Nalar Autentik Jihad Keberdayaan

Nalar Autentik Jihad Keberdayaan

Di awal berdirinya Muhammadiyah sangat kuat sebagai gerakan sosial. Ini bisa dilihat dari aksi kepeloporan sosial kemasyarakatan yang dilakukan kala itu dengan menyantuni fakir-miskin, gelandangan, yatim-piatu, pelayanan pendidikan dan kesehatan yang gratis kepada semua lapisan masyarakat, menampung orang miskin dalam rumah miskin dengan memberikan latihan kerja, memberikan pertolongan kemanusiaan (humanitarian rescue) kepada korban letusan Gunung Kelud dan kebakaran di Yogyakarta dan lain sebagainya. Muhammadiyah lahir dengan setting kemiskinan masyarakat Indonesia (dulu Hindia Belanda) lengkap dengan kompleksitas permasalahan turunannya.

Pada awal berdiri Muhammadiyah itulah, aksi-aksi pemberdayaan meminjam bahasa yang dipakai saat itu adalah Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO) dilancarkan. Seiring dengan berjalannya waktu, dengan semakin berkembangnya organisasi Muhammadiyah dan amal usahanya, praksis PKO mengalami penyempitan peran yang hanya dibatasi pada bidang layanan kesehatan yang kita kenal dengan Pembina Kesehatan Umum (PKU). Dalam perkembangannya, semakin ke sini proses pemberdayaan masyarakat berlangsung hanya di seputaran lingkup amal usaha dan sekitarnya, tidak lagi menjadi gerakan masif yang terstruktur dengan baik.

Krisis ekonomi 1998 yang berdampak pada meluasnya kemiskinan dan penderitaan rakyat, seolah menjadi triger kesadaran Muhammadiyah untuk kembali kepada nalar autentiknya sebagai pembela kelompok miskin. Mulai muktamar Muhammadiyah ke-44 tahun 2000 di Jakarta, muncul kesadaran kolektif bahwa Muhammadiyah harus hadir kembali ke tengah-tengah masyarakat dengan menjadi penolong dan pemecah persoalan masyarakat secara langsung. Muncullah Lembaga Pemberdayaan Buruh Tani Nelayan (LPBTN) PP Muhammadiyah. Komitmen dan kesadaran semakin mengkristal ketika Muktamar Muhammadiyah ke-45 tahun 2005 di Malang, yang secara konkret menelurkan program tentang pemberdayaan masyarakat sehingga mengilhami pengurus PP Muhammadiyah hasil Muktamar tersebut membentuk majelis baru yang bernama Majelis Pemberdayaan Masyarakat. Sasaran yang menjadi bidang garap MPM adalah apa yang menjadi tugas dan tanggungjawab LPBTN yakni kelompok Buruh, Tani dan Nelayan dengan perluasan terhadap kelompok marjinal lainnya (dhu’afa-mustadh’afin) seperti kelompok miskin kota, suku terasing, dan penyandang disabilitas.

Tauhid Sosial dan Al-Ma’un
Komitmen keberpihakan Muhammadiyah dalam konteks kekinian bisa kita lacak dalam tradisi pemikiran Muhammadiyah melalui tokoh-tokoh Muhammadiyah. Di antara tokoh Muhammadiyah yang punya komitmen keberpihakan yang kuat tersebut di antaranya adalah Amien Rais yang terkenal dengan Tauhid Sosialnya. Amien sangat keras melakukan kritik sosial terhadap ketimpangan yang terjadi di masyarakat. Kritik sosial yang dilakukan oleh Pak Amien berangkat dari titik pusat kesadaran beragama yaitu tauhid.

Bagi Amien, tauhid menuntut ditegakkannya keadilan sosial, karena dilihat dari kacamata tauhid segala gejala eksploitasi manusia atas manusia merupakan pengingkaran terhadap persamaan derajat di hadapan Allah. Jurang yang menganga lebar antara lapisan kaya dan lapisan miskin dan kehidupan yang eksploitatif merupakan fenomena yang anti tauhid.
Konsep tauhid menurut Amien tidak hanya sebatas pada hubungan vertikal dengan Tuhan, melainkan juga mencakup hubungan horizontal untuk mengusahakan tegaknya keadilan sosial. Tauhid sebagai titik sentralnya merupakan bagian integral dari komitmen untuk menegakkan kebenaran, keadilan, memberantas kerusakan di muka bumi, menegakkan orde sosial yang adil, etis dan egaliterian. Umat islam selain harus meneguhkan keyakinan bertauhid melalui pemahamam akidah yang benar juga kongkret kepada masyarakat. Melalui tauhid sosial kita bisa melihat kuatnya komitmen dan keberpihakan Amien Rais pada ketimpangan dan ketidakadilan di masyarakat.

