘alam.•
______________________
Mukhaer Pakkanna, Ketua STIE Ahmad Dahlan Jakarta
dan Wakil Ketua MEK PP Muhammadiyah

Exit mobile version