Kiai Haji Ahmad Dahlan lahir menjadi sang pencerah. Di panggung sejarah dia hadir menjadi pembaharu yang mengguncang kesadaran umat di zamannya. Lahir di Kauman Jogjakarta tahun 1869 dan wafat 1923 dalam usia muda, 54 tahun. Karya pembaruan terbesarnya ialah Muhammadiyah, yang dia dirikan 8 Dzulhijah 1330 Hijriyah bertepatan 18 November 1912 untuk mengukir kisah sukses pergerakan Islam yang mencerdaskan dan memajukan kehidupan umat dan bangsa. Dua kali bermukim di Mekkah, dia pulang menjadi mujadid melawan pikiran-pikiran jumud.
Ahmad Dahlan adalah sosok pencari kebenaran hakiki, yang pemberuannya bersifat break-trought alias lompatan di luar kelaziman, demikian tulis Nurcholish Madjid. Dr Alfian dalam disertasinya menjuluki pendiri Muhammadiyah itu sebagai sosok aktor reformasi keagamaan, agen perubahan sosial, dan kekuatan politik kebangsaan. Charles Kurtzman bahkan menemukan Dahlan sebagai pembawa revivalisme Islam yang liberal, yang berbeda pikiran keislamannya dari kaum revivalis ortodoks. Mas Mansur muda dari Surabaya yang haus ilmu dan perjuangan tertarik masuk Muhammadiyah karena bertemu dengan Dahlan yang pikiran keislamannya sungguh berkemajuan.
Amad Dahlan berkawan dekat dengan Haji Oemar Said Tjokroaminoto, Achmad Sjurkati, Hasyim Asy’ary, dan para tokoh sentral pergerakan nasional. Presiden Muhammadiyah itu diundang untuk memberikan pencerahan keislaman di hadapan anak-anak muda cerdas seperti Soekarno, Semaun, dan kawan-kawan di kediamannya di Paneleh Surabaya. Keduanya bahkan pernah turun ke daerah untuk tabligh bersama, Tjokro orator ulung yang membangkitkan etos pergerakan, sedangkan Ahmad Dahlan berpenampilan kalem tapi pikiran keislamannya tajam menggugah jiwa pembaruan. Di luar itu, Ketua Hoobestuur Muhammadiyah ini bersahabat dengan tokoh-tokoh Boedi Oetomo dan kalangan Sosialis, serta berinteraksi dengan tokoh agama lain tanpa rasa canggung. Sosok ini adalah teladan pemimpin pencerahan yang berjuang penuh totalitas, ikhlas, sabar, keras kemauan, serta berpikiran dan langkah cemerlang beretos kemajuan dan pembaruan.
Ketika mendirikan Muhammadiyah, Ahmad Dahlan mengazam gerakan Islam yang didirikannya mengikuti jejak perjuangan Nabi Muhammad. Nabi akhir zaman itu membawa risalah takhrij min al-dhulumat ila al-nur, mengeluarkan umat manusia dari kegelapan menuju pencerahan, sehingga mengubah Yasrib yang semula komunal pedesaan menjadi kota peradaban yang cerah dan mencerahkan, al-Madinah al-Munawwarah. Dari perjuangan menegakkan Risalah Islam yang mencerahkan di Jazirah Arabia itulah kemudian umat Islam menguasai dunia dan melahirkan era kejayaan berabad-abad lamanya, ketika bangsa-bangsa lain tengah tertidur lelap di abad kegelapan. Itulah risalah pencerahan Islam yang menjadi rujukan misi Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam.
Spirit Pencerahan
Dalam bahasa Arab, kata “pencerahan” merujuk pada kata “tanwir” yang berasal “nur”. Dalam Al-Munjid, kata “nur” memiliki banyak makna antara lain: dhauw-a (jamak: diya-a) artinya menerangi atau menyinari, na-ra yakni api yang mengeluarkan cahaya, ra-yu artinya akal pikiran, aql-niyar artinya pikiran cemerlang, dan al-munir mengandung makna majjat al-thariq alias tengah jalan yang terang atau jelas. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata “pencerahan” (kata benda) artinya proses, cara, perbuahkan” (kata kerja) mengandung makna menjadikan (menyebabkan) cerah (tidak suram, jernih, dan sebagainya. Kata “cerah” senapas dengan “terang”, “sinar”, “jernih”, lawannya “gelap”, “keruh”, “suram”.