Senyampang dengan Amien Rais, tokoh Muhammadiyah yang sangat konsern terhadap problem sosial masyarakat adalah Moeslim Abdurahman. Dalam esai-esainya Moeslim menuangkan kegelisahannya pada persoalan yang dia sebut sebagai orang-orang yang tersisih. Islam Transformatif merupakan teologi praksis sosial yang menterjemahkan agama sebagai alat perjuangan dan keberpihakan kepada orang miskin. Transformasi harus menjadi gerakan kemanusiaan, yang menumbuhkan kepedulian pada nasib sesama dan yang menumbuhkan aksi solidaritas. Bagi Kang Moeslim transformasi merupakan jalan yang paling manusiawi untuk mengubah sejarah melalui proses pendampingan.

Sosok yang terakhir yang sangat kuat komitmennya terhadap orang miskin adalah Said Tuhuleley. Seperti halnya dengan Pak Amien dan Kang Moeslim, Said Tuhuleley (Ketua MPM PP Muhammadiyah periode 2005-2010, 2010-2015) melandaskan gerakan pemberdayaan pada semangat praksisme Al-Ma’un. Said Tuhuleley, mencoba menarik benang merah antara gagasan Tauhid Sosial Amien Rais dan Islam Transformatif Moeslim Abdurahman menjadi lebih praksis.

Bagi Said Tuhuleley upaya pemberdayaan masyarakat yang dilakukan Muhammadiyah adalah dengan menjadikan Al-Qur`an sebagai basis nilai yang menginspirasi gerakan pemberdayaan masyarakat. Surat Al-Ma’un memberi inspirasi bagi dikembangkannya berbagai aktivitas untuk memberdayakan masyarakat yang miskin dan terpinggirkan, tetapi sekaligus dengan itu mendorong juga upaya serius dalam rangka menjamin ketersediaan pangan yang halal dan thayib. Kalau ”tidak menganjurkan memberi makan orang miskin” menjadi salah satu indikator dari para pendusta agama, maka jaminan bagi ketercukupan pangan bagi orang miskin pun menjadi sesuatu yang perlu diperhatikan secara sungguh-sungguh.

MPM dan Jihad Keberdayaan
Gerakan pemberdayaan masyarakat Muhammadiyah menemukan bentuknya secara lebih kongkrit dengan berbagai rintisan model pemberdayaan. Hal tersebut nampak dalam berbagai macam langkah praksis MPM yang berlandaskan pada Jihad Keberdayaan yang mencakup lima medan Jihad, yakni Jihad Menegakkan Kedaulatan Pangan, Jihad Memberdayakan Sektor Informal, Jihad Memberdayakan Kaum Buruh, Jihad Advokasi Kebijakan Publik dan Jihad Memberdayakan Kaum Difabel.
Telah banyak percontohan dan kisah sukses yang ditorehkan majelis ini di dalam mengamalkan spirit Al-Maun. Sampai saat ini sudah lebih dari delapan puluh (80) kabupaten yang sudah dimasuki MPM dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat baik yang ada di Jawa maupun yang di luar Jawa. Percontohan model pertanian terpadu ini bisa dilihat mulai dari Sumatera, Jawa, Sulawesi, Maluku sampai ke Papua. Bahkan melalui kegiatan pemberdayaan ini MPM telah berdiri dua ranting Muhammadiyah, yakni ranting Muhammadiyah di Koto Tinggi, Pariaman, Sumatera Barat dan Ranting Warmon Kokoda di Sorong Papua Barat yang pengurus dan jamaahnya suku asli Papua.

Selain pemberdayaan di sektor pertanian, MPM merintis model pemberdayaan lainnya, di antaranya adalah pemberdayaan kelompok miskin kota-kelompok marginal seperti pengayuh becak, buruh rosok, pedagang asongan, yang semuanya bisa dilihat percontohannya yang cukup berhasil di kota Yogyakarta. MPM juga memberdayakan sektor industri mikro dan kecil yang berbasis usaha rumahan berupa produk olahan hasil pertanian, produk-produk makanan olahan ini cukup berkembang bahkan sering pameran IKM di Jakarta, solo, Yogyakarta dan Malang.

