Solo. Selama ini Muhammadiyah sudah bergerak di dua kutub, yaitu kutub Civil Society dan kutub Lembaga Negara. Civil Society lebih kepada infrastruktur dan Lembaga Negara itu subprastruktur. Bahkan dari awal berdirinya, sebelum negeri ini didirikan, Muhammadiyah memang menempatkan dirinya sebagai gerakan Islam yang memiliki karakter Civil Society. Semua itu bisa dilihat dari apa yang sudah dilakukan oleh KH Ahmad Dahlan, khususnya sumbangsih pemikiran beliau yang mampu menjadikan Islam lebih dialogis. Hal itu disampaikan Busyro Muqoddas, Ketua Pimpina Pusat Muhammadiyah, saat diskusi pada Simposium dan Rakernas Lembaga Hukum dan Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Pusat Muhamadiyah, di Solo beberapa hari lalu.
Menurut penjelasan mantan pimpinan KPK tersebut, Ajaran Islam yang dibawa KH Ahmad Dahlan melahirkan pemikiran-pemikiran yang kontemplatif, imajinatif, dan reflektif, karena beliau mampu mempertemukan antara konteks dan nilai-nilai Islam. Di antara pemikiran-pemikaran KH Ahmad Dahlan tersebut adalah tafsir teologis surat al-Maun.
Tafsir al-Maun yang dikembangkan oleh Kh Ahmad Dahlan, lanjut Busyro menggambarkan bagaimana sebuah ajaran Islam bisa dikomunikasikan dengan baik dengan konteks ke-Indonesia-an. Karena pada tafsir tersebut, pendiri Muhammadiyah mampu merumuskan sesuatau yang ideologis, dengan metodologi yang praksis, bahkan agar konsep itu bisa diiplementasikan pada kehidupan nyata, KH Ahmad Dahlan merumuskan al-Maun sampai kepada tataran aksi-aksi yang konkrit.
Sekarang ini, kata Busyro, tugas Muhammadiyah tidak hanya menjalankan al-Maun sebagai mana KH Ahmad dahulu, melainkan bagaimana agar al-Maun bisa masuk dan menjadi sistem kekuasaan. Karena dewasa ini, tata kelola Negara dalam arti luas, tidak memiliki kandungan nilai-nilai kebangsaan yang bersumber kepada konstitusi. Padahal nilai-nilai universal Islam itu sangat sejalan dengan konstitusi, dan teologi al-Maun adalah bagian dari nilai-nilai Islam yang tentunya sesuai dengan dasar konstitusi Negara.
“Bisa dilihat hari ini, mulai dari lembaga pemerintah eksekutif, legislatif, dan yudikatif semakin ke sini justru semakin membuat tata kelola Negara tercerabut dari nilai-nilai dasar konstitusi. Indikasi makin tercerabutnya konstitusi bisa dilihat dari undang-undang yang tidak lagi memuat kepentingan rakyat, proses penegakan hukum yang lebih memihak kepada penguasa, bahkan sampai kepada putusan-putusan hakim yang bisa dibeli”, papar Busyro.
Akhirnya, sambung Busyro, dengan adanya tata kelola yang tidak bersumber dari konstitusi, terjadilah kemiskinan yang luar biasa dan terencana. Sumber utama atau perencana kemiskinan ini adalah mereka para pejabat yang duduk di lembaga Negara. Mereka yang duduk di lembaga-lembaga Negara kebanyakan orang yang tidak kompeten di bidangnya. Kenapa mereka yang tidak kompeten bisa menduduki suatu lembaga Negara? Tidak lain karena sistem perekrutan pejabat Negara ini yang serba Money Politic. Bahkan karena serba Money Politic, tidak sedikit dari mereka, yang sejak awal sudah terindikasi cacat dan bermasalah. Dari kecacatan itulah kemudian para pejabat yang duduk di lembaga Negara membuat kebijakan dan sistem birokrasi yang salah bahkan menyimpang jauh dari konstitusi.
Menurutnya, konstitusi Indonesia itu, secara garis besar memuat nilai-nilai kebebasan HAM, kemanusiaan dengan proses demokratisasi di mana kedaulatan itu berada di tangan rakyat , dan nilai ketuhanan dengan spirit ketuhanan yang maha Esa. Namun fakta di lapangan sekarang, ketiga nilai tersebut justru diredupkan bahkan dihilangkan oleh orang-orang yang berkuasa pada lembaga Negara. Tidak hanya individu, proses reduksi nilai itu bahkan dilakukan dengan terang-terangan secara kelembagaan.
Muhammadiyah yang sejak dari berdirinya dengan jelas memiliki keberpihakan terhadap masyarakat yang terpinggirkan, Mustadz’afiin, harus mengabil peran untuk menguatkan gerakkan Civil Society dan mengembalikan lembaga Negara kepada dasar konstitusi. “Salah satunya adalah dengan terus menerus melakukan gerakkan jihad konstitusi yang sudah dimulai sejak periode lalu”, tegas Busyro. (gsh)