Muhammadiyah sangat akrab dan menjadi satu-satunya gerakan Islam di negeri ini yang memperkenalkan dan menyebarluaskan diksi “pencerahan”, yang diambil dari kata “tanwir”. Dalam Muhammadiyah kata “Tanwir” melekat dengan sebuah istilah persidangan di bawah Muktamar, yang dicetuskan pada Muktamar di Banjarmasin tahun 1935.
Menurut Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Dr H M Din Syamsuddin, tidak ada organisasi Islam yang menamai permusyawaratan pimpinannya dengan kata “Tanwir” kecuali Muhammadiyah. Karena itu Sidang Tanwir yang melibatkan para elite Muhammadiyah diharapkan menjadi forum “permusyawaratan pencerahan”, yang membahas pikiran-pikiran maupun langkah-langkah maju yang cerah dan mencerahkan.
Jika dirujuk pada Al-Qur’an terdapat 48 kata yang berpangkal dari kata “al-nur” dalam variasi kata “nuura, nurikum, nurihim, al-munir, munira”, sebagai sandaran konsep “tanwir” atau “pencerahan”. Ayat yang paling dekat antara lain pada Surat Al-Baqarah ayat ke-257 yang mengandung anak kalimat “yukhrizuhum min al-dhulumat ila al-nur” (mengeluarkan umat manusia dari kegelapan pada cahaya), bahwa Allah mengeluarkan umat manusia dari kegelapan pada cahaya petunjuk-Nya, sebaliknya Thagut selaku tuhan kaum kafir “yukhrizunahum min al-nur ila al-dhulumat” (mengeluarkan umat manusia dari petunjuk Allah kepada kegelapan). Artinya “pencerahan” atau “tanwir” itu mengeluarkan umat manusia dari keadaan jahiliyah tanpa petunjuk Ilahi menjadi menempuh jalan lurus dalam naungan petunjuk Allah. Nama salah satu Surat Al-Qur’an ialah Surat “al-Nur”, di dalam salah satu ayat ke-35 terkandung Firman Allah, “Allahu nur al-samawati wa al-ardl…”, artinya “Allah (memberi) cahaya langit dan bumi…” (Qs. Al-Nur: 35).
Pencerahan dalam konsep dan pemikiran Muhammadiyah sepenuhnya bertumpu pada nilai ajaran Islam, sehingga dapat dimaknai sebagai “pencerahan Islami”, bukan pencerahan yang lain. Dalam makna ini, pencerahan dan gerakan pencerahan dapat dikatakan sebagai misi dakwah dan tajdid Muhammadiyah untuk mengeluarkan umat manusia dari segala bentuk “kegelapan” dalam hidupnya menuju pada “cahaya” yang terang, bersinar, dan berkilau cerah dalam hidayah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Risalah Islam yang dibawa Nabi Muhammad dan diwujudkan dalam kehidupan umat selama 23 tahun di Makkah dan Madinah, serta meluas ke seluruh jazrah Arabia, tidak lain merupakan risalah pencerahan Islam.
Gerakan “pencerahan” dalam Muhammadiyah tidak mengandung makna sama sebangun dengan sejarah pemikiran Barat yang dikenal dengan era “Enlightenment” atau “Aufklarung”. Suatau fase kemajuan nalar modern yang oleh filosof Emanuel Kant dimaknai sebagai “sapere aude”, yaitu suatu era ketika manusia mengalami “akil balig” dalam hal berpikir dari segala keterbelengguan metafisik menuju pemikiran ilmu pengetahuan. Dalam pemikiran humanisme-sekuler, pencerahan itu bermakna pembebasan dari agama dan segala sistem berpikir yang dianggap membelenggu manusia. Tetapi dalam hal pentingnya penggunaan “akal pikiran”, “ilmu pengetahuan”, dan. “kemajuan”, gerakan pencerahan di Barat sangat positif dan memiliki kesamaan spirit dengan pencerahan di dunia Islam.
