Majelis Ekonomi Kewirausahaan (MEK) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah mengumpulkan saudagar Muhammadiyah di Surabaya. Mereka ingin menggugah jiwa kesaudagaran yang telah dimiliki para saudagar agar lebih tangguh. Ini untuk menunjang program Muktamar dalam kepengurusan PP Muhammadiyah periode ini dalam mewujudkan ekonomi sebagai pilar ketiga Muhammadiyah, selain pendidikan dan kesehatan yang selama ini dimiliki Muhammadiyah.
Untuk mengetahui potensi Muhammadiyah dalam melahirkan saudagar tangguh, Lutfi Effendi dari Suara Muhammadiyah menghubungi Dr Chairul Tanjung, muslim pribumi terkaya di Indonesia saat ini. Pendapatnya dapat disimak dalam perbincangan berikut ini:
Muhammadiyah bertekad menjadikan ekonomi menjadi pilar ketiga setelah pilar pendidikan dan kesehatan. Menurut Anda bagaimana?
Ini adalah suatu hal yang baik, Muhammadiyah ingin menjadikan ekonomi sebagai pilar ketiga bagi gerakannya. Saya berharap Muhammadiyah di waktu yang akan datang akan berhasil melakukan langkah-langkah ini. Karena kita tahu, umat Islam kita mayoritas secara jumlah tetapi masih minoritas secara penguasaan ekonomi, Kita berharap dalam waktu yang panjang nanti umat Muhammadiyah menjadi entrepreneur-entrepreneur yang dapat bersaing dengan umat-umat lain yang ada di Indonesia.
Bagaimana langkah-langkah yang harus dilakukan untuk mewujudkan ekonomi sebagai pilar ketiga Muhammadiyah?
Ya harus dilakukan perubahan yang luar biasa. Harus bekerja lebih keras, pantang menyerah, tidak kompromi terhadap hasil, disiplin dan profesional. Dan yang tidak kalah penting untuk pengurus Muhammadiyah dan warganya adalah bagaimana mengeksekusi keinginan ini.
Apa yang dimaksud dengan perubahan yang luar biasa?
Perubahan yang luar biasa ini, terutama dilakukan dalam mengubah budaya umat untuk dapat mewujudkan keinginan tersebut. Mengubah budaya yang menghambat umat untuk mencapai tujuan tersebut dengan budaya yang lebih mendorong keinginan ini.
Umumnya umat sering menyerah terhadap keadaan menyangkut diri sendiri dengan alasan sudah kehendak Allah. Sudah nasiblah, kemiskinan ini menimpanya. Padahal Allah juga berfirman tidak ada yang bisa mengubah nasib kecuali diri sendiri. Orang Jepang dan Korea saja sangat percaya, hanya diri sendirilah yang mampu mengubah nasib. Orang Indonesia yang mayoritas Islam mestinya bisa menerapkan hal ini, meski faktor Tuhan tetap harus diyakini.
Umumnya, umat sering mengatakan santai juga nanti beres. Padahal jika mau bekerja keras tentu hasilnya akan lebih baik dan lebih cepat beres tentunya. Dalam hal ini, kita perlu meniru Jepang dan Korea yang sudah maju perekonomiannya. Mereka umumnya, orang-orang gila kerja. Saya sendiri sampai sekarang bekerja hingga malam untuk mengurusi sejumlah perusahaan yang menjadi tanggung jawab saya. Ini sudah saya lakukan sejak awal, hanya sekarang berangkatnya agak siang, karena stamina sudah tidak seperti waktu muda dulu.
Umumnya, umat tidak disiplin dan tidak tepat waktu. Padahal untuk dapat mencapai hasil yang maksimal harus disiplin dan tepat waktu. Dalam hal ini, umat Islam sebetulnya sudah diajarkan dengan shalat tepat waktu. Saya berusaha untuk melakukan hal ini, saya berusaha datang sebelum waktunya agar tak terlambat saat diundang dalam acara seperti yang dilakukan Muhammadiyah ini.
Umumnya umat memilih menghindari konflik ketimbang menyelesaikan, sehingga terlihat kurang faith (kurang bersunguguh-sungguh) dalam mencapai tujuan. Harusnya pantang menyerah dalam menghadapi konflik dan bisa mencari pemecahanan permasalahan yang ada sehingga tujuan dapat tercapai. Bagaimana mengelola konflik ini perlu dilakukan dan dipelajari oleh seorang entrepreneur.
Umumnya umat hanya mau hasilnya saja, padahal semuanya harus melalui proses. Proses perencanaan yang baik dan secara detil, akan membuahkan hasil yang lebih baik ketimbang dilakukan secara serampangan. Karena jika orientasi hasil, bisa saja ketika barangnya sudah diminati orang maka untuk menambah keuntungan kualitasnya dikurangi. Ini jelas keliru, mestinya kualitasnya malah harus ditambah dengan proses yang lebih baik, agar konsumen terus meminati produk kita.
Kenapa budaya-budaya yang negatif ini berkembang di Indonesia?
Penyebabnya antara lain budaya instan, mungkin karena sejak kecil kita sudah dibiasakan makanan instan. Budaya instan ini merambah ke sejumlah keinginan. Ingin nilainya bagus, timbul budaya mencontek. Ingin cepat sampai ke tujuan, melanggar lampu lalulintas. Ingin cepat beres urusannya, timbul budaya suap. Ingin cepat kaya, timbul budaya korupsi.
