Wayang Kulit merupakan salah satu produk dari budaya Jawa yang di dalamnya mengandung unsur-unsur seni yang luhur. Selain berfungsinya sebagai huburan masyarakat, Wayang Kulit juga sering digunakan sebagai media untuk menyampaikan pesan-pesan moral, baik yang bersumber dari nilai dan norma agama maupun nilai dan norma sosial lainnya. Karena alasan tersebut, pentas Wayang Kulit sengaja disuguhkan untuk menghibur dan menggembirakan masyarakat dalam acara Musyawarah Wilayah Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengan beberapa waktu lalu di Alun-alun kota Kudus.
“Pentas Wayang Kulit disuguhkan di tengah-tengah acara Musywil sebagai bagian dari penerapan konsep dakwah kultural,” demikian kata Musman Tholib, Penanggung Jawab Musywil. “Panitia sengaja memberikan pertunjukan Wayang Kulit ini agar masyarakat melihat bahwa Muhammadiyah juga sangat toleran terhadap produk budaya dan ikut melestarikannya. Salah satunya adalah Wayang Kulit ini.”
Dakwah kultural sendiri, jelas Musman, sudah diputuskan Muhammadiyah dalam muktamarnya sebagai salah satu pendekatan dakwah yang memanfaatkan peran budaya. Agama mutlak dibutuhkan dalam kehidupan sebagai penunjuk arah. Begitu juga dengan fungsi ilmu. Dengan ilmu, manusia akan lebih mudah dalam menjalankan kehidupan ini. Namun demikian, dibutuhkan pula seni agar hidup terasa indah. Kombinasi ketiganya akan menjadikan gerakan dakwah Muhammadiyah terasa humanis. Secara fitrahnya, manusia membutuhkan ketiga hal tersebut. “Dengan agama hidup akan terarah, dengan ilmu hidup menjadi mudah, dan dengan seni hidup terasa indah,” tegas Musman.
Senada dengan Musman Tholib, Sekertaris Steering Committee (SC) Tafsir menyatakan bahwa salah satu prinsip dakwah di Muhammadiyah adalah dakwah yang menggembirakan. Agama tidak semata-mata menyerukan ancaman, akan tetapi juga berisikan kabar gembira. Maka pentas Wayang Kulit ini merupakan salah satu ekspresi dakwah dengan wajah yang menggembirakan, dan bisa diakses serta dinikmati oleh semua orang, betapapun kualitas beragamanya.
Wayang Kulit, jelas Tafsir, adalah bagian dari media dakwah Kultural Muhammadiyah. Apa yang dilakukan oleh PWM Jateng adalah bagian dari membangun dakwah kultural tersebut. Wayang Kulit yang dijadikan sebagai sarana dakwah Muhammadiyah tidak semata-mata mengandung ajaran, namun pada wayang juga ada unsur hiburan. “Artinya sesuatau yang bersifat tuntunan juga bisa dijadikan tontonan yang menarik untuk masyarakat,” jelasnya.
Pementasan Wayang Kulit yang digelar di pusat kota Kudus ini memainkan lakon “Jimat Jamus Kalimasada.” Kata Tafsir, lakon ini sengaja dimainkan karena sangat sesuai dengan logo Muhammadiyah. Simbol Muhammadiyah adalah La illaha illa Allah atau yang sering disebut dengan Kalimat Syahadat. Dalam bahasa Jawa, Kalimat Syahadat disebut Kalimasada. Lakon yang dimainkan pada pentas Wayang Kulit ini, menurut Tafsir, sangat sejalan dengan visi dan tujuan Muhammadiyah.
Menurut Ketut Budiman, salah satu dalang dalam pagelaran wayang tersebut yang juga aktif di kepengurusan Pemuda Muhammadiyah kota Semarang, langkah menjadikan wayang sebagai media dakwah adalah langkah yang baik dan tepat. Sejatinya, antara agama dan budaya tidak dapat dipisahkan. Sekarang ini, apa yang bisa diandalkan dari bangsa Indonesia selain budaya. Pejabat negeri ini sudah terbiasa dengan bermain korupsi dan sulit untuk dijadikan harapan, ilmu pun sudah ketinggalan dengan Amarika dan negara-negara Eropa. “Jadi, apa lagi yang bisa dibanggakan dari negara ini kalau bukan budayanya?”, ujar Ketut.
Ketut menambahkan, budaya adalah satu-satunya harapan besar negara ini. Indonesia memiliki kekayaan budaya yang baik dibanding negara lain. Jika budaya seperti wayang dijunjung tinggi, maka secara otomatis negara juga akan terangkat namanya.
“Bagi saya, asal tidak ada ritual dan persembahan sesaji yang mendekati kepada kesyirikan, budaya sangat sejalan dengan agama, dan Muhammadiyah harus memaksimalkan budaya untuk membangun dakwah kultural yang baik,” pungkas Ketut.
Selain Ketut, ada lima dalang yang mementaskan wayang kulit tersebut. Uniknya, keenam dalang tersebut adalah para aktivis dan warga Muhammadiyah. Keenam dalang tersebut adalah Ki Joko Hadiwijoyo anggota LSBO (Lembaga Seni Budaya dan Olah Raga) PWM Jateng, Yaziz Amil Wakil Ketua Dikdasmen PWM Jateng, Sudana dari Majelis Tabligh PDM Karangayar, Sunhaji Mubaligh PDM Banyumas, dan Dwi Puspita Ningrum alumni Universitas Muhammadiyah Purworejo.• (gsh)