Dalam Muhammadiyah penggunaan istilah “pencerahan” secara lebih terpublikasi luas di dalam maupun ke luar radius Persyarikatan dimulai sejak era Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 2000-2005 pada masa kepemimpinan Prof Syafii Maarif, yang berlanjut pada dua masa kepemimpinan Prof Din Syamsuddin. Dalam “Pernyataan Pikiran Muhammasiyah Abad Kedua” hasil Muktamar Satu Abad tahun 2010 di Yogyakarta secara resmi bahkan disebutkan bahwa “Muhammadiyah pada abad kedua berkomitmen kuat untuk melakukan gerakan pencerahan”. Dalam konteks gerakan Muhammadiyah pemakaian makna “pencerahan” menjadi “gerakan pencerahan” terkandung maksud memberikan tekanan, penguatan, pendalaman, dan pengembangan pada misi Muhammadiyah yang menjalankan dakwah dan tajdid untuk mengeluarkan umat manusia dari segala bentuk “kegelapan” hidup menuju keadaan yang lebih baik dalam segala dimensinya sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam yang menjadi landasan dan orientasi gerakan ini sebagai “Gerakan Islam”. Dalam Muhammadiyah “gerakan pencerahan” satu napas dengan “gerakan dakwah” dan “gerakan tajdid” yang menjadi misi utama Gerakan Islam ini, yang dalam khazanah luas dikenal sebagai Gerakan Tajdid atau Gerakan Pembaruan, Gerakan Islam Modern, Gerakan Islam Reformis, dan kini Gerakan Islam Berkemajuan.
Islam Pencerahan
Islam adalah agama yang mencerahkan kehidupan umat manusia (din at-tanwir). Kehadiram Islam membawa misi penting untuk mengeluarkan umat manusia dari segala bentuk kegelapan (kejahiliyahan) menuju pada petunjuk (jalan, ajaran) Allah yang terang-benderang, takhrij min al-dhulumat ila al-nur (Qs Al-Baqarah: 257). Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
Artinya: “Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (Qs. Al-Baqarah [2]: 257).
Al-Nur atau Cahaya dalam sejumlah ayat menurut banyak tafsir Al-Qur’an ialah petunjuk Allah kepada umat manusia sehingga mereka terang benderang berada dalam kebenaran, kebaikan, kemuliaan, keutamaan, dan hal-hal yang positif lainnya menurut ajaran Islam dan kebajikan Sunatullah.
Dalam sebuah hadits, Nabi bersabda yang artinya: “Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk-Nya dalam kegelapan, kemudian Allah memberi cahaya-Nya kepada mereka. Barang siapa mendapat cahaya-Nya pada saat itu, berarti ia telah mendapat petunjuk dan barang siapa tidak mendapatkannya berarti ia telah sesat.” (HR Ahmad dari Ibn Umar).
“Cahaya” yang terang benderang adalah cahaya dari Allah, yakni hidayah dan ajaran Ilahi untuk menyinari umat manusia. Allah-lah sumber cahaya segala kebenaran, kebaikan, dan keutamaan. Dengan demikian dapat dikatakan Allah Dzat Maha Pencerah dan sumber pencerahan yang hakiki. Setiap insan Muslim pencari kebenaran Ilahi mengikuti jejak Nabi yang mengeluarkan dirinya dari segala bentuk kegelapan atau kejahiliyahan menuju kehidupan yang cerah dalam petunjuk-Nya, mereka itulah yang memperoleh cahaya pencerahan nan sejati. Mereka itulah yang memperoleh pelita kehidupan dari Allah dan Rasul-Nya. Demikian firman Allah dalam Al-Qur’an sebagai berikut:
Artinya: “Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Qs. An-Nur [24]: 35).
Islam dengan spirit pencerahan mengajak umat manusia pada petunjuk Allah untuk menjalani kehidupan yang tercerahkan di dunia dan akhirat. Firman Allah dalam Al-Qur’an secara tegas menyebutkan:
Artinya: “Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.” (Qs Al-Maidah [5]: 16).