Dalam hal budaya instan ini, kalau mau jujur kita semua pernah mengalaminya. Minimal ketika pengin cepat urusannya, akan menempuh jalan pintas. Budaya instan ini perlu dihindari, karena memang harus ada proses yang standard. Tetapi juga jangan sampai proses yang mudah namun kemudian dipersulit, jika ini dilakukan akan merangsang orang untuk melakukan tindakan instan dengan menyuap petugas.
Hampir semua pengusaha atau di Muhammadiyah disebut Saudagar mengalami proses ini. Membangun bisnis dari kecil, kecuali orang-orang yang mendapat warisan usaha dari orangtua. Hampir semua pengusaha pribumi Islam menjalani proses demikian, saya pun memulai usaha dari kecil dan tidak langsung besar. Melalui jatuh bangun, yang penting ulet dan pantang menyerah.
Bagaimana dengan saudagar Muhammadiyah sendiri?
Saudagar Muhammadiyah mempunyai potensi untuk berkembang. Saya sendiri mempunyai mitra usaha dengan saudagar Muhammadiyah dalam memenuhi kebutuhan pasar swalayan yang kami miliki. Satu di bidang ikan laut dan yang lain di bidang kosmetika. Produk-produk mereka amat diminati.
Produk-produk asli Indonesia ini tak kalah dengan produk asing. Bahkan produk kosmetika yang dihasilkan oleh saudagar Muhammadiyah itu disegani oleh pengusaha kosmetika dari luar negeri. Ini saya tanya sendiri kepada pimpinan perusahaan produk kosmetika yang berpusat di Paris. Mereka merasa berat bersaing dengan produk Indonesia asli itu.
Karenanya, saya senang dengan forum saudagar yang digagas Muhammadiyah ini. Saya ingin tidak bermain sendiri, saya ingin banyak pengusaha-pengusaha Muhammadiyah yang lahir dan menjadi besar. Oleh karena itu, saya langsung setuju ketika diminta untuk menyemangati saudagar-saudagar Muhammadiyah.
Bagaimana untuk memulai usaha, padahal modal tidak ada?
Selama ini banyak orang salah paham, bahwa yang namanya modal itu hanya uang atau finansial saja. Padahal modal itu tiga macam, selain finansial juga sumber daya manusia (SDM) dan jejaring sosial. Jadi modal finansial tidak segala-galanya. Saya dulu mulai usaha juga tanpa modal finansial dan hanya mengandalkan SDM dan jejaring sosial yang saya miliki.
Modal SDM ya diri kita sendiri. Asal kita mau belajar, modal SDM bisa dikembangkan. Demikian pula dengan jejaring sosial, ini merupakan lingkungan pergaulan kita. Karenanya, untuk memulai usaha tinggal mencocokkan SDM dan jejaring usaha yang kita miliki dengan bidang usaha yang akan kita geluti.
Apa faktor utama dalam mempersiapkan modal?
Faktor utama adalah SDM kita sendiri. Jika kita mempunyai SDM yang memadai maka kita akan dapat membangun jejaring sosial dan dengan mudah pula mendapatkan modal finansial. Untuk mendapatkan SDM yang memadai ini, kuncinya adalah pendidikan.
Dengan pendidikan ini, minimal kita akan lepas dari kemiskinan. Ini saya alami sendiri. Keluarga saya dulu pernah hidup di sebuah kawasan kumuh di Jakarta. Dari seluruh keluarga yang tinggal di kawasan tersebut, hanya keluarga kami yang memperhatikan masalah pendidikan ini. Pendidikan menjadi prioritas utama. Akhirnya, hanya keluarga kami yang dapat lepas dari lingkungan kumuh tersebut. Lainnya masih tetap ada di kawasan kumuh tersebut, selain sopir saya yang mempunyai keahlian menyopir dan ikut saya.
Untuk hal pendidikan ini, Muhammadiyah sudah punya potensi sendiri. Muhammadiyah sudah berpengalaman cukup lama. Tinggal bagaimana mengarahkan hasilnya, apakah ingin menjadi pekerja saja, apakah ingin menjadi birokrat, apakah ingin jadi politisi atau ingin menjadi entrepreneur. Yang terakhir ini kurang digarap oleh pendidikan kita, termasuk pendidikan yang dikelola Muhammadiyah. Ini perlu menjadi prioritas jika ingin menjadikan ekonomi pilar ketiga Muhammadiyah.
Apakah faktor penggalang utama untuk menjadi pengusaha sukses?
Dunia politik, banyak pengusaha yang lagi berkembang tergoda menjadi politisi. Saya juga mendapat tarikan untuk memasuki dunia ini, tetapi saya mencoba untuk bertahan dari tarikan tersebut. Jika saya tertarik terjun ke dalamnya, habislah jiwa entrepreneur saya dan yang tumbuh jiwa politisi. Maka usaha kami tidak akan bisa berkembang seperti sekarang ini.
Pengusaha dekat dengan penguasa perlu. Pengusaha dekat politisi penting. Tetapi jangan sampai masuk di dalamnya. Saya juga dekat dengan penguasa, tetapi tetap membangun usaha tanpa minta fasilitas kepada penguasa. Saya sudah lama ditawari menjadi menteri, tetapi saya menolak dengan halus. Alasannya, saya menjadi ikon dan pionir pengusaha pribumi dalam memperjuangkan ekonomi bangsa. Dan alasan ini dapat diterima.
Ketika akhirnya saya mau terjun sebagai menko ekuin, juga karena keadaan yang darurat. Itupun saya hanya mau melaksanakan enam bulan saja, sampai akhir periode pemerintahan SBY. Setelah itu, saya tidak mau lagi. Meski sebetulnya diminta untuk membantu.• (lut)