Beberapa dekade terakhir ini dunia wirausaha terasa semakin jauh dari Muhammadiyah. Bahkan dari dunia umat Islam pada umumnya. Akibatnya, umat Islam semakin terpinggirkan dan tidak berdaya di dalam seluruh persaingan di dunia usaha.
Beberapa pasar dan pusat perbelanjaan yang pada tahun 1950-an masih “dikuasai” umat Islam sekarang nyaris semuanya telah berganti pemain. Pada tahun 1940-1950 dengan sangat mudah kita jumpai para saudagar Muhammadiyah di Pasar Beringharjo, Kotagede, Karangkajen, Muntilan, Dekso dan sekitarnya. Namun saat ini jumlah yang dahulu mayoritas itu kini telah nyaris punah.
Sekarang, kalau kita lihat pasar tanah abang Jakarta yang dulu merupakan pasar yang dikuasai orang Islam, kini nyaris semua lapaknya telah dimiliki oleh orang-orang berkulit pucat dan bermata sipit. Tanah Abang sudah menjadi tanah A-Cong demikianlah gurauannya.
Dilihat dari catatan sejarah yang ada, Muhammadiyah sebenarnya mempunyai tradisi kuat dalam dunia persaudagaran ini. Dalam Majalah Suara Muhammadiyah no 3 tahun 1924 yang memuat nama, alamat, dan profesi anggota Muhammadiyah, profesi saudagar terlihat mendominasi daftar tersebut.
Ada beberapa teori yang masih perlu dikaji lagi kebenarannya tentang “keberjarakan” umat Islam (dan Muhammadiyah) dengan dunia wirausaha. Salah satunya adalah karena profesi saudagar itu dianggap sebagai profesi tercela. Orang Indonesia mencitrakan saudagar sebagai orang yang pelit, raja tega, dan suka meribakan uang.
Pengrusakan citra saudagar seperti itu sebenarnya bisa ditelusuri sejarahnya, bukan tidak mungkin perusakan citra saudagar seperti itu adalah didesain oleh para penjajah Eropa yang ingin menyingkirkan umat Islam dari pasar.
Dalam banyak kasus Belanda yang kafir memang lebih memilih bermitra dengan bangsa Tionghoa dan India Keling yang lebih mudah diajak kongkalikong daripada dengan para saudagar Muslim.
Momentum penyingkiran umat Islam dari dunia persaudagaran itu nyaris tuntas ketika masa orde baru. Ketika umat Islam semakin banyak menjadi umat terdidik (tersekolahkan formal) kaum terdidik umat Islam justru berlomba-lomba menjadi amtenar (pegawai negeri) yang berarti menjadi priyayi yang mengabdi kepada negeri.
Kesadaran dan juga keprihatinan pada semakin jauhnya umat Islam di dunai usaha ini sesungguhnya sudah lama dirasakan. Pada tahun 2005, Prof Din Syamsuddin yang baru dikukuhkan menjadi ketua umum PP Muhammadiyah sudah menyatakan kalau trend “runtuhnya kedai kami” harus segera diatasi.
Cita-cita untuk membangkitkan kembali jiwa wirausaha dalam dunia Muhammadiyah tidaklah dapat dikatakan sebagai sesuatu yang mustahil. Muhammadiyah pernah kuat dengan dukungan para saudagar. Namun mengembalikan hal itu tentu bukan merupakan hal yang ringan.• (isma)