Menurut Quraisy Shihab, kata “Nur” dengan merujuk pada surat An-Nur ke-35 mengandung sejumlah makna esensi. Nur adalah cahaya atau sinar yang dapat dilihat secara lahir, langit dan bumi disinari cahaya oleh Allah. Sedangkan yang immateri ialah “Kebenaran, Keimanan, Pengetahuan, dan lain-lain yang dirasakan oleh mata hati”.Nur adalah hidayah dan petunjuk Allah atau dampak dan hasil dari petunjuk itu. Terdapat pula sebelas makna “Nur” yakni Agama Islam, Iman, Pemberi petunjuk, Nabi Muhammad saw, Cahaya siang, Cahaya bulan, Cahaya yang menyertai kaum mukminin ketika menyebarang shirat atau titian, Penjelasan halal haram dalam Taurat, Injil, Al-Qur’an, dan Keadilan. Sedangkan menurut Ibn Arabi “ Nur Allah” ialah Pemberi hidayah bagi penghuni langit dan bumi, Pemberi cahaya, Penghias, Yang Dzahir tampak jelas, Pemilik cahaya, Cahaya tapi bukan cahaya yang dikenal.
Pesan-pesan Islam yang lainnya dapat menunjuk pada pesan pencerahan seperti perintah iqra (Qs Al-’Alaq: 1-5), Al-Qur’an sebagai hidayah-bayan-furqan (Qs Al-Baqarah: 189), agar setiap umat mengubah nasib dirinya dan memperhatikan masa depan (Qs Ar-ra’du: 11; Al-Hasyr: 18), membebaskan kaum dhu’afa-mustadh’afin (Qs Al-Ma’un: 1-7; Al-Balad: 11-16, dst), menjadi khalifah di muka bumi untuk membangun dan tidak untuk merusak (Qs Al-Baqarah: 30; Hud: 61; Al-Baqarah: 11; dst.); menunjukkan pesan imperatif Allah bahwa ajaran Islam menawarkan pencerahan bagi umat manusia semesta. Islam mengajarkan agar umatnya menjadi khayra ummah (Qs Ali Imran: 110). Menjadi generasi ulul albab (Qs Ali Imran: 190-191) dan pandai membaca tanda-tanda zaman (Qs Iqra: 1-5). Menjadi khalifah di muka bumi (Qs Al-Baqarah: 30, Hud: 61). Menjadi pelaku perubahan (Qs Al-Ahzab: 21). Menjadi kelompok yang sadar akan masa depan (Qs Al-Hasyr: 18).
Jika dikaitkan dengan konteks turun Al-Qur’an, ajaran pencerahan dimulai dari perintah iqra (Qs. Al-’Alaq [96]: 1-5). Kala itu penduduk Arab terbilang al-ummiyun dan hanya ada sekitar 17 orang yang bisa baca tulis, termasuk di dalamnya pemuda Umar bin Khattab. Iqra adalah penanda kemajuan peradaban bangsa melalui kegiatan membaca, menghimpun, berpikir, mengkaji, meneliti, dan segala wujud pekerjaan akal pikiran yang seluas-luasnya. Termasuk membaca ayat-ayat kauniyah di alam semesta. Dari kerja iqra lahir segala rupa ilmu pengetahuan dan karya-karya pikiran untuk memahami hakikat kehidupan. Dengan iqra alam dibaca, dihitung, dan diteliti sesuai sunatullah yang pasti dan tidak spekulasi. Dari tradisi iqra pula lahir generasi kaum berilmu dan ulul albab yang mewarisi risalah para Nabi untuk mencerahkan umat manusia.
Ajaran pencerahan antara lain dapat dirujuk pada kehadiran Islam untuk mengangkat harkat martabat perempuan. Ketika bangsa Arab merendahkan dan menistakan kaum perempuan, bahkan juga kaum laki-laki yang dianggap rendah dengan dijadikannya budak, maka Nabi dengan ajaran Islam membebaskannya. Perempuan itu martabatnya sama dengan laki-laki, keduanya selaku insan fi ahsan at-taqwim yakni sebaik-baik ciptaan Allah (Qs At-Tin [95]: 4). Islam mengajarkan kesamaan (al-musawah) dan keadilan (al-’adalah), serta tidak mengajarkan diskriminasi. Laki-laki maupun perempuan sama mulianya dan derajatnya diukur dari ketaqwaannya, bukan dari jenis kelaminnya (Qs Al-Hujarat [49]: 13). Allah bahkan secara spesifik menyebutkan bahwa laki-laki atau perempuan jika mereka beriman dan beramal shalih maka akan memperoleh kehidupan yang baik dan pahala yang besar di sisi-Nya, sebagaimana firman-Nya dalam Al-Qur’an:
Artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (Qs Al-Nahl [16]: 97).