Model pemberdayaan lainnya adalah pemberdayaan penyandang disabilitas, MPM mendampingi mulai dari upaya penguatan organisasi, kecakapan hidup sampai advokasi produk Perda bagi penyandang disabilitas. Kelompok dampingan MPM bagi penyandang disabilitas bisa dilihat di Purworejo, Lendah Kulonprogo dan Ngaglik, Sleman.

Model Pendekatan Pemberdayaan ke Depan
Meskipun kegiatan pemberdayaan masyarakat yang dilakukan Muhammadiyah melalui MPM, sudah nampak hasilnya tetapi apa yang dilakukan oleh MPM dalam pemberdayaan masyarakat ini baru sebatas membuat model seraya mengupayakan masifikasi penerapannya di berbagai tempat. Pendekatan pemberdayaan yang dilakukan MPM sudah saatnya bergeser dari pendekatan dragon fly approach, yakni pendekatan yang mengupayakan kegiatan pemberdayaan masyarakat tetapi baru bisa meninggalkan bekas yang sangat terbatas. Ke depan gerakan pemberdayaan masyarakat harus menggunakan pendekatan virus approach, layaknya virus, kegiatan pemberdayaan yang dilakukan akan meninggalkan bekas yang sangat luas dan masif.

Oleh karena itu dibutuhkan prasyarat untuk menjadikan kegiatan pemberdayaan masyarakat kuat dan masif ersebut, di antaranya, pertama; organisasi dan kelembagaan harus tertata dengan baik dan terbentuk sampai ke tingkat Cabang di seluruh Indonesia sebagaimana yang telah ditentukan dalam aturan organisasi. Konsekuensi dari tertatanya organisasi dengan baik adalah penyediaan sumberdaya manusia. Muhammadiyah sudah seharusnya memikirkan ketersediaannya penggerak pemberdayaan, oleh karena itu pemetaan potensi dan distribusi peran SDM yang ada untuk menggeluti kegiatan pemberdayaan masyarakat mutlak dilakukan. Tidak seharusnya mayoritas kader tersedot hijrah ke politik kepartaian dan kenegaraan, harus ada yang tinggal mengurusi Muhammadiyah dan masyarakat. Ibaratnya, kegiatan pemberdayaan adalah jalan sunyi atau bisa jadi malah gang sempit, becek, dan bau sehingga jarang orang untuk melaluinya berbeda dengan aktivitas politik kepartaian dan kenegaraan yang sedang jadi primadona yang ibaratnya adalah jalan raya yang rame sehingga banyak lalu lalang orang melewatinya.

Kedua, kerja pemberdayaan adalah kerja yang membutuhkan nafas panjang, ketekunan, keuletan dan kesabaran sangat dibutuhkan dalam mendampingi masyarakat. Muhammadiyah tidak bisa menggunakan cara-cara parsial, hit and run, sekali pukul lalu pergi tanpa kembali. Pemberdayaan masyarakat tidak cukup hanya datang memberi pelatihan-pembekalan setelah itu tidak pernah ditindaklanjuti karena berharap masyarakat berinisiatif melanjutkannya sendiri. Dalam pemberdayaan, masyarakat harus “ditongkrongi” sampai kita bisa memastikan bahwa masyarakat sudah benar-benar bisa berdaya dan mandiri.
Ketiga,  dibutuhkan sinergi dan kemitraan, kerja pemberdayaan adalah kerja berjejaring, bergandengan tangan dalam mengatasi persoalan hidup masyarakat yang tidak ringan membutuhkan kerjasama dengan berbagai pihak. Kita tidak boleh “jumowo” bisa melakukan pekerjaan keumatan itu sendirian. kita harus menyadari betapapun kuat kita, tetapi kita juga punya keterbatasan. Muhammadiyah melakukan pemberdayaan masyarakat melalui MPM tidak akan bisa berjalan dengan baik tanpa ada dukungan dari berbagai pihak. Pihak yang selama ini punya komitmen kuat mendukung kerja-kerja pemberdayaan di intenal Muhammadiyah adalah dari amal usaha dan lembaga zakat yang dikelola Muhammadiyah yakni LAZSIMU. Adapun amal usaha yang selama ini mempunyai kontribusi besar mengiringi kerja-kerja MPM dalam pemberdayaan masyarakat adalah perguruan tinggi Muhammadiyah.•
_________________________
Bahtiar Dwi Kurniawan, Sekretaris Majelis Pemberdayaan Masyarakat PP Muhammadiyah

Exit mobile version