Gerakan Pencerahan
Muhammadiyah dalam memasuki abad kedua berkomitmen untuk melakukan gerakan pencerahan. Dalam “Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Abad Kedua” secara tegas dan lengkap dinyatakan sebagai berikut: Muhammadiyah pada abad kedua berkomitmen kuat untuk melakukan gerakan pencerahan. Gerakan pencerahan (tanwir) merupakan praksis Islam yang berkemajuan untuk membebaskan, memberdayakan, dan memajukan kehidupan. Gerakan pencerahan dihadirkan untuk memberikan jawaban atas problem-problem kemanusiaan berupa kemiskinan, kebodohan, ketertinggalan, dan persoalan-persoalan lainnya yang bercorak struktural dan kultural. Gerakan pencerahan menampilkan Islam untuk menjawab masalah kekeringan ruhani, krisis moral, kekerasan, terorisme, konflik, korupsi, kerusakan ekologis, dan bentuk-bentuk kejahatan kemanusiaan. Gerakan pencerahan berkomitmen untuk mengembangkan relasi sosial yang berkeadilan tanpa diskriminasi, memuliakan martabat manusia laki-laki dan perempuan, menjunjung tinggi toleransi dan kemajemukan, dan membangun pranata sosial yang utama.
Dengan gerakan pencerahan Muhammadiyah terus bergerak dalam mengemban misi dakwah dan tajdid untuk menghadirkan Islam sebagai ajaran yang mengembangkan sikap tengahan (wasithiyah), membangun perdamaian, menghargai kemajemukan, menghormati harkat martabat kemanusiaan laki-laki maupun perempuan, mencerdaskan kehidupan bangsa, menjunjung tinggi akhlak mulia, dan memajukan kehidupan umat manusia. Komitmen Muhammadiyah tersebut menunjukkan karakter gerakan Islam yang dinamis dan progresif dalam menjawab tantangan zaman, tanpa harus kehilangan identitas dan rujukan Islam yang autentik.
Muhammadiyah dalam melakukan gerakan pencerahan berikhtiar mengembangkan strategi dari revitalisasi (penguatan kembali) ke transformasi (perubahan dinamis) untuk melahirkan amal usaha dan aksi-aksi sosial kemasyarakatan yang memihak kaum dhu’afa dan mustadh’afin serta memperkuat civil society (masyarakat madani) bagi kemajuan dan kesejahteraan bangsa. Dalam pengembangan pemikiran Muhammadiyah berpijak pada koridor tajdid yang bersifat purifikasi dan dinamisaai, serta mengembangkan orientasi praksis untuk pemecahan masalah kehidupan. Muhammadiyah mengembangkan pendidikan sebagai strategi dan ruang kebudayaan bagi pengembangan potensi dan akal-budi manusia secara utuh. Sementara pembinaan keagamaan semakin dikembangkan pada pengayaan nilai-nilai aqidah, ibadah, akhlak, dan mu’amalat-duniawiyah yang membangun keshalihan individu dan sosial yang melahirkan tatanan sosial baru yang lebih relijius dan humanistik.
Dalam gerakan pencerahan, Muhammadiyah memaknai dan mengaktualisasikan jihad sebagai ikhtiar mengerahkan segala kemampuan (badlul-juhdi) untuk mewujudkan kehidupan seluruh umat manusia yang maju, adil, makmur, bermartabat, dan berdaulat. Jihad dalam pandangan Muhammadiyah bukanlah perjuangan dengan kekerasan, konflik, dan permusuhan. Umat Islam dalam berhadapan dengan berbagai permasalahan dan tantangan kehidupan yang kompleks dituntut untuk melakukan perubahan strategi dari perjuangan melawan sesuatu (al-jihad li-al-muaradhah) kepada perjuangan menghadapi sesuatu (al-jihad li-al-muwajahah) dalam wujud memberikan jawaban-jawaban alternatif yang terbaik untuk mewujudkan kehidupan yang lebih utama.
Dalam kehidupan kebangsaan Muhammadiyah mengagendakan revitalisasi visi dan karakter bangsa, serta semakin mendorong gerakan mencerdaskan kehidupan bangsa yang lebih luas sebagaimana cita-cita kemerdekaan. Dalam menghadapi berbagai persaingan peradaban yang tinggi dengan bangsa-bangsa lain dan demi masa depan Indonesia yang lebih maju maka diperlukan transformasi mentalitas bangsa ke arah pembentukan manusia Indonesia yang berkarakter kuat. Manusia yang berkarakter kuat dicirikan oleh kapsitas mental yang membedakan dari orang lain seperti keterpercayaan, ketulusan, kejujuran, keberanian, ketegasan, ketegaran, kuat dalam memegang prinsip, dan sifat-sifat khusus lainnya yang melekat dalam dirinya. Sementara nilai-nilai kebangsaan lainnya yang harus terus dikembangkan adalah nilai-nilai spiritualitas, solidaritas, kedisiplinan, kemandirian, kemajuan, dan keunggulan.
Pada abad kedua Muhammadiyah menghadapi perkembangan dunia yang semakin kosmopolit. Dalam perspektif kosmopolitanisme yang melahirkan relasi umat manusia yang semakin mendunia, Muhammadiyah sebagai bagian integral dari warga semesta dituntut komitmennya untuk menyebarluaskan gerakan pencerahan bagi terbentuknya wawasan kemanusiaan universal yang menjunjung tinggi perdamaian, toleransi, kemajemukan, kebajikan, keadaban, dan nilai-nilai yang utama.
Orientasi gerakan yang kosmopolitan tidak sertamerta menjadikan Muhammadiyah kehilangan pijakan yang kokoh dalam ranah keindonesiaan dan lokalitas kebudayaan setempat, serta mencerabut dirinya dari kepribadian Muhammadiyah.
Demikian kandungan makna dan pemikiran tentang “Gerakan Pencerahan” hasil Muktamar Satu Abad tahun 2010 di Yogyakarta seperti dikutipkan secara utuh dan lengkap di atas. Menjadikan “Pencerahan” sebagai isu penting dalam gerakan Muhammadiyah mutakhir sangat relevan ketika berhadapan dengan realitas kehidupan yang masih sarat masalah yang bersifat “pembelengguan”. Kehidupan masyarakat di aras lokal, nasional, dan global saat ini masih ditandai oleh sejumlah problem yang memerlukan pencerahan. Kehidupan global yang sekuler-liberal dan penuh nafsu ekspansi secara politik, ekonomi, dan budaya juga memerlukan pencerahan menuju keadaban sebagaimana tawaran Hans Kung tentang “The Global Etics”, etika global yang membuana. Relasi antarbangsa dan antarnegara masih diwarnai kekerasan, perang, dan invasi seolah menguatkan pandangan adanya neo-kolonialisme. Sebutlah kejahatan dan nafsu perang Israel terhadap bangsa Palestina serta sikap negara-negara adidaya yang gampang sekali bersekutu menyerang negara lain seperti terhadap Irak, yang seharusnya tidak terjadi di zaman modern yang berkeadaban. Itulah wajah dunia global yang masih “jahiliyah” dan memerlukan pencerahan. Karenanya semangat “go internasional” atau “go to the global world” tidak boleh ikut arus dan larut dalam subordinasi, sebaliknya mesti selektif dan disertai gerakan pencerahan.
Ketika dunia yang makin modern terdapat sebagian masyarakat masih terbelenggu alam pikiran mitologis dan kadang irrasional seperti mekarnya klenik, perdukunan dan paranormal, pengkultusan, kemusyrikan, dan segala bentuk ketidakrasionalan maka diperlukan gerakan pencerahan Islam. Menentukan hari dan tanggal baru saja masih dilihat dengan cara lama sebagaimana berlaku dalam masa umat yang “ummiyun” (kaum tak pandai baca tulis), yang belum siap membaca dengan sains yang eksak. Bahkan fenomena alam disikapi dengan cara khurafat sebagaimana zaman mitologis. Wujud “TBC” (syirik, tahayul, bida’ah, khurafat) baru masih hidup dalam masyarakat. Sebagaian masyarakat masih lebih menonjolkan rasa dan citra dalam berdemokrasi dan kurang mengedepankan rasionalitas, meritrokrasi, dan objektivitas. Politik patronase ala zaman tradisional dan feodal masih mewarnai proses demokrasi di negeri ini yang konon paling maju sejajar dengan di Amerika Serikat dan India.
Perangai “suram” lainnya masih dapat didaftar. Sikap hidup hedonis, materialistik, dan memuja kebebasan tanpa batas makin meluas. Politik jadi panglima dan ajang haus kuasa. Kalau seseorang menjadi pejabat negara berasal dari satu gololongan dan partai politik tertentu maka ajimumpung mengurus golongan dan parpolnya sungguh luar biasa, sehingga jabatan pemerintahan itu tidak menjadi milik publik. Selain itu perilaku buruk yang menandakan lemahnya keadaban moral masih meluas seperti korupsi, politik uang, penjarahan kekayaan alam, dan beragam tindakan-tindakan menyimpang lainnya yang merusak sendi kehidupan beragama, berbangsa, bernegara, serta berperikemanusiaan utama. Semua memerlukan pencerahan yang berbasis pada nilai-nilai Ilahiah yang kokoh sekaligus membawa peradaban kemausiaan dan kemasyarakatan yang mulia. Di sinilah pentingnya Muhammadiyah mengusung gerakan pencerahan dalam mengaktualisasikan misi dakwah dan tajdidnya dalam era zaman yang masih banyak membawa nuansa “al-dhulumat” secara sistemik itu.
Penutup
Muhammadiyah dalam memasuki abad kedua pasca Muktamar ke-47 dituntut menguatkan komitmen untuk terus menggelorakan gerakan pencerahan sebagai aktualisasi misi dakwah dan tajdid untuk menyebarluaskan dan mewujudkan ajaran Islam yang membebaskan, memberdayakan, dan memajukan kehidupan. Islam bagi Muhammadiyah adalah agama pencerahan yang mengeluarkan umat manusia dari segala bentuk kegelapan menuju jalan terang yang dibimbing ajaran Allah yang bersumberkan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang maqbulah nan cerah dan mencerahkan. Risalah Nabi Muhammad selama 23 tahun menjadi teladan bagi Muhammadiyah untuk berkiprah tak kenal lelah dalam menyebarluaskan Gerakan Islam Pencerahan. Dengan gerakan pencerahan di era abad ke-21 Muhammadiyah mengemban misi pencerahan dalam menghadapi segala bentuk kejahiliyahan modern, sehingga mampu membawa peradaban utama dalam kehidupan umat, bangsa, dan ranah kemanusiaan universal.
Dalam mewujudkan gerakan pencerahan yang membebaskan, memberdayakan, dan memajuka kehidupan berwawasan Islam yang berkemajuan maka tanggungjawab seluruh anggota, kader, dan pimpinan Muhammadiyah sangatlah besar dan berat karena harus mewujudkan gerakan pencerahan dalam seluruh usahanya sehingga mewujud di bumi kenyataan. Bermuhammadiyah dengan misi pencerahan itu bukan gencar berwacana dan beretorika indah tetapi menuntut meniscayakan dan pergumulan nyata yang penuh komitmen, kesungguhan, pengorbanan, dan pengkhidmatan utama. Muhammadiyah dengan seluruh institusinya harus digerakkan menjadi gerakan Islam pencerahan yang di dalam dirinya benar-benar cerah dan mencerahkan sehingga mampu memajukan umat manusia di ranah lokal, nasional, dan global. Muktamar Muhammadiyah haruslah menjadi ajang pencerahan dan menghasilkan keputusan-keputusan yang cerah dan mencerahkan, sehingga lima tahun ke depan Gerakan Islam yang didirikan oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan ini menjadi pelopor gerakan pencerahan di negeri ini yang kehadirannya memancarkan cahaya rahmatan lil-’alamin ke seluruh semesta raya!•